Megakorupsi Megaproyek e-KTP

by -146 views

KORUPSI proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau KTP-E barangkali salah satu contoh terburuk dari sebuah konsep tentang korupsi paripurna di negeri ini. Inilah korupsi yang sudah disiapkan atau dilakukan sejak dari awal perencanaan dan berakhir dengan dampaknya yang luar biasa menyengsarakan rakyat.

Bahwa kemudian korupsi KTP-E itu memunculkan nama-nama besar, orang-orang penting sebagai pihak yang terlibat dan yang mungkin akan dinyatakan terlibat, itu ialah kewajaran. Megaskandal tersebut tidak mungkin bisa berjalan dengan mulus dari hulu perencanaan hingga hilir tanpa ada campur tangan orang-orang berpengaruh itu.

Lalu mengapa disebut menyengsarakan? Karena akibat belitan korupsi KTP-E itu, sistem kependudukan kita tetap amburadul. Kejahatan itu juga yang membuat hingga kini masih ada sekitar 7 juta penduduk yang belum terekam untuk program KTP-E. Artinya, korupsi KTP-E berdampak langsung pada terbengkalainya hak dan pelayanan kepada warga negara.

Belum lagi impak buruknya terhadap kehidupan demokrasi karena kita tahu jalannya demokrasi akan dapat dipertanggungjawabkan bila ia didukung perangkat-perangkat yang sahih, salah satunya ialah data kependudukan yang valid dan akurat. Korupsi KTP-E juga sekaligus membuktikan teori yang mengatakan korupsi tidak pernah dilakukan tunggal.

Korupsi, apalagi yang berlevel mega, pasti membutuhkan kolaborasi antara pihak yang rakus dan pihak yang lancung. Kolaborasi yang sempurna ialah ketika eksekutif, legislatif, dan pemodal ‘bergotong royong’ merencanakan, melakukan, dan merawat korupsi tersebut.

Hari ini, dakwaan dua tersangka dugaan kasus korupsi KTP-E, yakni mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri sekaligus pejabat pembuat komitmen, Sugiharto, akan dibacakan di pengadilan.

Pada dakwaan itulah, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), nama-nama besar di balik proyek ini bakal disebut. Amat miris kita mendengar sebagian besar nama yang akan disebut itu ialah anggota parlemen yang terhormat. Apakah disebutnya nama mereka ialah indikasi bahwa orang-orang ini diduga berkongkalikong dengan pihak-pihak lain untuk mengeruk duit negara sampai tandas dari proyek KTP-E? Itu tugas penegak hukum untuk menjawabnya.

Dari kacamata publik, ada dua hal yang harus ditekankan di kasus ini. Kepada KPK, kita mesti mendorong lebih keras lagi lembaga antirasywah tersebut untuk tetap menguatkan ikhtiar mereka mengusut tuntas megakorupsi dalam megaproyek yang diduga merugikan uang negara Rp2 triliun lebih itu.

Jangan sampai kasus itu mandek atau terkesan mandek seperti yang terjadi tahun lalu. Lalu kepada DPR dan partai politik sebagai penyumbang kader politik di parlemen, masihkah kasus KTP-E yang berpotensi melibatkan puluhan politikus Senayan itu tak pula membuat sadar untuk memperbaiki diri?

Jangan pula parpol cuci tangan dan melempar semua kesalahan kepada kader mereka. Karena itu, mutlak ada perubahan serta penyempurnaan mekanisme internal di tubuh fraksi dan parpol untuk mencegah korupsi di Senayan. Jika tidak ada upaya lebih, terutama dari parpol, bukan tidak mungkin DPR sebagai lembaga akan terus menjadi korban.

Tanpa perubahan itu, boleh jadi lembaga itu akan terus mempertahankan ‘prestasi’ mereka berada di peringkat atas sebagai lembaga terkorup dalam survei korupsi. (miol/jdz)

Ket Foto : Sejumlah Jaksa Penuntut Umum KPK membawa berkas perkara kasus dugaan korupsi proyek E-KTP ke dalam gedung pengadilan Tipikor, Jakarta, 1 Maret 2017. (Antara/M Agung Rajasa)