JAKARTA– Proses penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri yang akan menggantikan Jenderal Sutarman berlangsung sangat singkat. Mensesneg Pratikno mengatakan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih satu di antara sembilan nama yang diajukan Menko Polhukam berdasar pertimbangan Kompolnas.
”Setelah presiden menerima surat dari Kompolnas yang ditandatangani Menko Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno, kemudian presiden memerintahkan sore itu (9/1) membuat surat ke DPR,” ujar Pratikno saat ditemui di sela-sela acara HUT Ke-42 PDIP di Lenteng Agung, Jakarta, kemarin (10/1).
Ketika ditanya alasan penetapan calon Kapolri baru yang tergolong kilat, Pratikno mengaku tidak tahu-menahu. Dia menyatakan, pihaknya sekadar menjalankan instruksi dari presiden. ”Saya enggak bisa jelaskan itu. Saya juga tidak tahu apa yang harus dijelaskan,” katanya.
Tentang tidak dilibatkannya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mendapatkan rekam jejak Budi Gunawan, Pratikno lagi-lagi tidak bisa menjawab. ”Saya sangat sulit menjelaskan itu karena yang saya alami adalah saya tahu bahwa ada surat yang diterima presiden dari Kompolnas (terkait nama-nama calon Kapolri). Tapi, saya enggak bisa menjelaskan karena saya tidak punya informasi mengenai hal itu,” kilahnya.
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dalam pidato politiknya meminta semua fraksi di DPR mendukung Budi Gunawan. Permintaan tersebut diungkapkan secara tersirat. Dia mencontohkan, pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pihaknya sebagai partai oposisi di DPR selalu mendukung segala pilihan SBY terkait para calon petinggi Polri dan TNI. Karena itu, dia mengharapkan respons serupa dari pihak oposisi, yakni Koalisi Merah Putih (KMP).
”Ketika berada di luar pemerintahan pun, pada saat presiden (SBY) mengusulkan calon panglima TNI dan Kapolri, sikap saya sangatlah tegas dan jelas: saya selalu menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh di-voting. Hal ini bukan berarti saya setuju terhadap orang per orang yang diusulkan. Tapi, demi penghormatan terhadap institusi TNI dan Polri, saya tidak pernah menyampaikan sikap penolakan,” katanya dalam pidato politik di acara HUT PDIP kemarin.
Sementara itu, surat penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri menuai kecaman. Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) meragukan integritas Budi Gunawan. Sebab, PPATK sempat melaporkan transaksi mencurigakan milik mantan ajudan Megawati itu senilai puluhan miliar pada 2010. Pilihan Jokowi tersebut dipengaruhi Megawati.
Komisioner Kompolnas M. Nasser mengatakan, Budi Gunawan memang diajukan Kompolnas untuk menjadi salah seorang calon Kapolri. Namun, tidak berarti Budi Gunawan tidak memiliki kekurangan. ”Masak kekurangannya tidak ada yang tahu, ya kekurangannya itulah (integritas, Red),” ujarnya.
Kompolnas memang pernah meminta keterangan dari Budi Gunawan terkait transaksi mencurigakan tersebut. ”Saat itu Budi Gunawan mengaku sudah diperiksa Bareskrim Mabes Polri,” jelasnya.
Hasil penyelidikan Bareskrim menyebutkan Budi tidak memiliki transaksi mencurigakan. Tentu Kompolnas harus memercayai pemeriksaan yang dilakukan Bareskrim terhadap petinggi Polri itu. ”Ya, dengan itu kita tentu harus percaya polisi, kalau tidak percaya, ya gimana. Namun, saya setuju kalau KPK dan PPATK dilibatkan dalam pemilihan ini,” ujarnya.
Terkait belum ada pelibatan KPK dan PPATK untuk pemilihan calon Kapolri, dia menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan kewenangan presiden. Itu sama dengan kebiasaan pada masa pemerintahan Presiden SBY yang hanya mengusulkan satu nama Kapolri. ”Sejak SBY, Kapolri itu selalu calon tunggal. Tentunya, itu hak presiden,” ujarnya.
Sementara itu, mantan Kepala PPATK Yunus Husein menyayangkan sikap Jokowi yang tidak melibatkan PPATK dan KPK dalam proses pemilihan tersebut. ”Saya perlu tegaskan, dulu pada 2010 saya yang melaporkan transaksi mencurigakan dari Budi ini,” paparnya.
