JAKARTA — Pemerintah boleh saja optimis untuk menaikkan besaran RAPBN 2016 dibandingkan tahun ini. Tapi, bila usaha dan konsistensi menjalankan RAPBN 2016 masih sama dengan APBN-P 2015, nasib RAPBN 2016 tampaknya akan sama dengan APBN-P 2015 alias meleset jauh dari target.
Akhir bulan ini rencananya Rancangan Undang-Undang (RUU) RAPBN 2016 akan dijadikan Undang-undang. Eksekutif dan legislatif sudah setuju dengan asumsi-asumsi APBN 2016. Seperti, target pendapatan negara, target belanja negara, pertumbuhan ekonomi, inflasi, kurs dolar AS dll sudah disepakati.
Dalam menyusun asumsi-asumsi RAPBN 2016 masih terlihat keoptimisan pemerintah. Lihat saja pemerintah menargetkan pendapatan Negara Rp 1.848 triliun. Dari uang sebanyak itu, pendapatan pajak diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar 73 persen.
Pendapatan pajak dalam RAPBN 2016 ditargetkan sebesar Rp 1.356 triliun atau naik hampir 5 persen dibandingkan target tahun ini. Kenaikan tahun depan walau tidak sebesar kenaikan tahun ini, tetap diragukan keberhasilannya.
Awal tahun ini banyak orang mengingatkan bahwa target pendapatan pajak APBN-P 2015 tidak realitis tapi pemerintah berkeras. Hasilnya, sampai akhir bulan September pendapatan pajak baru mencapai Rp 682 triliun atau 53 persen dari target. Mengingat tahun ini tersisa tiga bulan, bisa dipastikan target pendapatan pajak meleset.
Untuk menggenjot pendapatan pajak tahun depan pemerintahan sekarang akan melakukan segala upaya. Seperti sedang menggodok RUU Pengampunan Nasional (Tax Amnesty) dan memotong tarif Pajak Penghasilan (PPh) revaluasi asset dari 10 persen menjadi 3-6 persen. Dua upaya itu dilakukan karena upaya pemerintah menaikkan pendapatan pajak dengan mengeluarkan kebijakan menaikan tunjangan pegawai pajak, terbukti gagal.
Upaya pemerintah menaikan pajak dengan membuat progaram tax amnesty dan menurunkan PPh revaluasi asset untuk jangka pendek memang akan menaikan pendapatan pajak. Tapi, kedua cara tersebut tidak dapat memberikan kesinambungan pendapatan pajak. Karena kedua program tersebut bersifat tentatif.
Untuk menaikan kesinambungan pendapatan pajak tidak ada cara lain selain meningkatkan tax ratio. Tapi, kalau organisasi dan budaya kerja Direktorat Jendral Pajak (DJP) ditambah dengan kuantitas dan kualitas pegawai pajak masih seperti sekarang, untuk meningkatkan tax ratio sulit untuk dicapai. Artinya, untuk meningkatkan tax ratio pemerintah harus mengadakan perubahan total dulu dalam organisasi dan budaya kerja DJP serta menambah dan merubah mental pegawai pajak.
Selain meningkatkan pendapatan negara, RAPBN 2016 juga meningkatkan belanja negara. Rencananya, tahun depan pemerintah akan meggelontorkan uang Rp 2.121 triliun. Dari jumlah sebesar itu, belanja pemerintah pusat mengambil peranan sebesar 72,5 persen sisanya ditransfer ke daerah.
Sayangnya, penyakit lama serapan anggaran tidak pernah hilang. Serapan anggaran selalu saja terjadi di akhir-akhir tahun. Bayangkan saja, serapan Kementerian dan Lembaga sampai akhir September tahun ini baru mencapai 47 persen. Padahal, belanja pemerintah dapat membantu pertumbuhan ekonomi di kala ekonomi sedang lesu darah.
Pemerintah tidak bisa berdalih bahwa serapan rendah karena penegakan hukum oleh KPK. Karena, sejak KPK didirikan di tahun 2002, serapan anggaran selalu di atas 90 persen. Jadi rendahnya serapan bisa jadi karena pejabat-pejabat pemerintahan sekarang tidak mempunyai kemampuan birokrasi mumpuni.
Walau tahun depan anggaran belanja negara dinaikkan, tapi, subsidi untuk rakyat kembali diturunkan. Tahun depan pemerintah hanya mengalokasikan dana subsidi sebesar Rp 201 triliun atau turun 5,2 persen dibandingkan tahun lalu.
Dari postur RAPBN 2016, kembali terlihat pemerintahan Jokowi memang konsisten untuk menurunkan subsidi energi . Lihat saja, untuk subsidi energi hanya dialokasi Rp 121 triliun atau turun 5,2 persen dibandingkan tahun ini. Sedangkan untuk subsidi non-energi dialokasikan Rp 121 triliun atau naik 8 persen.
Keputusan untuk memotong subsidi energi sebenarnya keputusan benar. Sayangnya, konsistensinya ngawur. Saat harga minyak internasional turun pemerintah meminta Pertamina untuk menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium dan solar. Tapi, di saat harga minyak internasional naik, Pertamina dilarang menaikan harga premium dan solar. Akibatnya, sampai akhir Agustus tahun ini saja Pertamina harus menanggung kerugian menjual BBM jenis premium dan solar sebesar Rp 15,2 triliun.
Pemerintah boleh saja optimis untuk menaikkan besaran RAPBN 2016 dibandingkan tahun ini. Tapi, bila usaha dan konsistensi menjalankan RAPBN 2016 masih sama dengan APBN-P 2015, nasib RAPBN 2016 tampaknya akan sama dengan APBN-P 2015 alias meleset jauh dari target. (indonesianreview.com/jk)