Saya Ingin Mendapatkan Keadilan….

by -175 views

Hampir dua tahun Bupati Sabu Raijua, Ir Marthen Luther Dira Tome, tersandera oleh status tersangka yang ditetapkan KPK. Selama itu, Bupati yang sukses membangun Negeri Para Dewa itu, tidak melawan. Ia bungkam. Pekan lalu, ia mempraperadilan-kan lembaga antirasuah itu. Yang dicari bukan kemenangan, tapi keadilan. “Saya ingin mendapatkan keadilan,” tegasnya dalam konferensi pers di Restoran Nelayan Kupang, Jumat (15/4). Berikut penjelasan Dira Tome mengapa menggugat KPK.

“Gugatan praperadilan ke KPK itu tidak untuk membuat KPK malu. Tidak juga untuk menunjukkan kesalahan KPK. Yang paling besar itu adalah saya ingin mencari keadilan,” tegasnya.

Sebab, menurut dia, adil dalam dunia hukum itu ada dua, yakni ketika orang bersalah harus dihukum dan orang benar harus dibebaskan. “Saya harap di KPK harus ada itu. Keadilan itu harus ada dengan prinsip orang di KPK itu bukan malaikat. KPK itu tidak boleh menjadi sama seperti perangkap tikus. Ada pintu masuk tapi tidak ada pintu keluar. Itu sangat berbahaya. Tikus mana saja yang masuk apakah itu hitam putih biru blau jika masuk ke situ bisa dihukum mati hanya karena terlanjur masuk kesitu. Harus ada kearifan disini. Saya juga setuju tidak perlu rubah undang-undang, tapi lebih setuju lagi kalau KPK melakukan tindakan-tindakan ke dalam yang tidak merugikan orang lain. Kalau dia melihat kondisi itu kembalikan saja ke Kejaksaan supaya bisa di SP3. Itu selesai,” ujarnya.

Ma Tade, demikian sapaan popularnya di Sabu, menceritakan, sejak ditetapkan sebagai tersangka pada November 2014 oleh KPK dalam kasus dana Pendidikan Luar Sekolah (PLS), ia memilih diam. Saat itu, ia sempat mengeluarkan pernyataan akan menggugat lembaga antirasuah ini, tapi tidak dilakukan hingga saat ini. Jumat (8/4/2016) Dira Tome telah mendaftarkan gugatan praperadilan kepada KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Mengapa?

Ia menjelaskan, prapreadilan adalah hak setiap warga Negara. Tapi bukan karena adanya hak itu lalu tidak melakukan pertimbangan-pertimbangan. “Pertimbangan pertama itu adalah sebagai negarawan. Kita harapkan lembaga antirasuah ini harus tumbuh mekar dan bersemi. Kita mau lembaga ini harus tumbuh menjadi kokoh sehingga pemberantasan korupsi di Negara ini harus berjalan secara baik. Kita tidak ingin lembaga ini kotor dan selesai sampai disini riwayatnya. Kita menjaga supaya bisa bertumbuh secara baik,” tegasnya.

Ia juga tidak memungkiri bahwa orang-orang yang bekerja di KPK ini adalah manusia biasa dan bukan malaikat. Sebagai manusia biasa tentu saja sewaktu-waktu bisa khilaf. “Prinsip itulah yang kita lihat bahwa kita sedang menjaga KPK, tapi kita juga percaya bahwa mereka hanya manusia bukan malaikat. Dengan harapan bahwa kalaupun KPK tidak punya ruang untuk menerbitkan SP3, tapi ada jalan lain, KPK bisa kembalikan kasus itu ke Kejaksaan. Apalagi kasus itu diambil dari Kejaksaan sehingga nanti lembaga ini tidak boleh ternoda hanya karena kita peraperadilan lalu mereka kalah,” katanya.

“Kami telah ditetapkan sebagai tersangka. Kami merasa tidak adil karena kami merasa tidak bersalah. KPK menetapkan orang menjadi tersangka tanpa sebuah proses sesuai Protap mereka. Kami ditetapkan sebagai tersangka pada Oktober 2014. Bulan November baru mulai periksa saksi. Penetapan seorang calon tersangka menjadi tersangka harus melalui suatu proses pemeriksaan. Tapi itu tidak dilakukan, tiba-tiba kami ditetapkan sebagai tersangka. Itu salah. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka. Saya dan Jhon Manulangga. Kapan kami diperiksa. Kapan Manulangga diperiksa. Dia meninggal tanggal 31 Desember 2011, ditetapkan sebagai tersangka 2014. Ini kondisi yang terjadi, makanya saya bilang kita ini manusia biasa. Kita bukan malaikat. Karena itu tidak terlepas dari kekhilafan,” bebernya.

Menurut Dira Tome, tuduhan kepada dirinya dianggap telah melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan. “Kewenangan yang mana yang disalah-gunakan. Saat itu ketika Kejaksaan Tinggi NTT memeriksa kami, saat itu Kajati mengatakan sulit menemukan alat bukti dan itu diliput oleh media. Alat bukti yang mana kita sudah jawab dan buktikan,” kata Dira Tome.

