Kupang, mediantt.com — Ini warning politik bagi para pendeta yang sedang menjalankan tugas kenabian sebagai politisi di DPR(D). Ketua Majelis Pertimbangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pdt Dr AA Yewangoe, meminta agar pendeta yang menjadi anggota DPR(D) harus nonaktif sebagai pendeta. Bagi dia, hal ini penting agar mereka tidak membawa jabatan pendeta selama berkiprah sebagai politisi di lembawa wakil rakyat.
“Kalau seorang pendeta menjadi anggota dewan, maka harus nonaktif dari jabatan sebagai pendeta, sebab pendeta yang menjadi anggota dewan tidak boleh rangkap jabatan. Kalau seorang pendeta membawa jabatannya saat menjadi anggota dewan, tentu menimbulkan persoalan. Pendeta dalam mengemban tugas tidak boleh rangkap jabatan apalagi jabatan politik yang berkaitan dengan kekuasaan di dewan. Jadi, harus jaga jarak dengan nonaktif dari pendeta,” kata Yewangoe kepada wartawan, usai bedah bukunya berjudul “Tidak Ada Negara Agama; Satu Nusa, Satu Bangsa” di Kampus UKW Kupang, Selasa (30/6/2015).
Menurutnya, pendeta yang menjadi politisi dalam mengemban tugasnya sebagai wakil rakyat, harus tetap menyuarakan suara kenabian agar memberi manfaat atas dewan yang berpredikat sebagai pendeta bagi kepentingan masyarakat.
Ditanya soal point penting dari bukunya, ia mengatakan, gereja yang disorot dalam bukunya diarahkan untuk tetap menjaga kekritisannya. “Artinya, gereja yang kritis namun solider. Sikap gereja yang kritis solider tentunya memberikan kritikan dengan alasan yang jelas demi kemaslahatan kehidupan bersama. Kritik yang disampaikan kepada negara juga merupakan kritik terhadap gereja sendiri. Ini berarti sikap gereja benar-benar obyektif, jujur, dan rendah hati dalam memberikan kritikan kepada negara, dengan tetap mawas diri; apakah kritikan itu murni dari suara hati atau untuk kepentingan kelompok tertentu,” tegas mantan Rektor UKW Kupang ini.
Menurutnya, gereja dalam hubungannya dengan negara harus menjalankan politik moral, bukan politik kekuasaan. Politik moral yang dimaksud, sebut dia, adalah menyampaikan pemikiran, gagasan, saran, dan kritikan kepada pemerintah atau pemimpin bangsa untuk meluruskan hal-hal atau kebijakan yang menurut pandangan gereja menyimpang dari nilai-nilai kebenaran.
Dalam buku itu, ia juga menegaskan, di Indonesia paham soal Agama dan Negara begitu kabur, yang ditandai adanya upaya mengidentikkan agama tertentu dengan negara atau agama yang satu dengan lainnya. “Gereja menghadapi persoalan ini sehingga harus kritis tapi solider, sebab agama tertentu tidak boleh diidentikkan dengan Negara. Hukum agama tertentu tidak boleh dijadikan sebagai hukum positif Negara. Kalau itu terjadi, maka akan ada agama prioritas dan agama nomor dua, demikian pula dampaknya akan ada warga negara nomor satu dan warga negara nomor dua,” tegasnya, mengingatkan.
Ia memberi contoh pemahaman Negara yang kabur adalah adanya Perda di beberapa tempat yang mewajibkan syariat Islam, dan daerah lainnya mewajibkan syariat Kristen. Dalam konteks ini, kata dia, pemimpin Negara harus berdiri di atas konstitusi, dimana semua peraturan yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan konstitusi negara yang ada. “Bila ada aturan yang bertentangan dengan konstitusi harus dicabut. Kami sudah lama menyuarakan itu, kita meminta agar aturan mengenai syariat Islam dan syariat Kristen harus dicabut karena bertentangan dengan konstitusi,” tandas Ketua Majelis Pertimbangan PGI ini.
David Pandie, salah satu Pembeda buku itu menjelaskan, negara modern harus menjamin kebebasan beragama bagi masyarakatnya. Ciri negara modern adalah adanya pemisahan antara urusan agama dengan negara. Indonesia saat ini, menurut penilaiannya abu-abu, sebab telah ada Perda yang mewajibkan Syariat Islam di Bulu Kumba dan Ache, serta Perda Syariat Kristen di Manokwari. Sementara Perda tersebut bertentangan dengan konstitusi. Presiden selaku kepala negara mestinya bersikap tegas atas nama konstitusi demokrasi untuk menolak dan mencabut Perda tersebut, sehingga Aceh bebas dari syariat Islam dan Papua Bebas dari syariat Kristen. “Jika pemimpin negara tidak menunjukkan identitas sebagai negarawan, tentu akan menimbulkan persoalan, karena urusan agaman tidak dipisahkan dari urusan negara,” tegasnya.
Bagi dia, NTT saat ini menunjukkan realitas Indonesia yang sesungguhnya, sebab NTT hidup secara demokratis dengan memberikan kesempatan kepada semua orang hidup di NTT dan beribadat sesuai agama dan keyakinannya. “Hal ini harus terus dipertahankan agar menjadi teladan bagi daerah lain,” katanya.
Pembedah lainnya, Fredrik Y A Doeka, berpendapat, gagasan tidak adanya negara agama sama dengan gagasan Gus Dur, sebab agama merupakan urusan privat bukan urusan publik seperti negara. Menurutnya, jika agama masuk dalam urusan public, maka agama kehilangan nilai religious, malah agama menjadi sumber nilai untuk kepentingan kelompok tertentu. “Buku Pak Yewangeo dapat menjadi panduan bagi orang-orang yang bergelut di bidang politik dan sosial agar bertindak sesuai nilai agama yang dianut,” katanya. (jdz)