Kupang, mediantt,com – Setelah mengkritisi bahwa implementasi Program DeMAM perlu dievaluasi, Komisi IV DPRD NTT pun terus kritis terhadap program ini dengan mendapat kajian dan analisis dari Tim Pakar DPRD NTT, yang sempat diprotes. Dalam kajian tim pakar, Peraturan Gubernur (Pergub) tetang DeMAM harus direvisi karena bertentangan dengan implementasinya. Selain itu, ternyata Program DeMAM ini juga tidak tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi NTT. Ko bisa!
Hal ini terungkap dalam rapat Komisi IV DPRD NTT bersama Tim Pakar yang khusus melakukan kajian dan analisis permasalahan Program DeMAM, Selasa (14/4/2015). Bagi tim pakar, ada banyak persoalan prinsip yang menyebabkan Program DeMAM menuai banyak persoalan.
Frids Fanggidae, salah satu tim pakar, dalam analisisnya menjelaskan, persoalan paling prinsip dari Program DeMAM mulai nampak dari Pergub yang mengatur dana DeMAM sebagai dana hibah ke desa, sementara dalam implementasinya di dalam APBD, dana DeMAM merupakan dana hibah ke masyarakat. “Menurut saya, pertentangan antara Pergub dan peleksanaan di lapangan itu yang menyebabkan banyak persoalan terhadap program DeMAM. Untuk itu, penyesuaian terhadap peraturan itu harus menjadi salah satu catatan dewan kepada pemerintah,” tegas Frids.
Selain itu, jelas dia, dalam RPJMD tidak tercantum mengenai Program DeMAM, sehingga program tersebut akhirnya ditempatkan pada pos belanja tidak langsung dalam bentuk hibah kepada kelompok masyarakat yang dianggarkan melalui biro keuangan. Karena hibah kepada masyarakat, maka dana ini tidak termasuk dalam APBDes. “Ini juga merupakan catatan penting yang menyebabkan DeMAM menuai banyak persoalan. Kalau persoalan ini dibiarkan, maka kerawanan dari Desa Mandiri Anggur Merah ini akan terus terjadi dan pada tahun-tahun mendatang BPK justru akan menemukan permasalahan yang lebih akut dengan komplikasinya yang lebih besar,” tandas Frids, mengingatkan.
Ia juga memberi catatan agar pencairan dana DeMAM harus melalui Bank yang ada misalnya Bank NTT, sehingga ada penjaminnya yakni pemerintah melalui Jamkrida yang telah dibentuk. SKPD, kata Dia, tidak perlu terlibat dalam pencairan dana, konsen SKPD yakni mempersiapkan masyarakat Desa dalam menyambut program pemberdayaan tersebut, sehingga kesiapan desa dalam menyambut program DeMAM tidak diragukan lagi.
Pakar lainnya, Dr John Kotan, meminta agar Bappeda selaku perencana program tidak perlu melibatkan diri dalam melakukan pengawasan. Peran pelaksanaan, monitoring , evaluasi dan pengawasan harus diserahan kepada SKPD lain terkait. “Bila Bappeda selain perencana program juga terlibat dalam pengawasan, maka akan kesulitan dalam penataan program menjadi lebih baik, sebab mereka sendiri akan kesulitan dalam mengukur program tersebut,” katanya.
Sementara itu, Bei Ferdinandus, menekankan pentingnya penyesuaian Pergub yang berkaitan dengan Program DeMAM sebelum program dilaksanakan paa tahun 2015 ini. Selain itu kata dia, harus ada penyuluh pendamping yang akan mendampingi PKM dalam pelaksanaan di lapangan, sebab PKM yang ada belum dipandang memiliki kualitas yang baik. “Kami tentu akan memberikan catatan-catatan penting lainnya kepada komisi secara tertulis,” katanya.
Ketua Komisi IV, Alex Ena, yang dikonfirmasi usai pertemuan tersebut menjelaskan, komisi IV akan memberikan kesempatan kepada tim pakar untuk merumuskan draf hasil kajiannya sampai tanggal 20 April, selanjutnya pada 21 April 2015, Komisi bersama tim pakar akan merumuskannya dalam bentuk draf rekomendasi yang akan diserahkan kepada pimpinan DPRD NTT.
Menurut Alex, banyak masalah dalam program DeMAM yang menjadi temuan BPK. Sementara di sisi lain, NTT juara pertama kasus human trafficking dan akarnya adalah kemiskinan dan pengangguran.
“Harusnya DeMAM bisa mempengaruhi tingkat kemiskinan dan pengangguran, pendapatan masyarakat, tapi dalam pemantauan ini belum tercapai,” katanya. (jdz)