Praktisi hukum Petrus Bala Pattyona, SH, MH. Foto: Istimewa
JAKARTA, mediantt.com – Kepolisian Resor (Polres) Lembata dinilai lamban menindaklanjuti pengaduan Damianus Dolu, guru SMAN 1 Nubatukan, Lewoleba, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Guru Dolu dianiaya orangtua dan saudara kandung seorang siswi sekolah tersebut pada Senin (9/2/2024).
Aksi terhadap pahlawan tanpa tanda jasa itu dilakukan saat berlangsung kegiatan belajar mengajar di dalam ruang kelas IX di sekolah negeri itu. Bahkan penganiayaan terhadap guru Dolu dilakukan mulai dari dalam ruang hingga keluar ruangan disaksikan anak didik sang guru.
“Lambannya penanganan pengaduan guru Dolu selaku korban tentu membuat masyarakat bertanya-tanya. Pertanyaan itu ialah ada apa sehingga Polres Lembata mendiamkan atau tidak menindaklanjuti pengaduan guru Dolu,” ujar praktisi hukum Petrus Bala Pattyona melalui keterangan tertulis yang diterima media, Sabtu (16/3).
Menurut Bala Pattyona, pertanyaan ini muncul setelah melihat guru-guru mendatangi Mapolres Lembata dan diterima Kapolres AKBP Vivick Tjangkung sehingga pihaknya berjanji untuk segera menindaklanjuti pengaduan tersebut.
Dalam diskusi terbatas di grup WhatsAp Ata Lembata disebutkan bahwa R, salah seorang pelaku di masa kecilnya mengalami kekerasan karena pernah dianiaya sehingga pertumbuhan jiwanya terganggu. Informasi itu, kata Bala Pattyona, menimbulkan pro kontra bahkan ada yang mengatakan itu pembelaan tipu-tipu untuk mengelabui hakim nanti.
“Informasi bahwa R mengalami gangguan pertumbuhan misalnya sedikit gila sehingga dalam hukum pidana dikenal azas bahwa pelaku tidak dapat dihukum karena adanya alasan pemaaf atau pembenar akibat pertumbuhan jiwanya terganggu sehingga pelaku tidak dapat dipidana. Hal ini diatur dalam Pasal 44 KUHP yang intinya, seseorang pelaku tidak dapat dipidana karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,” ujar praktisi hukum asal kampung Kluang, Desa Belabaja (Boto).
Menurut Bala Pattyona, untuk membuktikan adanya penghapus pidana bukan hanya dengan membangun narasi serampangan. Namun, yang dibuktikan adalah pelaku harus diperiksa, ditetapkan sebagai tersangka kemudian ditahan. Kemudian baru diajukan bukti bahwa pelaku pernah dirawat dan diobati oleh rumah sakit mana dan oleh dokter siapa.
“Penyidik harus mengumpulkan bukti-bukti penganiayaan guru Dolu dengan memeriksa saksi-saksi yang tentunya telah banyak karena penganiayaan disaksikan anak didik dalam kelas, bukti pengobatan atau dokter yang merawat korban,” kata Bala Pattyona.
Bala Pattyona menegaskan, pelaku hanya dapat dibebaskan karena alasan pembenar dan pemaaf apabila dapat menunjukan bukti-bukti sebagai orang gila walau sekali-kali waras. Misalnya bisa ke kebun, naik motor, joget-joget kalau ada pesta, bisa jatuh cinta dan lain-lain. Apabila tidak ada bukti sebagai orang gila tentu tak ada alasan Polres Lembata mendiamkan kasus ini.
“Untuk menentukan dapat tidaknya pelaku dihukum itu domain hakim, sehingga Polres Lembata harus tetap memeriksa, menahan pelaku dan melimpahkan kasus itu ke pengadilan melalui penuntut umum. Jadi Kapolres Lembata segera meredam kasus agar tidak terjadi gejolak dengan melakukan penangkapan dan penahanan,” katanya.
Polres Lembata, ujar Bala Pattyona, segera melakukan pula pembenahan dalam tubuh Polres Lembata agar tidak ada spekulasi. Pertanyaan lain, kata Bala Pattyona, ada apa sehingga Kasat Serse Polres tidak merespon pengaduan guru Dolu. Atau bila sudah direspons pengaduan korban, apa kesulitannya yang menjadi hambatan.
“Di setiap kasus yang ditangani penyidik ada lembar catatan tindak lanjut atas laporan, langkah-langkah yang sedang dan akan dilakukan dan apa saja hambatannya. Bila di lembar catatan monitoring kasus tidak ada hambatan maka patut diduga Kasat Serse Polres Lembata berpihak atau tidak mampu. Untuk alasan tidak mampu saya tidak yakin karena seorang Kasat Serse dengan pangkat AKP atau Kompol tentu dinilai mampu okeh SDM Polri,” ujar Bala Pattyona. (*/jdz)