Soal berapa nilai transaksi mencurigakan milik Budi, Yunus mengatakan, jumlahnya sangat besar, mencapai puluhan miliar rupiah. ”Saya kurang ingat tepatnya, tapi ini sangat mengkhawatirkan. Buat apa punya lembaga seperti KPK dan PPATK kalau kemudian tidak dilibatkan,” tegasnya.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad mengakui, sama sekali tidak ada komunikasi antara presiden dan KPK soal pemilihan Kapolri. Itu berbeda dengan pemilihan menteri yang melibatkan lembaga yang dipimpinnya. ”KPK memang tidak dilibatkan sama sekali. Ini yang menjadi pertanyaan,” jelasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menegaskan, lembaganya hingga saat ini sama sekali tidak pernah dilibatkan atau diminta bantuan untuk melakukan profil assessment terhadap calon Kapolri. ”Jadi, tidak benar itu pernyataan Menko yang ngomong meminta bantuan KPK untuk memberikan masukan. Hal ini juga sudah saya sampaikan ke koalisi masyarakat sipil yang juga menanyakan hal tersebut,” ujar Bambang.
Menurut pria yang akrab disapa BW itu, KPK pasti akan melakukan yang terbaik bila dilibatkan atau dimintai pendapat. Hal tersebut setidaknya telah dilakukan dalam pemilihan calon menteri, calon hakim Mahkamah Konstitusi, dan calon Dirjen Pajak.
”Sesuai undang-undang, presiden memang punya kewenangan menentukan siapa yang akan dijadikan Kapolri. KPK hanya bisa meng-appeal agar penggantian itu dilakukan sesuai tradisi terbaik yang pernah dilakukan,” ujarnya. Tradisi terbaik yang dimaksud adalah selain usia pensiun Kapolri yang masih menjabat, juga pemilihan dilakukan dengan melihat integritas dan akuntabilitas calon.
Bambang mengatakan, pada era Presiden SBY, KPK melakukan uji sahih terhadap laporan harta kekayaan penyelanggara negara (LHKPN) calon. Hasilnya waktu itu diserahkan kepada presiden sebagai bahan menentukan calon pemimpin Korps Bhayangkara. ”Saat ini KPK tidak diminta untuk melakukan itu,” kata pria kelahiran Jakarta tersebut.
Padahal, kajian mendalam terhadap LHKPN calon pejabat publik dapat membantu untuk klarifikasi beberapa hal. Misalnya, apakah LHKPN itu compliance dengan pelaporan asetnya atau pelaksanaan kewajiban lainnya. Selain itu, apakah aset yang dimiliki sesuai dengan profil penghasilan.
”Dari kajian mendalam itu juga bisa diketahui adanya calon tersebut terindikasi menerima gratifikasi atau tindak pidana korupsi lainnya,” terang BW. Dia berharap presiden konsisten membangun program, sistem, dan strategi yang bisa memberikan jaminan bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara sungguh-sungguh dan tidak melakukan tindakan yang berpotensi kolusif dan nepotistik.
Sebelumnya para pegiat antikorupsi dan penegakan hukum dua kali kecewa dengan pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pertama, saat memilih politikus PDIP Yasonna Hamonangan Laoly sebagai menteri hukum dan HAM. Kedua, ketika menunjuk politikus Nasdem H M. Prasetyo sebagai jaksa agung.
Kali ini keputusan Jokowi mengajukan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke DPR kembali memantik reaksi keras. ”Ini hat-trick (tiga kali, Red) blunder Presiden Jokowi dalam agenda penegakan hukum,” ujar Koordinator Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho saat dihubungi kemarin (10/1).
Menurut Emerson, Budi Gunawan adalah sosok kontroversial karena namanya mencuat dalam kasus rekening gendut jenderal polisi. Meski kabarnya sudah ada klarifikasi dari Mabes Polri bahwa profil keuangan Budi masuk kategori wajar, publik masih butuh penegasan dari institusi independen yang kredibel seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). ”Sayang, presiden tidak meminta pandangan PPATK dan KPK seperti saat memilih para menteri dulu,” tuturnya.
Di Surabaya, Jokowi menegaskan bahwa pengajuan calon Kapolri merupakan hak prerogatifnya. ”Ini sudah sesuai alur. Kompolnas mengusulkan saya menggunakan hak prerogatif dan kemudian sudah diajukan ke dewan (DPR),” tegasnya.
Saat ditanya apakah pemilihan hanya karena faktor kedekatan lantaran Budi adalah mantan ajudan Megawati, Jokowi menanggapi enteng. ”Kalau ada yang dekat, masak saya pilih yang jauh?” ungkapnya sambil berlalu dari kerubutan wartawan. (jp/jdz)