Salah Alamat

Tuduhan lain, sebut dia, Forum PLS itu dibentuk oleh dirinya untuk mengelola keuangan. Itu salah alamat. Forum PLS itu dibentuk karena dua dasar. Pertama, itu karena adanya forum pusat yang terbentuk 2005. Forum PLS punya AD/ART. Dalam AD/ART itu forum pusat beranggotakan semua tenaga kontrak. Akibat karena itu maka serta merta forum provinsi dan kabupaten/kota itu harus dibentuk karena beranggotakan semua tenaga kontrak yang ada hingga ke bawah. Forum di kabupaten/kota adalah perpanjangan tangan forum pusat. Pun, ada surat edaran dari ketua forum pusat yang meminta segera membuat forum di provinsi dan kabupaten/kota. “Forum pusat dibentuk tahun 2005, di NTT dibentuk tahun 2006. Ada atau tidak ada anggaran PLS itu Forum itu harus terbentuk,” ujarnya.

Dasar kedua pembentukan Forum PLS, jelas Dira Tome, adalah adanya sebuah Juknis dari Direktorat PTK PNF yang meminta forum harus dibentuk. Juknis itu mengatakan, forum itu harus dideklarasikan oleh lembaga yang lebih tinggi. Jika tidak ada lembaga itu di daerah maka diwajibkan untuk dideklarasikan oleh Kepala Dinas Provinsi yakni Jhon Manulangga.

“Forum itu dibentuk bukan dalam rangka mengelola keuangan, tapi dibentuk untuk memenuhi dan menjawab tuntutan dua itu tadi yakni forum pusat dan Juknis. Jhon Manulangga pensiun tahun 2006, Kasus ini terjadi tahun 2007, kok Jhon Manulangga tersangka? Hubungannya apa, karena Jhon Manulangga mendeklarasikan forum ini. Sekali lagi, ada dan tiada anggaran PLS, forum ini harus terbentuk. Tugas forum itu jelas yakni membangun hubungan komunikasi dengan semua lembaga, termasuk lembaga pemerintah. Mereka terdiri dari TLD-TLD, tenaga lapangan. Mereka punya lembaga yang berbadan hukum, mereka punya NPWP, mereka punya rekening dan lain-lain. Lalu kemudian karena pergumulan dan kesulitan lapangan dengan program PLS yang begitu luas hingga ke bawah. Dia tidak ada di satu tempat PLS itu. Tidak sama dengan sekolah formal yang 1000 orang lalu ada di satu tempat. Satu ada di desa ini, satu ada di desa lain, begitu menyebarnya. Karena itu mengalami kesulitan yang luar biasa bagimana mendistribuskan uang. Ini dana Dekon, ini ada aturannya. Aturannya juga terikat dengan aturan KPKN,” beber Dira Tome.

Ia juga menegaskan, pencairan keuangan ini menurut Juknis, langsung ke rekening penyelenggara. Ketika mau dicairkan, maka tuntutannya, lembaga harus punya NPWP dan rekening. “Sulit bagi mereka yang baru membuat lembaga untuk membuat itu. Maka sepakat mereka semua yakni forum yang diwakili oleh kepala bidang seluruh NTT supaya pencairan uang itu tepat waktu dan program bisa berjalan baik dan hasilnya maksimal, maka mereka sepakat uang itu dicairkan lewat Forum Provinsi lalu dari situ dicairkan lagi ke Forum Kabupaten/kota dan melanjutkan itu ke penyelanggara. Atas nama efektivitas dan efisiensi, kami lakukan itu. Bukan kehendak saya. Salah alamat kalau penegak hukum menuduh saya seolah-olah saya yang menggagas itu. Sebagai PPK, saya lakukan itu, selain karena permintaan lapangan untuk mempermudah pelaksanaan program supaya jangan gagal dan uang kembali ke Jakarta, karena itu dana dekonsentrasi,” terang Bupati Sabu Raijua periode kedua ini.

Yang kedua, jelas dia, bukan dirinya yang menandatangani SK Pembentukan Forum. “Setelah itu kita ajukan kepada kepala dinas. Kepala Dinas mengeluarkan SK menunjuk Forum Provinsi itu sebagai penyelenggara penyalur keuangan. “Pertanyaanya, kewenangan mana yang saya salah gunakan. Saya ini eksekutor, saya laksanakan itu. Jadi dari sisi proses itu sudah benar karena kepala dinas itu adalah kepala lembaga yang berhak mengambil tindakan itu. Ada kebijakan-kebijakan yang kita tempuh dalam rangka memperlancar program sesuai juknis dari pusat,” katanya.

