Gempa Pidie Jadi Momentum Singkirkan Ego

by -123 views

JAKARTA – Aceh kembali berduka. Menjelang 12 tahun peringatan terjadinya bencana gempa dan tsunami di provinsi paling barat itu, Rabu (7/12/2016) subuh, gempa berkekuatan 6,5 SR kembali mengguncang. Kabupaten Pidie Jaya dan Kabupaten Bireuen menjadi wilayah paling terdampak. Hingga kemarin petang, sudah lebih dari 90 orang dinyatakan meninggal akibat bencana tersebut, ratusan korban luka berat dan ringan, serta ratusan bangunan dan fasilitas umum rusak, sebagian bahkan runtuh.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) langsung menyebut situasi di Pidie Jaya dalam kondisi tanggap darurat, dari 7 hari hingga 14 hari ke depan. Duka Aceh adalah duka Indonesia. Kita tentu tak bisa melupakan betapa mengerikan dan memilukannya musibah gempa serta tsunami Aceh pada Desember 2004. Itulah salah satu musibah bencana terbesar di Indonesia, baik dari sisi kekuatan gempa maupun dari sisi dampak serta banyaknya korban.

Pada saat itulah puncak solidaritas nasional, bahkan internasional, terjadi. Tanpa pretensi, tanpa basa-basi, seluruh energi bangsa tercurah untuk kemanusiaan. Semua menyatukan kekuatan untuk Aceh, tanpa memandang agama, suku, dan golongan. Gempa dan tsunami Aceh, kala itu, mampu menciptakan harmoni kebersamaan sangat indah yang bertumpu pada kemanusiaan.

Kini, meski skala bencana gempa Aceh kali ini tak sehebat 12 tahun lalu dan pusat gempanya berada di darat sehingga tidak menyebabkan tsunami dengan dampak yang mengerikan seperti dulu, solidaritas kemanusiaan itu tentu saja tetap dibutuhkan dan karena itu harus dipertahankan. Kita mesti segera mengalihkan energi bangsa yang belakangan malah lebih kerap dipakai untuk bertikai dan berkelahi demi syahwat materi dan politik untuk membantu korban gempa Pidie.

Inilah momentum untuk menyatukan kembali kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda itu serta menyingkirkan ego demi meneguhkan rasa kemanusiaan. Inilah momentum bagi kita semua untuk bersatu dan beraksi membela korban gempa. Dalam perspektif yang lain, gempa Aceh seperti menjadi penegas bahwa negeri ini memang amat dekat dengan bencana. Bukan cuma gempa, Indonesia juga akrab dengan bencana-bencana lain seperti banjir, tanah longsor, pergerakan tanah, tsunami, dan erupsi gunung.

Itu tidak lepas dari kondisi geografis dan geologis Nusantara yang memang tergolong rawan bencana. Harus dicatat bahwa bukan hanya Aceh, sebagian besar wilayah Indonesia berada di area cincin api Pasifik yang tidak stabil, rentan gempa, tsunami, dan tanah longsor. Sebelum gempa Aceh terjadi pun, BNPB baru saja merilis data sepanjang 2016 telah terjadi 575 kejadian tanah longsor dan mengakibatkan 117 orang tewas, 38.506 orang menderita dan mengungsi, serta ribuan rumah dan bangunan rusak.

Sungguh, fakta-fakta itu kian membuktikan bahwa memang sudah saatnya negeri ini berjalan di atas mekanisme yang lebih bersahabat dengan alam dan berteman dengan bencana. Kita tak bisa menghindari bencana karena kita hidup bersamanya. Yang masih misteri ialah kapan dan di mana bencana itu akan terjadi. Cara terbaik menghadapinya ialah dengan mitigasi bencana demi mengurangi risiko dan dampak bencana. Tugas negara untuk memastikan mitigasi dapat berjalan efektif dan mampu menggerakkan peran aktif masyarakat dalam antisipasi bencana. Tidak ada pilihan bagi kita selain meningkatkan kesiapan, kewaspadaan, dan keterampilan menghadapi bencana. (mi/jdz)

Ket Foto : Bangunan masjid rusak akibat gempa 6,5 SR yang mengguncang Pidie Jaya, Aceh, Rabu (7/11).