Amandemen Kelima, DPD Disarankan Tempuh Jalur Politis

by -144 views

JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menyarankan DPD RI agar menempuh jalur politis terkait putusan MK yang memberikan hak dan wewenang legislasi. Pasalnya, situasi fraksi partai-partai di DPR berbeda-beda terhadap putusan MK tersebut.

“Kalau yuridis, sudah selesai. Tapi, persoalan ini politis, psikopolitis juga. Putuan MK itu tafsir resmi konstitusi. Putusannya sama dengan sebuah UU. Begitu ditetapkan, putusannya masuk lembaran negara. Tidak perlu eksekutor. Langsung berlaku, mengikat. Tapi kalau politis, tergantung perkembangan situasi. Di luar kemampuan MK,” tegas Mahfud rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (17/4).

Menurutnya, amandemen kelima UUD 1945 yang sekaligus memperkuat DPD tidak realistis secara politis saat ini. Karena fraksi partai-partai masih menolak usulan DPD. “Secara politis, tidak realistis gagasan amandemen yang diidealkan DPD dan sejumlah pakar/ahli. (Fraksi) partai-partai masih menolaknya,” pungkas Mahfud.

Mahfud menyarankan, agar bukan hanya DPD saja yang jadi isu pembahasan tapi keseluruhannya. Lantaran, perkembangan politik akhir-akhir ini semakin tak karuan. “Sehingga kita harus berpikir keras meluruskan kembali arah reformasi. Kecenderungannya lebih buruk,” ujar dia.

Ia juga menegaskan bahwa kisruh kewenangan antara DPR dan DPD bersumber pada hasil amandemen UUD 1945 yang distortif (terjadi pemutarbalikan, atau penyimpangan) sejumlah pasal, ayat, dan bagiannya. “Misalnya, mengenai kekuasaan membentuk UU,” kata Mahfud.

Mahfud menjelaskan, kalau DPD hanya dapat mengajukan RUU tertentu kepada DPR, maka pembentukan DPD terlalu mubazir. Namun, nyatanya fraksi partai-partai menolak penguatan DPD. “Kita membentuk DPD kan tidak hanya untuk itu. Terlalu mubazir. Tapi DPR tidak mau. Di luar pandangan politik, dunia akademis mendukung penguatan DPD. Semuanya mendukung. Logikanya masuk,” bebernya.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU MD3 John Pieris menegaskan, RUU MD3 tergolong Prolegnas Prioritas Tahun 2015 rumpun daftar kumulatif terbuka sebagai konsekuensi putusan MK. “Oleh karena itu, dalam pembahasannya kami harus terlibat bersama DPR dan Presiden (Pemerintah),” tegas dia.

Menurutnya, amar putusan MK menegaskan konstitusionalitas hak dan wewenang legislasi DPD. Pada praktiknya DPD tidak terlibat seluruhnya dalam pembahasan RUU tertentu. “Fraksi-fraksi DPR yang menolak itu beralasan, keterlibatan DPD hanya menyebabkan penyusunan RUU tertentu memakan waktu lama,” kata senator asal Maluku itu.

Ia menilai, DPR dalam pembahasan RUU tertentu justru memakan waktu lama karena fraksi-fraksi tidak bisa satu suara. Mereka masih mempertahankan keterlibatan 10 fraksi selama pembahasan RUU tertentu dalam rapat bersama DPD dan Presiden (Pemerintah). “Ternyata mereka tidak menghargai dan menghormati putusan MK itu,” beber John. (ind/jk)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *