Rektor Unwira Akui Film Pertama Indonesia adalah “Ria Rago”, Karya Misionaris SVD

by -1,228 views

Rektor Unwira Dr Philipus Tule, SVD (baju merah) foto bersama usai Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri.

KUPANG, mediantt.com – Rektor Universitas Katolik Widya Mandira, P. Dr. Philipus Tule, SVD, membeberkan sebuah kebenaran sejarah yang mengejutkan tentang dunia perfilman di NTT dan Indonesia. Pakar Islamologi mengungkapkan bahwa, dilihat dari runutan tahun pembuatan film, maka sesungguhnya film pertama yang diproduksi di Indonesia adalah film asal NTT. Yakni, Etnografi berjudul: “Ria Rago: De Heldin Dan Het Ndona-Dal.” Yang artinya, “Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona.”

Kebenaran ini disampaikan Dr. Philipus Tule, saat membuka kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri, di Provinsi NTT, di Hotel Sotis Kupang, Selasa(19/10). Acara ini diinisiasi oleh Komisi III DPR RI, dan Lembaga Sensor Film Indonesia, sekaligus penandatanganan MOU antara Unwira dan LSF Nasional. Unwira diwakili oleh Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Yosep Andreas Gual, MA.

Menurut rilis yang disampaikan Dosen FISIP Unwira, Mikhael Rajamuda Bataona, Rektor Unwira menjelaskan, jika dicek berdasarkan waktu produksinya, maka Film Ria Rago dibuat pada tahun 1923, atau lebih tua dari waktu pembuatan film pertama di Indonesia. Film Ria Rago itu dibuat oleh dua misionaris SVD di Flores pada tahun 1923. Artinya, jika dilacak berdasarkan sejarah waktu pembuatan, maka meskipun film yang diproduksi pertama kali di Indonesia adalah film bisu berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, garapan sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp pada tahun 1926.

Akan tetapi, jelas dia, sesungguhnya, ada film lainnya yang juga diproduksi di Indonesia dan lebih tua dari film tersebut yaitu film karya yang dua misionaris SVD di Flores, yaitu Film Ria Rago. Mengapa? Karena, menurut Rektor yang baru saja dilantik untuk memimpin Unwira di periode kedua ini, berdasarkan dokumen SVD (Societas Verbi Divini) yang tersimpan di Generalat SVD (Roma), pada masa itu, misi Flores memiliki dua orang pastor yang ahli dalam pembuatan film. Dua misionaris ini pernah dikirim untuk belajar perfilman di Holywood, USA, atas perintah Uskup Flores masa itu. Kedua pastor ini adalah Pater Simon Buis, SVD dan Pater Belthens, SVD. Saat kembali dari Amerika itulah, mereka berdua kemudian menjadi sutradara sekaligus produser film Ria Rago, yang diproduksi tahun 1923.

“Sesungguhnya film perdana dari NTT dan bahkan Indonesia adalah film bisu karya misionaris SVD dari Flores yang berjudul Ria Rago: De Heldin Dan Het Ndona-Dal (Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona). Dalam film etnografis yg berdurasi 110 menit itu tercantum tulisan berbahasa Belanda “plaats en tijde van het werkelijk gebeurde” dengan tempat dan waktu yang benar terjadi pada 1923. Namun, film itu baru dirilis produksinya tahun 1930, sesuai tanggal lulus sensor di negeri Belanda,” kata Dr. Philipus Tule.

Menurut dia, film tersebut adalah sebuah karya unik dan mempunyai makna yang sangat mendalam secara etnografis. Karena Film Ria Rago ini, berkisah tentang kasus kawin paksa seorang gadis Katolik bernama Ria Rago dari desa Nua Nellu (Ndona) dengan seorang pemuda bernama Dapo Doki, seorang Muslim dari Desa Rada Wuwu, yang telah beristeri.

Dr. Philipus juga mengatakan, dalam film itu dikisahkan bahwa, Ria menolak pernikahan itu dan mengadu pada pastor setempat yang kemudian bersama katekis mengunjungi dan berdiskusi dengan ayah Ria, namun sia-sia. Setelah mahar atau belis yang tinggi disepakati, Rago Da’u dan istrinya tetap memaksa. Dengan menggenggam salib yang dikirim Pastor, Ria berhasil memutuskan tali pengikat tangannya saat keluarganya sedang berpesta merayakan lamaran Dapo Doki itu.

