JAKARTA — Perebutan Laut Cina Selatan kian seru seiring dengan mendekatnya Pertemuan puncak Asia Timur pada 21 November. Jepang dan Amerika mulai meningkatkan tekanan terhadap Cina.
Sejauh ini, Indonesia dan Kamboja adalah negara paling anteng menghadapi tumpang tindih klaim di Laut Cina Selatan. Ini berbeda dengan Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Ketiga negara ini selalu memasang muka kencang, dan tak segan melakukan provokasi militer terhadap Cina.
Filipina dan Vietnam misalnya, telah berulang kali menangkap kapal ikan berbendera Cina yang berlayar di wilayah sengketa. Mereka juga mengaku tak akan segan menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa wilayah dengan Cina.
Provokasi terakhir terjadi pada 6 November lalu. Menteri pertahanan Amerika Serikat Ash Carter bersama Menteri Petahanan Malaysia Hissamudin Hussein berlayar di kawasan Laut Cina Selatan yang telah diklaim oleh Cina. Mereka menggunakan kapal induk USS Theodore Roosevelt.
Pelayaran tersebut untuk mengingatkan bahwa Carter serius dalam menghadapi ancaman Cina, dan jauh dari gertak sambal. Carter adalah Menhan Amerika Serikat pertama yang mengusulkan agar armada tempurnya melakukan patroli secara tetap di Laut Cina Selatan yang telah diklaim secara sepihak oleh Cina.
Sikap Malaysia memang berbeda dengan Indonesia, meski negara jiran tersebut juga menikmati investasi berlimpah dari Cina. Sayang tak jelas, apakah ada politisi elite negara jiran ini yang menikmati kucuran kredit miliaran dollar AS dari Cina seperti terjadi di Indonesia. Banjir dollar ke bisnis pribadi para elit politik di Indonesia tentu terkait dengan sikap pemerintah Indonesia yang selalu berusaha manis kepada Cina.
Meningkatnya ketegangan di Laut Cina Selatan sekarang ini tak lain dipicu oleh konferensi tingkat tinggi (KTT) Asean dan Asia Timur pada 20 November mendatang di Malaysia. Bisa dipatikan bahwa Malaysia, Vietnam, dan Filipina akan memasang muka garang terhadap Cina dam KTT ini. Para pemimpin ketiga negara ini akan bersuara keras untuk mengenyahkan Cina dari wilayah mereka. Apalagi Jepang dan Amerika Serikat tampaknya juga sudah sejalan untuk meningkatkan tekanan kepada Cina di Laut tersebut.
Sebelum KTT Asia Timur, Perdana Menteri Shinzo Abe akan menemui Presiden Barack Obama. Tujuannya adalah menekan Cina agar maun menerima ide Kebebasan Berlayar dan pemberlakuan hukum internasional di Laut Cina Selatan. Kabarnya Abe juga akan menemui pemimpin Filipina dan Vietnam untuk membicarakan hal yang sama.
Sejauh ini Cina menolak keras ide tersebut. Cina bahkan sukses membuat pertemuan para menteri pertahanan Asean Plus Three (Jepang, Korea Selatan, dan Cina) berakhir berantakan. Pertemuan ini, yang ditutup 4 November lalu, gagal membuat penyataan bersama karena Cina memveto pasal Kebebasan Berlayar di Laut Cina Selatan.
Sekarang pun pemerintah Cina juga sudah mengingatkan agar semua ide untuk memberlakukan Kebebasan Berlayar di Laut Cina Selatan agar dilupakan. Cina tampaknya menganggap klaimnya atas seluruh wilayah Laut Cina Selatan sebagai harga mati. Maka, tak mengherankan bila sengketa di Laut tersebut bakal berlanjut.
Bisa jadi, ketegangan di Laut Cina Selatan bakal berlanjut dengan peperangan. Hal ini sejalan dengan pendapat seorang politisi Partai Buruh Ingrris, Tony Benn. Semua peperangan, katanya, adalah kelanjutan dari kegagalan diplomasi.
Lalu apa yang akan terjadi setelah peperangan berakhir. Diplomasi, kata pemimpin Cina Zhou Enlai pada 1954, adalah kelanjutan dari peperangan yang menggunakan alat lain. Zhou adalah perdana menteri Cina sejak 1949 sampai meninggal pada 1976.
Bagaimanapun juga, terlalu pagi untuk mengatakan akan terjadi perang di Laut Cina Selatan. Suka atau tidak, semua pihak yang bersengketa menyadari bila mereka saling gempur perekonomian mereka bakal kacau balau. Bagaimana tidak, Cina adalah rekan dagang terbesar Asean.
Sebaliknya, Cina juga tak akan mau berperang melawan para tetangganya di Asia Tenggara karena akan membuat dirinya terkucil dari pergaulan dunia. Apalagi negara-negara Asean yang bersengketa dengan Cina memperoleh dukungan militer dari Amerika Serikat dan sekutunya, yang memiliki keunggulan teknologi dan kemampuan merusak jauh di atas Cina. (net/jk)