Putusan Selah PTUN Jakarta Melegalkan Golkar Munas Bali

oleh -17 Dilihat

Kupang, mediantt.com Putusan Sela Pengadilan TUN Jakarta yang mengabulkan Permohonan DPP Golkar hasil Munas Bali terhadap MenkumHam yang pada intinya memerintahkan MenkumHam untuk menunda berlakunya SK Pengesahan Kepengurusan DPP Golkar Munas Ancol alias Agung Laksono pada tanggal 1 April 2015, merupakan signal kuat legal standing kubu Agung Laksono dkk sebagai pengurus DPP Golkar tidak diakui oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Hal itu dasar hukumnya adalah ketentuan pasal 26 UU Partai Politik.

“Dengan dikeluarkannya putusan sela Pengadilan TUN Jakarta yang menunda berlakunya SK Pengesahan MenkumHam dimaksud, maka Kepengurusan DPP Golkar hasil Munas Bali telah diakui oleh PTUN Jakarta, karena pihak yang bertindak sebagai Penggugat dalam perkara gugatan ke PTUN Jakarta adalah DPP Golkar hasil Munas Golkar di Bali,” jelas Koordinator Tim Penegak Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus kepada mediantt.com, Jumad (3/4/2015).

Petrus mengatakan, konsekuensi logis dan yuridisnya adalah DPP Golkar hasil Munas Bali-lah yang boleh bertindak mengatasnamakan Partai Golkar, baik ke dalam maupun ke luar Pengadilan. Itu pasalnya, sebut dia, tafsir pihak Agung Laksono yang menyatakan putusan sela TUN Jakarta hanya menunda berlakunya SK Pengesahan namun SK pengesahannya tetap sah, itu adalah tafsir yang tidak benar, karena substansi keabsahan SK MenkumHam itu terletak pada kekuatan berlakunya. “Jika kekuatan berlakunya ditunda melalui sebuah kekuatan putusan hakim, maka SK itu tidak mempunyai kekuatan mengikat sebagai sebuah Keputusan Pejabat Tata Usaha Negara yang sah meskipun hanya berlaku sementara,” katanya.

Menurut Petrus, Hakim PTUN Jakarta telah mengakui sah “legal standing” kubu Aburizal Bakrie, sekaligus meniadakan “legal standing” Agung Laksono yang secara berhadap-hadapan dalam sengketa tata usaha negara dimaksud. Sebagai Penggugat, kata Petrus, legal standing Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum DPP Golkar Munas Bali telah diakui melalui putusan sela yang meniadakan sementara waktu berlakunya SK Pengesahan Yasona Laoly yang sekaligus meniadakan legal standing Agung Laksono dkk hingga pokok perkara diputus dan berkekuatan hukum tetap.

Ia menambahkan, Hakim PTUN Jakarta setidak-tidaknya sudah mempunyai sebuah keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah dalam Keputusan Yasona Laoly, baik berdasarkan parameter UU maupun berdasarkan parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik. Karena itu, pemenuhan tuntutan melalui putusan sela itu selain atas dasar hukum yang kuat, juga dipicuh oleh sikap Yoris Raweyai dkk yang belum apa-apa sudah mengeksekusi sendiri obyek-obyek vital Golkar di Slipi, bahkan aset negara berupa kantor Fraksi Golkar di Gedung DPR RI pun tidak luput dari aksi brutal Yoris, sehingga tindakannya itu bukan saja merugikan Partai Golkar dan citra DPR, tetapi juga meluluh-lantahkan upaya Agung Laksono dkk yang sudah nampak diatas angin serta merta melorot ke titik terendah diambang kekalahan fatal.

Putusan sela TUN Jakarta, kata dia, sekaligus menunda aksi brutal yang bisa saja akan lebih kejam dari persitiwa 27 Juli 1996 yang menimpa Megawati dkk, dimana Yoris Raweyai diduga sebagai salah satu pelakunya bahkan pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus 27 Juli oleh Bareskrim Mabes Polri tahun 2001 hingga saat ini kasusnya masih mangkrak di Mabes Polri sebagai hutang pemerintah terhadap korban 27 Juli. “Rupanya hukum masih mampu memberikan rasa nyaman kepada orang-orang yang sangat terganggu dengan ulah Yoris dkk,” kata Petrus.

Alasan Penundaan SK Kubu AL

Detik.com melansir, PTUN Jakarta memerintahkan Menkum HAM menunda berlakunya Surat Keputusan (SK) yang mengesahkan kepengurusan Golkar Agung Laksono. Beberapa alasan menjadi dasar pertimbangan majelis hakim, termasuk kisruh di kantor Fraksi Golkar di DPR.
“Menimbang, ‎adanya dualisme kepengurusan DPP Partai Golkar antara kubu Saudara Aburizal Bakrie dan Saudara Agung Laksono yang mengakibatkan konflik dan perpecahan di tubuh partai baik di pusat maupun di daerah,” kata Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti dalam persidangan di gedung PTUN, Pulogebang, Jakarta Timur, Rabu (1/4/2015).
Alasan kedua, yakni adanya kekisruhan pergantian kepengurusan Fraksi Partai Golkar di DPR RI yang mengarah pada tindakan anarkis yang berakibat terganggunya kegiatan DPR. Karena itu, majelis hakim menilai jika keputusan sela ini tidak dikeluarkan, maka akan memberi kerugian bagi penggugat, namun tak berhubungan dengan kepentingan umum yang mengharuskan keputusan itu harus segera dikeluarkan.
“Dengan demikian, Permohonan Penundaan Keputusan Tata Usaha Negara (objek sengketa) yang dimohon oleh Penggugat adalah beralasan menurut hukum untuk dikabulkan sampai ada putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali ada putusan atau penetapan lain yang membatalkannya di kemudian hari,” ucap Teguh yang disambut takbir oleh loyalis Ical.
Mendengar pertimbangan itu, Yusril hanya tersenyum. Dengan pertimbangan itu, majelis hakim mengabulkan gugatan kubu Ical untuk menunda berlakunya SK Menkum HAM untuk perubahan AD/ART dan komposisi personalia DPP Golkar versi Munas Ancol.
Usai persidangan, kuasa hukum kubu Agung Laksono, Victor Nadapdap, mempertanyakan soal alasan perintah penundaan berlakunya SK. Padahal dalam pertimbangannya hakim menyebut bahwa konflik Golkar tak berhubungan dengan kepentingan umum, sehingga seharusnya, kata Victor, tak mendesak untuk dikabulkan.
“Kalau tak berhubungan dengan kepentingan umum, kenapa harus dikabulkan? Kami akan menyiapkan jawaban nanti,” kata Victor. (laurens leba tukan/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *