”Tuno Manuk”, Ritual Adat Keseimbangan Hidup Suku Lamaholot

by -14 Views

Daging ayam dicampur dengan parutan kelapa, dimasak di dalam bambu petung, demikian pula beras merah. (Foto: kornelis kewa ama).

Ada keyakinan teguh, wujud tertinggi akan menolong peserta upacara ini. Masuk dalam pelataran rumah adat sama dengan masuk dalam perlindungan Tuhan.

KERETAKAN hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam semesta bagi suku Lamaholot adalah sebuah kegagalan. Maka, untuk memulihkan hubungan itu digelar ritual tuno manuk, membangun keseimbangan hidup.

Setiap kaum laki-laki mempersembahkan satu ayam jantan, simbol dewa langit. Ayam ini dipersembahkan di rumah adat korke, tempat Tuhan bersemayam.

Bunyi gong dan gendang pertama ditabuh ketua adat, dilanjutkan oleh lima kepala suku dan anak-anak muda di Kampung Demondei, Kecamatan Wotan Ulumado, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Bunyi musik leluhur ini pertanda upacara tuno manuk segera dimulai.

Kampung yang sebelumnya tampak sunyi, jauh dari hiruk-pikuk kendaraan bermotor dan gegap gempita mesin pabrik, mendadak ramai. Sekitar 2.300 warga dari dua kampung, Demondei dan Mewet, berkumpul bersama. Warga Desa Mewet, di pesisir, datang ke Kampung Demondei, di ketinggian sekitar 850 meter dari permukaan laut (mdpl), bermalam di rumah-rumah anggota keluarga.

Mewet adalah pecahan dari Kampung Demondei, 1982. Ritual ini peninggalan leluhur ratusan tahun silam.

Sebelum pandemi Covid-19, kaum pria dari dua kampung itu yang ada di daerah lain menyempatkan diri hadir. Jika tidak, mereka menitipkan ayam jantan merah, dengan cara mengirim uang kepada anggota keluarga untuk dibelikan atas nama pria bersangkutan.

Apa yang dikehendaki Tuhan tersalur melalui para leluhur dan arwah yang telah meninggal. Arwah para leluhur pun diyakini selalu mendoakan anggota keluarga yang masih hidup

Demondei adalah salah satu kampung tua di kalangan masyarakat suku Lamaholot. Suku ini mendiami sebagian Kabupaten Flores Timur, Lembata, dan Kabupaten Alor di NTT. Setidaknya ada tujuh kampung tua di tiga kabupaten tersebut yang masih memiliki ritual  ini.

Pesta Tahunan

Wakil Ketua Adat Demondei Gerardus Kopong (64), yang terlibat dalam ritus tuno manuk di Kampung Demondei, Senin (27/9/2021), menyebut tuno manuk sebagai pesta tahunan dua kampung itu. Secara harfiah, tuno manuk artinya bakar ayam, makna teologis membawa persembahan bagi Tuhan, yang disebut Rera Wulan Tanah Ekan atau Tuhan Langit Bumi dan segala isinya.

Ritual ini digelar setahun sekali, diawali dengan mimpi ketua adat atau salah satu kepala suku yang diyakini sebagai permintaan dari Tuhan, pelindung, dan pemberi kehidupan bagi kampung itu dan semua isinya.

Ayam jantan diyakini sebagai wujud dari dewa langit. Ia terbang membawa pesan, perdamaian, penebusan, kerukunan, keselamatan, kesuburan, kemenangan, kekuatan, dan persaudaraan antara Tuhan, manusia, dan alam semesta. Ayam itu berwarna merah, tanpa cacat, berbobot lebih dari 1 kg, dan memiliki tanduk tegak lurus. Sebelum diantar ke korke, pemilik ayam berdoa di depan pintu rumah pada pukul 18.00 Wita.

Sambil memegang ayam persembahan dengan posisi duduk, kepala keluarga berdoa. Dengan jujur ia mengakui semua kesalahan, mengucap syukur, dan memohon kepada Tuhan perlindungan, perdamaian, kesehatan, dan kesejahteraan. Tuhan diyakini memiliki hubungan erat dengan para leluhur dan arwah.

”Apa yang dikehendaki Tuhan tersalur melalui para leluhur dan arwah yang telah meninggal, entah dalam mimpi maupun penglihatan langsung. Arwah para leluhur pun diyakini selalu mendoakan anggota keluarga yang masih hidup,” kata Kopong.

Ayam diantar ke rumah adat korke, diterima ketua adat untuk didoakan.
Beragam permohonan disampaikan peserta. Kesuksesan dan perlindungan anggota keluarga yang sedang di perantauan Malaysia. Kesuksesan anak-anak menempuh pendidikan, bebas dari penyakit seperti Covid-19, hasil panen melimpah, dan lainnya. Ketua adat menyampaikan permohonan itu selalu diawali dengan pemanggilan nama Tuhan, ”Ama Rera Wulan, Ina Tanah Ekan” atau Bapak Tuhan di Langit dan Ibu di Bumi, dengarkanlah.

Tidak Terpapar Covid

Ada keyakinan teguh, wujud tertinggi menolong peserta upacara ini. Masuk dalam pelataran rumah adat sama dengan masuk dalam perlindungan Tuhan. Masker boleh dikenakan saat bepergian ke luar kampung ini. Sejak dua tahun pandemi Covid-19, tidak satu pun warga dari kedua kampung itu terpapar Covid-19. Demikian pula desa-desa tetangga.

Saat para tetua adat duduk di panggung korke, semua alat musik dihentikan. Hadirin konsentrasi pada doa-doa yang disampaikan. Nama setiap peserta dengan ayamnya masing-masing disebutkan, termasuk wujud permohonan orang bersangkutan.

Ayam dipotong, darahnya disiramkan pada batu halus yang disebut Nuba Nara, tempat bersemayam Tuhan. Darah segar itu juga dipercikkan pada patung-patung leluhur yang dipajang. Organ ayam diperiksa saksama oleh ketua adat.

”Jika ada organ hilang atau kurang sehat, pertanda jiwa atau keselamatan orang itu bakal terganggu. Orang bersangkutan harus jujur mengakui kesalahan kemudian menyerahkan ayam jantan lain untuk didoakan. Organ ayam diperiksa lagi, sampai benar-benar sempurna,” tutur Kopong.

Doa pemulihan lingkungan akibat badai Seroja pada 3-5 April 2021 pun dilantunkan secara adat. Doa permohonan, pemulihan hubungan dengan alam semesta dari kerusakan oleh manusia, dan berbagai bencana. Pembebasan dari hama tanaman, permohonan hasil panen melimpah. Perdamaian hubungan di antara sesama warga kampung dan antara kampung terkait batas-batas hak ulayat kampung.

Seusai mendaraskan doa panjang selama hampir 5 jam pada malam itu, sekitar 2.500 ayam itu mulai dibersihkan dan dipotong. Bagian hati dan jantung ayam milik ketua adat dan lima kepala suku diambil, kemudian dibakar untuk dipersembahkan kepada Tuhan dan para leluhur malam itu juga. Enam suku terlibat, antara lain Khayan, Bubun, Lagadoni, Narek, dan Ariana.

Jumlah ayam ini mewakili kaum laki-laki dari dua kampung  yang terlibat. Mereka yang tidak terlibat karena sakit dan halangan lain disebut hodan tuak, tunda tahun depan. Jumlah kelompok ini sekitar 200 orang.

Kepala Suku Khayan, Matias Mamun (65), menyebutkan, sesajian itu diberikan bersamaan dengan nasi merah, tujuh utas benang dari kapas asli sebagai simbol pakaian tradisional, kikisan batang gading gajah sebagai simbol kelestarian adat istiadat suku Lamaholot, serta bulu-bulu babi dan kambing simbol ternak tradisional warga. Semua bahan persembahan ini memiliki makna khusus bagi kehidupan masyarakat Lamaholot.

