(Jalan Salib Jumad Agung a la Lamalera)
Oleh Yoseph Bruno Dasion SVD
(1)
Kotoklema (ikan paus bergigi)
kau pamit ibu-bapa-mu,
tinggalkan firdausmu yang damai
bentangan lautan antara Australia dan New Zealand
berenang seberangi lautan dan selat-selat luas, dalam dan lebar.
(2)
Kupuji keberanianmu
tinggalkan laut Tasmania yang aman dan kaya
pamit kepada pulau Tasmania yang mungil, ibarat pelupuk mata Australia,
lambaikan sirip depan kananmu kepada pulau kembar New Zealand dan kota-kotanya:
Invercargill, Queenstown, Dunedin, Christchurch, Nelson, Wellington, New Plymouth, Hamilton dan Auckland.
Sirip depan kiri-mu kau angkat tinggi-tinggi ke arah Hobart yang di Tasmania, kepada Melbourne, Sydney, Gold Coast dan Brisbane, kota-kota megah pesisir selatan-timur benua Australia. Adelaide dan Perth, barangkali hanya bisa mendengar bunyi gedebum tubuh raksasamu, ketika kau lompat tinggi-tinggi dan menjatuhkannya pada muka laut yang terbelah dua, cipratkan buih-buih putih seperti ketika Moses membelah Laut Merah.
(3)
Dari sana kau terus berenang ke arah utara, singgahi negara-negara kepulauan polinesia yang asri: Kaledonia Baru, Fiji, Vanuatu dan Solomon yang terkenal dengan laut-lautnya yang dangkal, bersih berwarna emerald-green, kaya ikan-ikan tropis yang warna-warni, dan pantai-pantai berpasir putih yang kilau. Rumpun-rumpun kelapa yang berjejer pada bibir pantainya, deretan pohon sukun dan pisang, tentu kagum melihatmu.
(4)
Dari sana, kauarungi laut Solomon,
Bergerak ke arah barat menuju kepulauan Lousiade, yang membayangi ekor pulau Papua( wilayah PNG) di bagian Timur-Selatan, membiarkan pulau-pulau seperti Normanby dan Ferguson menatap iri pada keperkasaanmu dari kejauhan.
Sedangkan kepulauan Bismark, barangkali hanya bisa mendengar kisahmu dari mereka.
(5)
Taeaknabululu, Pihigole, Sideia I, Sidudu, dan pulau-pulau kecil yang berhamburan seperti cucu-cucu manja Papua (di wilayah PNG) juga pasti kaulewati,
Sedangkan tempat perhentianmu yang tenteram di lengkung dada teluk Orangerie atau teluk Hood masih harus menunggu giliran, sebab Modeiwa Mission, Silo-Silo, Baramata, Buru, Maopa dan Keapara juga merengek kau singgahi,
Biarkan mereka punya kesempatan mengelu-elukanmu,
Wahai Kotoklema, raja segala ikan.
(6)
Penyelamat dan Anak Domba Allah Lamalera, Perjalananmu masih sangatlah panjang,
Menyinggahi Port Moresby, lalu menuju teluk Redscar, yang tekenal dengan Manu-Mananya.
Teluk Deception, Pulau Morigio, Pulau Dibiri, Umuda I, Kiwai kau sapa dalam perjalananmu menuju Parama.
Pulau Bristow, Saibai, sebagai anak-anak pulau Papua kau lewati, agar bisa menyinggahi pulau-pulau Australia di Utara Timur benua: Pulau Kamis, Warraber dan Moa.
Kota New Mapon pada pucuk tertinggi benua Australia memandangmu penuh kagum
Ketika kau berenang dengan sukacita memasuki laut-laut wilayah Indonesia yang semakin hangat dan ramah, menuju Merauke, kota besar ter-timur NKRI.
Dari Merauke kau berangkat menuju pulau Yos Sudarso, lalu pamit dengannya dan menyelam memasuki peraian laut Arafuru.
Pulau-pulau kecil penuh pesona, Trangan, Kei, Jamdena, memintamu untuk singgah,
menyuguhimu santapan kesukaanmu gurita dan cumi-cumi raksasa yang hidup dalam kekayaan perut laut mereka, agar kau punya tenaga yang cukup untuk melanjutkan perenanganmu menuju Yerusalem dan Golgota puncak hidupmu, Lamalera.
(7)
Pamit kepada Laut Arafuru, kau hijrah masuk ke Laut Timor di celah himptan Australia dan Timor.
Kota-kota Timor Leste: Los Palos, Tiri Lolo, Viqueque, Bibiuleo, Betano dan Suai memberi tabik kepadamu. Gunung Materbeanfeto berdiri cantik memberikan berkat kepadamu, seperti
Bunda Yesus, Maria, yang berdiri tenang memberkati perjalanan Puteranya, Yesus.
(8)
Besikama dan Weoe, menyalami-mu masuk ke wilayah Nusa Tenggara Timur.
Naoeleoe, Pantai Nualunat, Pantai Kolbano, Toineke, Oetune, membakar semangat dan menghantarmu ke Oisina di dekat Tablolong.
(9)
Pulau Rote di sebelah kirimu menantimu setiap tahun dengan kerinduan yang membarah.
Kau singgahi sebentar pantai mereka, menikmati istirahat sesaat, dibuai aroma sirih-pinang, moke lontar dan gula tuak.
Pulau Sabu berteriak histeris dan gembira melihatmu berenang meninggalkan Nembrala dan Oli di pulau Rote, menuju ke Baah….
Di sini, arus laut Sawu sudah menunggu, menyumbang tenaga menatangmu menuju Yerusalem-mu.
Dari Baah, kepalamu kau hadapkan ke arah timur, dan Sumba, pulau harum Sandelwood, menyaksikanmu dalam pekik sorak manusia dan ringkik kuda-kuda sabana dari sebelah kirimu.
(10)
Semakin dekat tujuanmu,
Bertambah pula denyut nadimu
Bukan karena takut,
Tetapi karena kasihmu yang besar,
Karena keputusanmu sudah pasti.
Hidup itu anugerah,
hanya berarti kalau dikorbankan
bagi kehidupan dan keselamatan manusia.
(11)
Kau teruskan perjalananmu ke timur, pulau Timor mengamatimu dari sebelah kanan,
Seperti induk ikan raksasa yang sedang bergurau dengan anaknya pulau Semau, Rote, Sabu dan Sumba
Dari sebelah kiri, ada Flores, pulau kembang yang hembuskan keharuman, seperti Harum kemenyan dan mur hadiah Tiga Raja ketika Kristus Lahir,
Pulau Solor, seperti lengkungan Pedang
Adonara jadi tameng,
Dan Tanjung Naga jadi Naga sungguhan mengawali perenanganmu
Mingar, Penikene, Idalolo, Neppa, Orafutu, Tirer, Nubi, Tapobali, Folofutu, Pedde dan Membele berpekik-sorak, mengelukanmu seperti pahlawan, iya, pahlawan.
Semburan air laut dari hidungmu membuat orang-orang di Lamabaka, Lefotala, Lamamanu
Mulai angkat suara bersama-sama menyoraki kehadiranmu dengan doa-doa mereka dan ladang-ladang berbatu yang gersang sebab hujan jarang tercurah dari langit menumbuhkan benih-benih yang mereka tabur.
(12)
Lamalera menyambut dengan seruan doa “baleo! baleo! baleoooooo!”
Perempuan memberikan semangat kepada para lelaki, yang memang harus menjadi sangat jantan dan sigap berganti pakaian, mengangkat duri, mengenakan blettu (topi koli), tak lupa pula akan sejemput tembakau dan beberapa helai koli putih di dalam loma.
Perempuan memacu semangat para lelaki, sambil teriakan “jangan kau berlama-lama. Bergegaslan ke pantai, jangan ketinggalam perahu, sebab Sora Tarre Bala sudah tiba.
Bergegaslah ke laut hai kamu para lelaki, pergilah mengayuh tena-mu, jemputlah Sang Raja,
Sang Domba Allah.”
Anak-anak, tak mau kalah bertarung dengan para lelaki dewasa, berlomba berlari menuju pantai,
Lagge mereka tarik, jejerkan di hadapan peledang, agar cepat meluncur dari bangsal ke laut.
Neme-Fatte yang selalu diam dan tenang,
Kini menjadi gaduh, bukan kegaduhan biasa, tetapi penuh doa dan sukacita,
Lamafa dan Meing alep, bukanlah seperti prajurit Romawi yang membunuh Yesus Kristus 20-an abad lalu,
Narakajjak (penghuni kampung), bukanlah seperti mereka yang bersorak meneriakkan: ”salibkanlah Dia; bunuhlah Dia.!”
Lamafa dan Meing-alep, adalah prajurit-prajurit Lefotana, yang mengayuh peledangnya, bukan untuk mengejar dan membunuh,
Mereka mendatangimu dalam sebuah prosesi penjemputan penuh doa
menerima dan menyalamimu Sora Tarre Bala, Anak Domba Allah yang datang sebagai berkat dan rezeki dari Lera-Fulle-Tana Ekke.
