Oleh : Drs. Yosafat Koli, M.Si *)
TAHUN 2024 akan menjadi tonggak sejarah dalam demokrasi Indonesia dengan diselenggarakannya Pilkada serentak di seluruh Indonesia, pada Rabu, 27 November 2024. Pemilihan ini melibatkan seluruh daerah di Indonesia dan menjadi kesempatan penting bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah mereka. Namun, di balik momentum bersejarah ini, ada satu ancaman yang kian mengemuka: politik identitas.
Politik identitas merujuk pada upaya untuk memobilisasi dukungan politik berdasarkan kesamaan ras, agama, suku, atau identitas primordial lainnya. Dalam konteks Pilkada, politik identitas sering kali digunakan sebagai senjata oleh kandidat atau partai politik pengusung dan pendukung untuk menggalang dukungan dari kelompok tertentu, dengan cara mengeksploitasi sentimen keagamaan, etnisitas, atau budaya demi kepentingan elektoral.
Pengamat Komunkasi dari Universitas Indonesia, Effendi Gazali, menilai Pilkada DKI 2017 paling brutal dalam konteks demokrasi di media sosial (https://metro.tempo.co/read/1045103/kaleidoskop-2017-pilkada-brutal-gubernur-dki-jakarta). Pilkada Jakarta membuat netizen sosial media terbelah menjadi dua kubu yang saling lempar opini negatif. Korban berjatuhan Ahok diputus bersalah penodaan agama, Buni Yani juga diputus bersalah dan divonis penjara 1 tahun 6 bulan pada 14 November 2017 melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dengan menyebar ujaran kebencian dan mengedit rekaman video pidato Al-Maidah Ahok di Kepulauan Seribu. Sementara rakyat DKI Jakarta terbagi-bagi sesuai kepentingan.
Pilkada tahun 2024 terdapat 545 daerah seluruh Indoensia; dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Salah satunya adalah Porivnsi Nusa Tenggara Timur dengan 21 kabupaten dan 1 kota. Rakyat tentu menginginkan hasil Pilkada terbaik dengan terpilihnya pemimpin terbaik untuk kelangsungan pembangunan di daerah masing-masing. Pertanyaannya, Apakah politik identitas masih menjadi ancaman serius pada proses Pilkada yang sedang berlangsung? Jika ya, mengapa?
Saya ingin membatasi diri untuk tidak mengurai secara rinci fenomena yang mengindikasikan politik identitas di Nusa Tenggara Timur. Namun yang paling mutahkir adalah adanya serangan terhadap salah satu Calon Gubernur NTT dari sebuah kelompok organisasi keagamaan. Terlepas dari benar atau tidaknya karena ini merupakan masalah internal partai politik, isu yang sedang dimainkan akan mengkristal dan mengelompokkan akar rumput pada pilihan politik berdasarkan sentimen agama. Dan ini membawa kita bahaya politik identitas sebagaimana fenomena Pilkada 2017 silam.
Mengapa Politik Identitas Berbahaya?
Memecah Belah Masyarakat. Politik identitas menekankan pada perbedaan antar kelompok masyarakat. Kampanye yang menggunakan narasi eksklusif berdasarkan identitas cenderung memperkuat sekat-sekat sosial yang sudah ada, bahkan memperparah ketegangan antar kelompok. Indonesia sebagai negara dengan keberagaman yang sangat kaya bisa sangat rentan terhadap praktik semacam ini. Alih-alih memperkuat persatuan, politik identitas justru menciptakan polarisasi yang bisa berujung pada konflik sosial.
Menyisihkan Kompetensi dan Kualitas Pemimpin. Ketika politik identitas mendominasi ruang publik, kualitas calon pemimpin sering kali diabaikan. Pemilih cenderung memilih berdasarkan afiliasi identitas, bukan berdasarkan program, visi, atau kompetensi calon. Ini bisa menghasilkan pemimpin yang terpilih bukan karena kemampuan dan integritas, tetapi karena berhasil mengeksploitasi sentimen kelompok.
Merusak Demokrasi yang Sehat.
Esensi demokrasi adalah kebebasan, kesetaraan, dan partisipasi yang inklusif. Namun, politik identitas mengancam prinsip-prinsip ini. Ketika kampanye fokus pada perbedaan identitas, masyarakat yang tidak termasuk dalam kelompok mayoritas bisa merasa teralienasi atau bahkan terdiskriminasi. Ini mengganggu proses demokrasi yang seharusnya berlandaskan pada dialog rasional dan perdebatan tentang isu-isu kebijakan publik yang menyeluruh.
Memicu Radikalisasi dan Intoleransi. Politik identitas sering kali memanfaatkan retorika yang mengarah pada intoleransi, terutama dalam isu agama dan etnis. Hal ini tidak hanya berbahaya bagi proses pemilihan, tetapi juga bagi kerukunan sosial di masa depan. Saat retorika yang intoleran digunakan dalam kampanye, hal ini bisa memicu radikalisasi di kalangan masyarakat, membuat demokrasi terancam oleh munculnya kelompok-kelompok ekstremis.
Pilkada 2024: Momentum Demokrasi yang Bersih dan Inklusif. Pilkada serentak pada tahun 2024 merupakan kesempatan besar bagi Indonesia khusnya Nusa Tenggara Timur untuk memantapkan praktik demokrasi yang sehat, transparan, dan inklusif. Karena itu, partai politik, calon pemimpin, dan masyarakat harus waspada terhadap jebakan politik identitas. Para calon pemimpin harus lebih menekankan program kerja yang realistis, inovatif, dan solutif bagi tantangan di daerah masing-masing. Pendekatan berbasis program, bukan identitas, harus menjadi norma dalam kampanye.
Di sisi lain, peran masyarakat sebagai pemilih juga sangat penting. Pemilih harus kritis dalam menilai calon pemimpin, tidak hanya berdasarkan identitas mereka, tetapi berdasarkan visi, integritas, dan kompetensi yang mereka tawarkan. Media dan tokoh masyarakat juga perlu berperan aktif dalam memberikan edukasi politik yang benar kepada publik, agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi yang membahayakan persatuan.
Politik identitas bisa memberikan keuntungan elektoral jangka pendek, namun bahayanya bagi demokrasi dan keharmonisan sosial jauh lebih besar. Pada Pilkada serentak 2024 nanti, seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu untuk mencegah politik identitas mengambil panggung utama. Jika tidak, kita bukan hanya merusak integritas Pilkada, tetapi juga merusak fondasi demokrasi dan kebhinekaan yang telah lama kita bangun. Pilihan bisa berbeda, Katong tetap basodara. (***)
*) Penulis adalah Ketua/Anggota KPU Kabupaten Ngada (2003-2013), Anggota KPU Provinsi NTT (2013-2023).