Dalam wajah umat yang bermigrasi, Gereja menemukan panggilan baru untuk tetap berziarah dalam harapan; melintasi batas, mengangkat martabat, dan menabur kasih.
LARANTUKA – Di bawah atap kota kecil bersejarah di ujung timur Flores, Larantuka kembali menjadi saksi pertemuan istimewa Gereja Katolik wilayah Nusa Tenggara (Nusra). Pertemuan Pastoral XII Regio Gerejawi Nusra, yang berlangsung di Keuskupan Larantuka, mengusung tema reflektif dan mendalam: “Gereja Berwajah Migran, Berziarah dalam Harapan: Mencari Praksis Pastoral.”
Pertemuan ini dihadiri para uskup, imam, biarawan-biarawati, dan pastoral awam dari seluruh keuskupan di Regio Nusra: Keuskupan Agung Kupang, Keuskupan Atambua, Weetebula, Ruteng, Maumere, Labuan Bajo, Denpasar, dan tentu saja tuan rumah Keuskupan Larantuka. Selama beberapa hari, mereka berkumpul dalam semangat sinodalitas; mendengarkan, berdiskusi, merenung, dan mencari jalan bersama untuk menjawab tantangan zaman.
Tema “Gereja Berwajah Migran” menggambarkan realitas sosial yang tak terhindarkan di wilayah Nusa Tenggara, di mana mobilitas, perantauan, dan migrasi telah menjadi bagian dari kehidupan umat Katolik. Tak sedikit umat yang mencari nafkah di luar daerah, bahkan di luar negeri, sebagai buruh migran, pekerja informal, atau diaspora yang tersebar di berbagai penjuru dunia.
Gereja ditantang untuk tidak hanya mengiringi umat di altar dan paroki, tetapi juga hadir di jalan-jalan pengungsian, pelabuhan perantauan, dan padang-padang pengasingan ekonomi. Gereja dipanggil menjadi teman seperjalanan yang setia dalam ziarah harapan umat migran, menyentuh luka, mengangkat martabat, dan menghadirkan wajah Kristus yang penuh belarasa.
“Kami ingin menjadikan tema ini bukan hanya sebagai refleksi spiritual, tapi juga sebagai pendorong langkah konkret dalam pastoral migran,” kata Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, tuan rumah pertemuan.
Gereja dan Negara Berjalan Bersama
Gubernur NTT, Melki Laka Lena, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi mendalam atas peran Gereja Katolik yang tidak pernah absen dari denyut sosial masyarakat Nusa Tenggara.
Dia menegaskan, tema pastoral kali ini sejalan dengan tantangan dan tanggung jawab pemerintah, terutama dalam memperjuangkan hak-hak pekerja migran NTT yang tersebar di luar negeri dan daerah lain.
“Gereja telah lama menjadi penyambung harapan bagi umat migran. Sebagai pemerintah, kami merasa dikuatkan oleh kehadiran Gereja yang terus menyuarakan keadilan dan martabat manusia di tengah arus globalisasi dan ekonomi pasar,” ujar Gubernur Melki.
Dia juga berharap, hasil pertemuan ini akan memperkuat kerja kolaboratif antara Gereja dan Pemerintah Daerah, khususnya dalam perlindungan tenaga kerja migran, pendidikan keluarga migran, serta pelayanan pastoral lintas batas.
“Mari kita membangun NTT bukan hanya dari tanah ini, tetapi juga dari mana pun anak-anaknya berpijak. Gereja dan negara adalah dua sahabat dalam pelayanan dan pengharapan,” harap Melki.
Menuju Praksis Pastoral Kontekstual
Pertemuan Pastoral XII Regio Nusra ini juga menjadi ruang permenungan atas bentuk-bentuk praksis pastoral baru: pastoral lintas wilayah, penguatan komunitas diaspora, pendampingan spiritual berbasis teknologi, serta perlindungan hukum dan sosial untuk pekerja migran. Para pun peserta berkomitmen untuk membawa Gereja keluar dari batasan fisik paroki, dan hadir secara nyata di ruang-ruang kehidupan migran.
Pertemuan Pastoral XII Regio Nusra di Larantuka menjadi bukti bahwa Gereja tidak tinggal diam melihat dinamika sosial, tetapi memilih untuk hadir, mendengarkan, dan berjalan bersama. Dalam wajah umat yang bermigrasi, Gereja menemukan panggilan baru untuk tetap berziarah dalam harapan; melintasi batas, mengangkat martabat, dan menabur kasih. (jdz)