Ria lantas berlari ke Susteran, yang berfungsi ganda sebagai asrama putri dan poliklinik kesehatan dengan kondisi tubuh yang lemah. Rago mengembalikan mahar ke Dapo dan menemui pastor yang menganjurkan agar dia minta maaf pada Ria. Ria memaafkan ayah dan ibunya, lalu meninggal dunia.

Supremasi Moralitas Perkawinan

Jika dimaknai, sebut Dr. Philipus, di satu sisi, film produk tahun 1923 ini mengungkapkan supremasi moralitas perkawinan Katolik dan serentak menilai negatif praktek kawin paksa dalam budaya tradisional pra-Katolikisme. Namun di sisi lain, film ini pula mengandung warta edukatif yang mulia, yang memperjuangkan emansipasi kaum wanita, membasmi budaya kawin paksa, menjunjung tinggi kesamaan harkat dan martabat manusia.

“Film adalah karya seni budaya dan media komunikasi massa yang diproduksi berdasarkan kaidah sinematografi, serta memiliki nilai strategis sebagai wahana untuk mempromosikan identitas sosial, politik, budaya dan agama serta meningkatkan ketahanan bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin, serta pembinaan akhlak mulia,” jelas Dr. Philipus Tule, dan menambahkan, Kerjasama dan penandatanganan MOU antara LSF RI bersama Unwira hari ini (19/10/2021) membangkitkan nostalgianya pada kerjasama antara LSF RI dengan STFK Ledalero dan Pemerintah Kabupaten Sikka, pada 6 Juni 2016 (5 tahun silam). Saa itu dia menjadi narasumber yang membawakan makalah dengan judul “ANTROPOLOGI VISUAL DAN MASYARAKAT SENSOR MANDIRI.”

Untuk itu Dr. Philipus menegaskan, hari ini, sudah selayaknya semua yang hadir mau bernostalgia lagi tentang sejarah perfilman Indonesia. Di mana, Hari Film Nasional Indonesia yang ke-71 telah diperingati oleh insan perfilman Indonesia pada 30 Maret 2021. Karena 30 Maret 1950 merupakan hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi yang disutradarai oleh Usmar Ismail.

Kendati peringatan Hari Film Nasional ini baru dirayakan sejak tahun 1950, sesungguhnya tonggak sejarah perfilman Indonesia telah berawal dengan film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan dirilis tahun 1926 oleh NV Java Film Company. Demi memperkaya khasanah data historis perfilman Indonesia, patut di-expose sebuah film etnografis dari konteks masyarakat NTT.

Di akhir pemaparannya, Pater Dr. Philipus Tule, mengingatkan, meski ada banyak nilai positif dari kemajuan teknologi pembuatan film dan produksinya, tetapi dengan pesatnya kemajuan teknologi, produksi dan distribusi film, juga produk visual dan media pertunjukan dewasa ini memang menjadi semakin banyak dan murah, cepat dan mudah diakses oleh semua lapisan masyarakat. Terutama di era milenial saat ini dengan kecanggihan media informasi dan teknologi seperti email, youtube, instagram. Tetapi semuanya itu harus tetap diwaspadai dan membutuhkan literasi serta daya kritis pengguna, sebab dapat membahayakan etika dan moralitas generasi muda dan anak-anak dibawah umur.

Karena itu, Dr. Philipus meminta agar kendati bertanggung jawab memajukan industri dan produk perfilman nasional (baik di pusat maupun daerah), negara tetap terpanggil untuk melindungi masyarakatnya, khusus generasi muda dan anak-anak dari berbagai dampak negatif perfilman.

Dr. Philipus pun berharap, ke depan, Lembaga Sensor Film Republik Indonesia bersama Unwira dapat melakukan penyadaran nilai-nilai sosial, politik, etika budaya dan religius melalui produksi dan penayangan film dengan keterlibatan keluarga, tokoh adat dan tokoh agama, lembaga-lembaga agama serta lembaga pendidikan. Sehingga, sebagai rektor Unwira, dia sangat mendukung kegiatan LSF ini.

“Sebagai lembaga Perguruan Tinggi Swasta (Unika Widya Mandira) tentu mendukung program dan kegiatan pemerintah (cq LSF Nasional) dalam kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri di NTT melalui seminar luring ini. Kiranya berbagai masukan ilmiah/akademis dari seminar ini dapat memberikan sejumlah rekomendasi baik,” pesan Pater Philipus Tule, SVD. (jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *