Oleh Wilson Boimau
(Staf Biro Humas NTT)
PERATURAN Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek dan Dikti) Republik Indonesia, Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, mewajibkan setiap profesor menulis karya ilmiah di jurnal internasional.
Sehingga tepat sekali bila profesor yang lalai dari kewajibannya, dikenakan sanksi. Batas akhir penulisan karya ilmiah di jurnal internasional November 2019 dan terdapat profesor yang belum mempublikasikan tulisannya di jurnal internasional bakal mengalami pemotongan tunjangan.
Permen tersebut menyebutkan tunjangan profesi bagi dosen dan tunjangan kehormatan profesor diberikan sebagai penghargaan terhadap kinerja dosen. Diantaranya melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi terutama di bidang penelitian.
Pasal 4, Permen Ristek dan Dikti nomor 20 Tahun 2017, berbunyi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi ilmiah di Indonesia, bagi dosen yang memiliki jabatan akademik Lektor Kepala harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi. Atau paling sedikit satu karya ilmiah bagi seorang profesor yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten atau karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu tiga tahun.
Berdasarkan pasal 5 Permen Ristek dan Dikti, mengatakan Lektor Kepala yang tidak dapat memenuhi kewajiban membuat karya tulis ilmiah, atau paten atau karya seni monumental/desain monumental akan diberhentikan tunjangan profesinya dengan ketentuan, yaitu pengurangan tunjangan profesi dosen sebesar 25 persen dari tunjangan yang diterima setiap bulan.
Pemberhentian tunjangan profesi akan dilakukan pada tahun berikutnya. Tunjangan profesi diaktifkan kembali pada tahun berikutnya apabila dosen tersebut telah memenuhi kewajibannya.
Selanjutnya, sesuai pasal 9, Permen Ristek dan Dikti ini, profesor yang tidak dapat memenuhi kewajibannya menghasilkan karya tulis ilmiah pada jurnal internasional atau jurnal internasional bereputasi, atau paten atau karya seni monumental/desain monumental dalam kurun waktu tiga tahun akan diberhentikan sementara tunjangan kehormatan. Yaitu pengurangan tunjangan kehormatan sebesar 25 persen dari tunjangan kehormatan yang diterima setiap bulan. Pemberhentian tunjangan kehormatan dilakukan pada tahun berikutnya setelah dievaluasi. Tunjangan kehormatan diaktifkan kembali secara penuh jika telah memenuhi kewajiban menulis karya ilmiah dalam jurnal internasional.
Dirjen Sumberdaya IPTEK pada Kementerian Ristek dan Dikti, Prof. Ali Ghufron Mukti,M.Sc., Ph.D, dalam kegiatan sosialisasi Permen Ristek dan Dikti, nomor 20 Tahun 2017, di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, mengatakan fungsi pokok dosen dan profesor, selain pengajaran juga pada pengembangan keilmuan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Profesor merupakan academic leader, sehingga diterbitkannya Permen Ristek dan Dikti ini, ingin menegaskan bahwa kewajiban profesor dan dosen untuk melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, menghasilkan karya ilmiah dan memproduksi pengetahuan. Menurutnya, jija diperbandingkan antara jumlah dosen di seluruh Indonesia dengan jumlah publikasi per tahun, terlihat jelas produktivitas dosen di Indonesia masih kurang. Di Indonesia, profesor lebih banyak mengajar dan jarang meneliti, publikasi atau menghasilkan suatu inovasi. Padahal, idealnya semakin tinggi jabatan akademik maka penelitiannya juga semakin tinggi.
Kata Ali Ghufron, setelah orang menjadi profesor, produktivitas dosen menurun drastis, karena pada umumnya setelah menjadi profesor, banyak yang menduduki jabatan struktural. Menurut hasil survey, 53 persen dari seluruh dosen di Indonesia menduduki jabatan struktural. Seharusnya potensi bangsa terutama dosen diharapkan kembali pada tugas pokok dan fungsi sebagai academic leader. Dan Permen Ristek dan Dikti Nomor 20 Tahun 2017, sangat bagus untuk mendorong profesor dan dosen lebih banyak menulis dan tidak hanya mengajar.
Penuliasan Artikel Ilmiah
Penulisan artikel atau karya ilmiah berbasis penelitian dalam jurnal internasional, tentu perlu bekerjasama dengan lembaga yang memiliki otoritas tinggi soal riset, yaitu Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI). Karena di lembaga ini terdapat kegiatan penelitian yang disebut “profesor riset”.
Untuk penulisan dalam jurnal internasional tidak berbeda dengan jurnal nasional maupun lokal di Indonesia. Namun, salah satu kriteria penulisan karya ilmiah bertaraf internasional, yaitu artikel ilmiah tersebut harus diminati oleh publik dunia internasional, memiliki kemampuan menganalisa masalah dan membuat solusi masalah, kuasai literatur dan hindari plagiasi serta menguasai topik. Jadi sifatnya universal. Sedangkan ciri utama jurnal bertaraf internasional adalah menggunakan bahasa internasional, “editorial broads”. Atau paling sedikit memiliki “consulting editor”. Kriteria lainnya, jurnal tersebut memiliki mutu dan diakui secara internasional dan menjadi referensi para ilmuwan internasional.
Mempublikasi karya ilmiah dalam bentuk artikel dalam jurnal internasional mempunyai beberapa manfaat. Antara lain, artikel ilmiah menjadi basis kegiatan penelitian dapat dibaca oleh para ahli di seluruh dunia. Sehingga dapat membawa nama pribadi dan nama negara Indonesia menjadi terkenal di mata dunia internasional. Dan sesuai peraturan baru dari Kementerian Riset dan Dikti RI, terdapat angka kredit dengan nilai 40 bagi profesor yang menulis karya ilmiah dalam jurnal internasional.
Kita perlu akui kendala yang dihadapi para Maha Guru (profesor), adalah soal bahasa dalam penulisan karya ilmiah dalam jurnal internasioanal. Karena bahasa Inggris bukan bahasa utama di negara kita, kendati tersedia juga tim editor yang bisa membantu dalam penulisannya. Namun, tingkat kesulitan dalam menulis di jurnal internasional tetap menjadi kendala.
Memang Kementerian Riset dan Dikti, menginginkan adanya profesor yang berkualitas sesuai kompetensinya tetapi pro dan kontra terkait Permen Ristek dan Dikti nomor 20;Tahun 2017 terus bermunculan. Mau tidak mau menjadi profesor memiliki pekerjaan menulis yang sudah seharusnya menjadi budaya untuk menjaga kehormatan sebagai guru besar. Hingga November 2019, bagi profesor yang belum mempublikasikan karya ilmiah dalam jurnal internasional, bakal mengalami pemotongan tunjangan kehormatan sebesar 25 persen. (*)