Yusril Ihza Mahendra masih ingat jelas bagaimana ketegangan yang menyelimuti Cendana pada 20 Mei 1998, malam jelang kejatuhan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998. Pakar hukum tata negara itu menginap sepekan lebih di kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Ia kerap dimintai pendapat oleh Soeharto.
Sore 20 Mei itu, menteri-menteri Soeharto mundur. Sekitar pukul 14.30 WIB, sebanyak 14 menteri bidang ekonomi menggelar pertemuan di Gedung Bappenas dan memutuskan tak bersedia duduk di Komite Reformasi maupun Kabinet Reformasi hasil perombakan Soeharto atas Kabinet Pembangunan VII.
Keputusan itu kemudian mereka sampaikan kepada Soeharto melalui sepucuk surat, tak langsung secara lisan. Di sinilah kesalahpahaman sempat terjadi. “Saat itu Pak Harto mengecek kabar mundurnya para menteri ke Mbak Tutut (putri sulung Soeharto). Lalu Pak Harto bilang, kabar menteri mundur itu tak betul,” kata Yusril. Suasana di Cendana malam itu memanas menit demi menit.
Yusril sendiri telah sepekan lebih menginap di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Ia tak pulang ke rumah. “Rumah Pak Harto dijaga ketat. Sedikit yang bisa masuk, termasuk saya dan Panglima ABRI Wiranto,” ujar dia kepada CNN Indonesia, Rabu malam (20/5).
Malam kian pekat, dan Soeharto memanggil wakilnya, BJ Habibie, serta para mantan wakil presiden untuk datang ke Cendana, termasuk Try Sutrisno dan Umar Wirahadikusumah. Mereka menggelar pertemuan membahas situasi terkini.
Saat itu Yusril memutuskan untuk keluar dulu dari Cendana guna berganti pakaian. Selama seminggu lebih menginap di Cendana, Yusril menaruh pakaiannya di Jalan Pekalongan yang masih berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. “Saya bilang ke Pak Habibie dan Pak Wiranto mau ganti baju. Saya juga lapar, belum makan di rumah Pak Harto,” ujar Yusril.
Yusril tiba di Jalan Pekalongan sekitar pukul 21.00 WIB. Namun baru saja dia mau makan, Akbar Tandjung dan Tanri Abeng datang. Keduanya merupakan Menteri Soeharto yang mundur dan tak mau bergabung dengan Kabinet Reformasi.
Kopassus Ditarik ke Jakarta
Akbar dan Tanri langsung bertanya soal Soeharto kepada Yusril. “Bagaimana keadaan Cendana? Cuma kamu yang bisa masuk ke sana,” kata Yusril menirukan ucapan Akbar Tandjung kepadanya.
Yusril pun menjelaskan kepada mereka bahwa situasi di Cendana sudah genting. “Saya khawatir. Tentara di mana-mana, siap siaga. Sepertiga kekuatan TNI (saat itu ABRI) ada di Jakarta hari ini. Anggota Kopassus dari daerah-daerah seperti Makassar dan Banten ditarik ke Jakarta. Kalau ada pemicu sedikit, bisa terjadi perang saudara,” ujar Yusril.
Akbar Tandjung dan Tanri Abeng lantas bertanya bagaimana reaksi Soeharto atas surat pengunduran diri para menteri yang disampaikan sore harinya. Yusril pun kaget karena baru saja ia mendengar dari mulut Soeharto bahwa isu menteri-menteri mundur adalah tak benar.
Ketika Yusril menceritakan Soeharto tak tahu kabar itu benar, giliran Akbar dan Tanri terkejut. “Menteri-menteri memang mundur. Ini benar, kami mundur,” kata mereka.
Yusril pun tak bisa menikmati makan malamnya lagi. “Kesalahpahaman ini harus saya cegah,” ujarnya sambil langsung kembali ke Cendana dan melaporkan peristiwa yang sebenarnya seperti diucapkan Akbar dan Tanri kepadanya.
Yusril berpikir, salah paham mungkin terjadi karena surat dari para menteri itu hanya tergeletak di atas meja dan belum dibaca oleh Soeharto. Akhirnya Soeharto membaca surat tersebut di dalam kamar.
Usai membaca surat, Soeharto keluar kamar. “Pak Harto merenung sambil menepuki kaki, lalu berkata, ‘Ya sudah, kalau begitu saya mundur saja besok. Kamu urus bagaimana cara saya berhenti’,” ujar Yusril mengulang ucapan Soeharto kepadanya.
Sang jenderal besar itu kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya, sementara Yusril dan rekan-rekannya kelimpungan menyusun pidato pengunduran diri Soeharto.
Kegelisahan Soeharto
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menjadi salah satu saksi mata yang menyaksikan langsung bagaimana kondisi fisik dan psikologis Presiden Soeharto menjelang kejatuhannya 17 tahun lalu, 21 Mei 1998.
Yusril saat itu berada di lingkaran dalam Cendana –sebutan untuk kediaman Soeharto. Selama sekitar sepekan lebih hingga 21 Mei, Yusril bahkan tidak pulang ke rumah. Ia menginap di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat, ikut mengamati dan mengurusi krisis yang terjadi.
“Saya detik demi detik di samping Pak Harto. Beliau sangat gelisah,” ujar Yusril berkisah kepada CNN Indonesia, Rabu (20/5/2015) malam.
Yusril pun termasuk di antara para tokoh yang dipanggil Soeharto pada 19 Mei untuk dimintai pendapat. Bersama dia, hadir pula Abdurrahman Wahid atau Gus Dur selaku Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama saat itu, budayawan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, Nurcholish Madjid atau Cak Nur selaku Direktur Yayasan Paramadina saat itu, Ali Yafie selaku Ketua Majelis Ulama Indonesia saat itu, tokoh Muhammadiyah Malik Fadjar dan Sumarsono, Kiai Haji Cholil Baidowi dari Muslimin Indonesia, dan tokoh NU Achmad Bagdja dan Ma’aruf Amin.
Pertemuan antara Soeharto dan 10 tokoh tersebut berlangsung sekitar dua jam 30 menit, sejak pukul 09.00 WIB hingga menjelang zuhur. Usai pertemuan itu, Soeharto mengumumkan akan merombak kabinet dan mengganti namanya dari Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Ia juga berencana membentuk Komite Reformasi. Dua keputusan itu merupakan gagasan Soeharto sendiri usai berdiskusi dengan kesepuluh tokoh yang tersebut.
Yusril mengenang betapa kondisi makin panas menjelang 21 Mei 1998. “Presiden Soeharto berkunjung ke Mesir tanggal 9 Mei untuk menghadiri KTT G-15, dan keadaan makin genting saat ia pulang pada 15 Mei,” ujarnya. Lawatan ke Mesir itu menjadi kunjungan terakhir Soeharto selaku Presiden RI.
“Ketika itu kami briefing TNI (saat itu disebut ABRI) bahwa harus hati-hati betul, jangan sampai ada korban. Sebab kalau ada korban seperti tertembaknya Arif Rahman Hakim tahun 1966 di depan Istana, bisa memicu kerusuhan luas. Penembakan Arif Rahman saat itu punya andil dalam rangkaian peristiwa yang membuat Soekarno mundur,” kata Yusril.
Kekhawatiran Yusril saat itu menjadi kenyataan. Mahasiswa Universitas Trisakti tertembak pada 12 Mei, dan hingga ini kasus itu belum juga terungkap. Usai Tragedi Trisakti ini, kondisi Republik Indonesia kritis. Kondisi diperparah dengan perginya para elite Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ke Malang.
Perginya para Jenderal TNI
Sehari sesudah penembakan Trisakti, 13 Mei, Wiranto selaku Panglima ABRI saat itu membawa para jenderalnya pergi ke Malang untuk menghadiri peresmian Divisi Kostrad. “Danjen Kopassus Letjen Prabowo Subianto pun ketika itu ikut ke Malang,” ujar Yusril.
Tak pelak ketiadaan tentara dalam menjaga ibu kota membuat Yusril ketar-ketir. “Saya waktu itu ngobrol sama Sjafrie Sjamsuddin. Bagaimana ini mengatasi situasi di Jakarta padahal tentara ke Malang semua,” kata dia.
Belum lagi saat itu Soeharto belum pulang dari Mesir. Lengkaplah sudah kecemasan Yusril. Indonesia genting. Tuntutan reformasi menguat sementara Presiden berada di luar negeri, para tentara berada di luar ibu kota, dan Menteri Sekretaris Negara Saadillah Mursjid sakit-sakitan.
Para jenderal tentara itu baru pulang malam harinya. Situasi tanah air yang makin mencekam pun akhirnya membuat Yusril dan sembilan tokoh lainnya yang dipanggil Soeharto saat Soeharto telah kembali ke Jakarta, menyarankan agar sang Presiden bersedia mundur.
“Pak Harto sendiri waktu pulang dari Mesir ingin melakukan reformasi. Oleh karena itulah saya dan kawan-kawan dipanggil ke Istana. Saya bilang ketika itu: Bapak Soeharto harus segera mundur untuk memberi ketenangan pada semua orang,” kata Yusril, masih mengingat jelas momen jatuhnya Soeharto.
“Pak Harto kemudian berkata pada saya, ‘Saya sudah mau mundur, tapi bagaimana caranya?’” ujar Yusril mengulangi ucapan Soeharto kepada dia yang penuh kegelisahan.
Melihat ucapan dan gerak-gerik Soeharto saat itu, Yusril 100 persen yakin sang Jenderal memang bakal mundur. Prediksinya tepat. Kegelisahan Soeharto memuncak dan akhirnya berujung pada pidatonya pada 21 Mei yang mengumumkan berhentinya dia sebagai Presiden RI. (Anggi Kusumadewi/CNN Indonesia)
Foto : Presiden RI kedua, Soeharto.