Juknis ini tidak lengkap, tidak sempurna, karena itu butuh inovasi dan kreativitas dari penyelenggara sehingga hasilnya maksimal. “Ada itu, Juknis memberi ruang. Ada Juknis dari Direktorat Dikmas mengatakan pencairan anggaran harus dilakukan sesuai mekanisme yang berlaku di daerah. Yang salah siapa, jangan karena mereka sudah terlanjur baru ini dipaksakan. Yang berikut, terkait dengan praperadilan itu, ada kejanggalan-kejanggalan terhadap tuduhan yang dilakukan kepada kami. Kalau mereka bilang sudah cukup alat bukti, lalu menetapkan orang jadi tersangka. Pertanyaan saya, orang-orang itu diperiksa untuk apa lagi,” tegasnya.

Argumen KPK yang dilansir Media, menurut dia, bahwa pemeriksaan yang dilakukan dalam rangka mencari tambahan alat bukti, membuktikan KPK memang masih membutuhkan alat bukti, tapi sudah menetapkan seseorang jadi tersangka. “Kalau mereka butuh tambahan alat bukti berarti alat bukti masih kurang. Ingat bahwa KUHAP itu mengijinkan bahwa minimal harus dua alat bukti yang sah. Kalau tidak sah kenapa kau buru-buru menetapkan orang tersangka. KPK itu jangan berharap mendapatkan jawaban yang berbeda dari teman-teman. Jangan juga menuduh seakan-akan ini sudah distel oleh saya. Boleh minta kepada mereka dan sumpah mereka apakah saya pernah mengambil uang satu sen dari mereka atau mereka pernah memberi saya satu batang rokok atau tidak. Saya bukan malaikat, tapi saya ingin mengatakan bahwa saya telah melakukan program ini dengan nurani yang baik dengan melibatkan semua orang,” ungkap Ma Tade.

Ia berharap tidak menjadi korban hanya karena KPK tidak paham program PLS. “Harapan kami jangan mereka memaksakan kehendak bahwa mereka akan mendapatkan jawaban lain dari teman-teman penyelenggara. Itu tidak mungkin terjadi. Jangan mereka melakukan jebakan-jebakan bahwa teman kamu itu bilang begini, kenapa kamu bilang begitu. Hukum itu tidak boleh putar balik. Hukum itu merupakan wasit yang baik. Jangan tipu sini tipu sana supaya orang mengakui yang lain, itu tidak boleh. Jika mereka melakukan itu maka Tuhan yang akan mengadili mereka,” tegasnya.

Ia menandaskan lagi, “Kami ditetapkan tersangka satu paket dengan Jhon Manulangga. Masalah yang sama diumumkan satu hari pula, kemudian dikatakan sprindiknya berbeda. Jhon Manulangga punya sudah ditinjau kembali. Berarti KPK sudah bisa meninjau kembali seseorang yang sudah ditetapkan tersangka. Berarti tidak butuh lagi revisi Undang-Undang. Kalau Jhon Manulangga bisa ditinjau kembali, berarti saya juga bisa ditinjau kembali kalau lihat kondisi ini. Saya tidak tahu dosa saya apa”.

Wajib Adakan Buku

Menyinggung soal pengadaan buku, Dira Tome memaparkan, KPK mensinyalir bahwa pengadaan buku fiktif semua. Padahal semua penyelenggara mengaku sudah terima buku. “Mereka paksakan ini. Di Kejaksaan saya dan teman-teman sudah jelaskan, bahwa Juknis secara jelas mengatakan ada pengadaan buku dan belanja bahan ajar,dan wajib tunduk pada Keppres 80 tahun 2003. Dengan demikian, kita lakukan tender lelang, kita umumkan di koran. Orang melakukan penawaran dan tetapkan pemenang dan semua terima buku,” katanya.

Pada poin B, lanjut dia, ada belanja bahan ajar. Belanja bahan ajar ini uangnya ditaruh ke penyelenggara. “Mau beli di kios, toko atau dimana saja. Sayangnya buku itu tidak ada di kios atau took, apalagi di kaki lima. Buku itu hanya ada di penerbit. Penerbit tidak akan cetak buku tersebut jika uangnya datang sepotong-sepotong. Karena itu uangnya harus masuk ke penyelenggara dulu. Satu kelompok paket A itu 20 orang, nilai buku 2 juta rupiah. Satu kelompok paket B ada 40 orang, nilai uangnya 4,5 juta. Karena kelompok ini menyebar hingga pelosok-pelosok bagimana penyelenggara bisa belanja sampai ke Surabaya dengan uang 2 juta rupiah tanpa biaya operasional. Dengan demikian dimintalah oleh penerbit, kami bisa layani yang penting uangnya kumpul dulu, kami tidak layani satu-satu. Kumpul dulu supaya kami tahu berapa jumlahnya. Ini yang disebut dengan dana swakelola. Jangan dipaksakan untuk lelang karena itu akumulasi uang yang terkumpul,” terang Dira Tome. (jdz)

Foto : Bupati Sabu Raijua, Ir Marthen Luther Dira Tome bersama Ibu usai dilantik menjadi Bupati periode kedua, belum lama ini.