Perahu bukanlah mobil tempur atau kapal perang
Tempuling dan duri bukanlah lembing, paku atau senjata perang
Tali-temali bukanlah rantai pengikat yang mengekangmu
Semuanya adalah perlengkapan armada
Untuk mengawal agar perjalanan-Mu menyerahkan nyawa bagi kehidupan mereka dapat terwujud dengan sempurna.
Para janda dan yatim piatu,
semua petani, narakajjak lefo
Tuan tanah, tena alep, suku-alep
Atamollo, ile alep, fatte alep
Bukanlah para ahli taurat, kaum farisi, dan penguasa romawi, atau massa pembunuh.
Mereka adalah para pengagum keperkasaanmu
Sorak-sorai mereka: Baleo!Baleo!Baleo!
Johe, hela! Johe, Hela!
Hilibe! Hilibe!
Greja Hirkae! Greja Hirkae!
Bukanlah pekik kebengisan
dan teriak kebrutalan
oleh makhluk jahanam yang haus darah.
Semuanya adalah doa,
Semuanya adalah letupan harap,
Semuanya adalah mazmur pemuja
Bagi-Mu yang datang untuk membawa hidup-Mu bagi mereka.
Lamafa menusukkan tajam tempulingnya
Bukan untuk melukai atau membunuhmu,
Ia hanya ingin membuka tubuhmu
Agar bisa melihat merah darah-Mu
Merah jantung-Mu
Dan besarnya hati-Mu.
Ketika tempuling tertancap
pada tubuh-Mu
sementara ujung tali tertambat kuat pada perahu,
Itulah saatnya
Kami mendengar kembali Sabda-Mu sedia kala,
“Inilah Tubuh-Ku,”
“Inilah darah-Ku”
Bawalah Aku ke pantai-mu
Bawalah Aku tempat narakajak menanti,
Ke rumah-rumah para janda dan yatim piatu,
Yang sedang menanti kedatangan-Ku.
(13)
Prosesi membawa tubuh-Mu yang tak bernyawa
Dalam deretan peledang para nelayan
Bukanlah prosesi kematian,
Itu prosesi kehidupan.
Pantai, Neme Fatte sudah penuh
dengan narakajak yang menantimu.
Anak-anak mengelu-elukan-Mu
dengan memeluk tubuh-Mu yang tak bernyawa.
(14)
Tubuh-mu dibagi-bagikan
kepada meing-alap, tuan tanah, tena-alap, narakajak, para janda dan yatim piatu.
Dan, terjadilah,
Hidup-Mu, Nyawa-Mu, Roh-Mu
terbagikan kepada semua penghuni kampung,
Engkau bukan mati,
Engkau hidup,
Engkau bangkit
dan tak akan mati lagi,
Kau telah jadi santapan bagi semua orang.
(15)
Seperti barisan para perempuan yang
menemukan-Mu bangkit dan berlari sekuat tenaga bawa kabar sukacita
kepada para murid,
semua Penete-Alap kami,
semua ibu dan kaum perempuan kami pun membawa hidupmu dalam bentuk potongan daging dan kulit-Mu
ke pasar dan penete
agar saudara-saudari kami yang di gunung turut mengambil bagian dalam Tubuh dan Dara-Mu yang satu dan sama.
Oh, Kotoklema,
Sora Tarre Bala
Terima kasih,
karena selalu rela
menyerahkan Tubuh dan Dara-Mu
bagi kami semua. Amin.
Hari Jumad Agung, 2 April 2021
————-
*) Kotoklema adalah nama dalam bahasa Lamaholot dialek Lamalera untuk jenis ikan paus bergigi (sperm-whale) yang selalu ditangkap oleh para nelayan Lamalera. Bahasa Lamalera lain yang dikenakan untuk ikan paus adalah “sora tarre bala” atau “kerbau bertanduk gading”.
Nama kerbau ini barangkali lebih tepat, karena secara ilmiah, ikan paus sebagai jenis mamalia itu termasuk dalam keluarga kebau dan sapi, yang pada awalnya hidup di darat. Mengalami evolusi anatomis setelah masuk ke laut (kerbau, sapi dan ikan paus termasuk even-toed, binatang berkuku genap)
*) Narasi ini saya tulis dengan sebuah “pengandaian” akan migrasi musiman ikan paus setiap tahun dari peraian Australia ke Lamalera. Dan, mencoba mengedepankan pemahaman orang Lamalera tentang ikan paus, bukan sekedar sebagai satwa laut, tetapi lebih sebagai sebuah “berkat” dan juga penjelmaan dari Sang Hidup itu sendiri. Oleh karena itu, tradisi Baleo di Lamalera, bukanlah sebuah tradisi “pembantaian” tetapi sebuah liturgi kehidupan untuk menerima Sang Hidup yang relah menyerahkan diriNya bagi kehidupan manusia (i.e. orang Lamalera).