JAKARTA – Sedikitnya 17 pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, menemui Bupati Eliaser Yentji Sunur pekan lalu. Mereka menyampaikan mengundurkan diri dari PPK karena merasa kurang nyaman kerap dipanggil dan dimintai keterangan aparat penegak hukum dari kejaksaan dan kepolisian.
Langkah itu mendapat tanggapan Petrus Bala Pattyona, praktisi hukum nasional asal Lembata di Jakarta. Pattyona mempertanyakan mengapa para pejabat itu mundur dengan alasan tidak nyaman kerap dipanggil aparat kepolisian dan kejaksaan. Padahal, mereka menjalankan tupoksinya sesuai regulasi.
“Jika selama ini PPK menjalankan tugas sesuai aturan pasti mereka siap mempertanggungjawabkan segala pekerjaan yang diadukan masyarakat kepada aparat penegak hukum. Dalam pengadaan barang dan jasa terlalu banyak celah untuk diakali, berbuat curang. Mulai dari menetapkan pemenang tender, sudah diatur syarat-syarat yang bisa saja menggagalkan peserta lain. Simak saja pendaftaran peserta via email. Pada hari pendaftaran bisa saja diatur emailnya ngadat, sehingga apabila peserta yang diunggulkan sudah masuk langsung di-lock, dikunci,” ujar Pattyona dalam keterangan tertulis yang diterima media ini di Jakarta, Senin (9/3).
Peserta yang sudah direkomendasi memenangkan tender dibuat kontrak kerja. Namun, saat mau tanda tangan kontrak sudah ada dua pos pengeluaran yaitu uang penunjukan pemenang tender dan uang tandatangan kontrak.
Celakanya, ada peserta lain yang tidak direkomendasikan keluar sebagai pemenang tender. Sekalipun pemenang tender yang tidak direkomendasikan itu dari segi finansial, pengalaman, peralatan atau meminjam bendera pihak lain bahkan sebagai kuasa dari CV atau PT tidak memenuhi syarat, yang menang tender.
“Celah malingnya di sini. PPK dan pemenangnya sudah baku atur. Saat tanda tangan untuk pencairan uang muka yang melibatkan bendahara ada celah lagi di sini. Pemenang tender harus mengerti, kalau tidak maka disposisi pencairan di bank kas daerah tidak akan cair. Selanjutnya mulai pengadaan material atau kerja fisik diatur cara pembayaran. Misalnya, seolah-olah sudah ada kemajuan fisik 50 persen tetapi faktanya tidak demikian,” ujar Pattyona, praktisi hukum asal kampung Kluang, Desa Belabaja.
Pattyona melanjutkan, di ruang terbuka ini berpotensi bermain dalam berita acara kemajuan pekerjaan yang ditandatangani kontraktor, pengawas, petugas lapangan. Semua bisa tandatangan walau fisiknya tidak sesuai. Bila ada batas waktu pekerjaan untuk serah terima proyek, dibuat seolah-olah sudah tuntas. Padahal mungkin di lapangan tidak sesuai.
Semua berpotensi bermain merekayasa berita acara kemajuan proyek untuk pencairan sisa dana proyek dan pengguna barang jasa/pemilik proyek punya hak retensi 6 bulan, misalnya 5 persen sesuai kontrak. Di ruang ini, ujarnya, uang masih berpotensi bermain soal mutu material atau fisik bangunan. Seolah-olah kualitasnya bagus sehingga ada kesempatan mencairkan dana.
“Tugas PPK memang berat. Setiap tahap penuh tekanan, godaan tetapi jika PPK bekerja sesuai regulasi sesungguhnya tak ada masalah. Namun siapa (PPK) berani melawan tekanan, intervensi big bos yang mengatur mereka sebagai boneka atau figuran? Sementara di lain pihak apabila timbul masalah hukum karena celah kejahatan yang mungkin muncul dari setiap tahapan mereka yang bertanggung jawab?” kata Bala, retoris.
Sebelumnya, sejumlah media lokal dan nasional memberitakan, 17 pejabat pemerintah di Lembata menemui Bupati Sunur. Mereka menyampaikan mundur sebagai PPK dan kelompok kerja di sejumlah proyek pemerintah. Para PPK tersebut bekerja di Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Perhubungan, dan organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya.
Alasannya, mereka merasa tidak nyaman dalam mengendalikan kontrak berdasarkan pengalaman sebagai PPK pada tahun-tahun sebelumnya dan saat ini. Mereka kerap dipanggil untuk dimintai keterangan oleh aparat penegak hukum dari kepolisian dan kejaksaan guna diperiksa berkaitan proyek meski masih dalam tahap pemeriksaan.
Permintaan pengunduran diri mengingat beban tugas dan tanggung jawab serta risiko hukum yang dihadapi dalam mengendalikan kontrak tidak seimbang dengan honorarium yang dianggarkan. Berikut tak tersedia anggaran membiayai peningkatan SDM sebagai PPK.
Atas permohonan pengunduran diri belasan PPK tersebut, Bupati Sunur mengatakan akan menindaklanjutinya. Pengunduran diri para pejabat itu sangat mengganggu percepatan pembangunan sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo.
“Nah pencabutan SK menunggu saya bicara dengan Kapolda. Kalau Kapolda juga tidak tanggapi, saya setopkan saja, saya laporkan ke Presiden,” ujar Sunur mengutip sebuah media on-line nasional. (ad/jdz)