Sepanjang malam sampai pagi pukul 09.00 Wita digelar kesenian tradisional, yakni tarian tandak atau dolo-dolo, uwa, dan mesa. Dalam dua jenis tarian ini, orangtua, anak muda, laki dan perempuan, saling berpegangan tangan berbentuk lingkaran, melangkah berputar keliling, mengikuti irama lagu atau pantun yang dibawakan.

Semua peserta boleh melempar pantun sesuai irama dari lagu itu. Isi pantun berupa cinta, kesulitan hidup, pendidikan, kehidupan rumah tangga, hubungan sosial, tentang seseorang di perantauan, dan kesulitan membayar mahar atau mas kawin. Dari dolo-dolo atau tandak ini lahir sejumlah lagu dan syair daerah Lamaholot, termasuk lagu-lagu rohani gerejani.

Bebas dari Kesalahan

Pada tarian uwa, dua pria saling memukul kaki betis dengan potongan rotan asli dari hutan sekitar 60 cm. Dua pria saling memukul betis kaki, masing-masing satu pukulan. Seorang pria dengan posisi berdiri jingkrak, kemudian pria lain menari keliling sambil mengacungkan rotan di tangan ke arah betis pria itu. Sebelum melepaskan pukulan dengan sekuat tenaga ke arah betis lawan, pria itu menari keliling mengikuti irama musik yang dibunyikan.

”Luka di kaki akibat pukulan itu bermakna pembebasan dari kesalahan, kejantanan, dan pertobatan. Luka itu biasanya langsung sembuh beberapa menit setelah kejadian. Tarian mesa mirip dengan pencak silat yang diperagakan dua pria,” kata Mamun. Tarian dan lagu yang dilantunkan juga simbol persaudaraan dan kerukunan di antara mereka.

Seusai pergelaran kesenian ini, kaum pria pergi memetik buah kelapa setengah matang, memotong bambu petung, daun waru untuk membungkus daging ayam, dan daun gelagah sebagai pengikat bungkusan daging ayam. Kelapa diparut, kemudian dicampur daging ayam, dimasukan ke dalam bambu, dibakar sampai matang.

Air kelapa untuk memasak nasi dari beras merah. Nasi juga dimasak di dalam bambu. Sepanjang proses masak, musik tradisional terus dibunyikan. Saat itu para tetua adat membahas jumlah ayam, kondisi ayam, dan siapa saja pria dari kampung itu yang terlibat dalam pesta adat itu serta rencana pesta tuno manuk tahun depan.

Pukul 16.00 Wita perjamuan digelar. Kaum pria duduk bersila membentuk lingkaran, simbol persaudaraan. Masing-masing mereka dapat satu porsi daging ayam, sekitar 1 kg. Anak laki-laki yang tidak hadir dalam perjamuan itu pun tetap mendapatkan bagian, dagingnya nanti dapat dikonsumsi saat di rumah.
Yang patut diingat, daging ayam dan nasi bambu itu hanya bisa dikonsumsi laki-laki. Mereka saling mengundang dan menyapa untuk makan bersama. Ini tanda persahabatan dan pengampunan.

Peran wanita selama ritual tuno manuk ini mengantar makanan, kopi, teh, kue, dan air minum bagi peserta ritual meski tidak menikmati makanan dari ritual ini. Kaum wanita yang terlibat aktif dalam kegiatan ini diyakini mendapatkan karunia dari Tuhan dan leluhur.

Seusai perjamuan, dilanjutkan dengan pemberian sesajian kepada leluhur yang diyakini membentengi kampung dari empat sudut, yakni utara, selatan, timur, dan barat. Di tempat itu telah disiapkan mezbah berupa batu ceper dengan sebatang kayu atau pohon sebagai penanda.

Pemberian terakhir di bagian matahari terbenam, sekaligus penutupan ritual tuno manuk oleh kepala suku. Di tempat ini, massa pun membubarkan diri ke rumah masing-masing. ”Upeti diberikan di bawah pohon, sebagai simbol perlindungan dan pelestarian manusia terhadap alam sekitar. Dengan ini hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dipulihkan,” kata Mamun. (kompas.id/kornelis kewa ama)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *