Paramedis RSUD Lewoleba Dituduh ‘Bunuh’ Emiliana dan Bayinya

oleh -27 Dilihat

Lewoleba, mediantt.com – Kabar buruk dan tragis datang lagi dari RSUD Lewoleba. Kabut duka pun masih menyelimuti keluarga almarhum Emiliana Lince, warga Desa Lerahinga, Kecamatan Lebatukan, Lembata. Pasalnya, pada Senin (23/3/2015) lalu, Emilia yang akan melahirkan di RSUD Lewoleba, harus meregang nyawa hanya karena kelalaian paramedis yang berdinas malam itu, tanpa sempat melahirkan jabang bayinya. Keluarga pun serta-mera menuduh Emilia meninggal karena ‘dibunuh’ oleh paramedis yang lalai itu.

Kepada mediantt.com di Lerahinga, Senin (29/3/2015), suami almarhuma Emiliana, Dionisius Hati Losor mengisahkan, almarhuma istrinya sudah mendapat tanda-tanda akan melahirkan pada Minggu (22/3/2015) malam. Karena itu, keesokan harinya, Senin (23/3), sekitar pukul 09.30 Wita, dirinya menghubungi saudaranya seorang sopir pick up untuk menghantar istrinya ke RSUD Lewoleba, sementara dirinya mengendari sepeda motor menuju ke RSUD Lewoleba. “Sebelum ke RSUD Lewoleba, kami sempat singga di Puskesmas Hadakewa untuk meminta surat rujukan agar ketika di RSUD bisa langsung diambil tindakan bedah sesar, meski hasil pemeriksaan dan USG, istri saya dan bayinya sehat, tapi ada risiko lain yakni usianya. Itu juga merupakan saran dokter keluarga, dr Geril Huar Noning, pada saat USG dan dr Yoga ketika saya dan istri saya melakukan USK kedua pada 10 Maret,” jelas Dionisius, sembari menahan tangis.

Ia menuturkan, saat itu, Bidan Is dari Puskesmas Hadakewa juga ikut mendampingi istrinya dalam pick up ke RSUD Lewoleba, sementara Ibu Leny selaku Bidan Desa Lerahinga, juga ikut menggunakan sepeda motor, termasuk dua orang kader Posyandu Desa Lerahinga, yakni Ibu Fin dan Mama Tuto. “Mereka semua ikut mendampingi istri saya dengan pick up. Saat ke RSUD Lewoleba itu, istri saya dalam keadaan sehat dan normal,” tuturnya.

Menurutnya, tiba di RSUD Lewoleba, mereka langsung ke Instalasi Gawat Darusat (IGD) untuk melakukan pemeriksaan urin dan USG. “Setelah menunggu dua jam lebih, sekitar pukul 14.00 Wita, hasil laboratorium keluar dan istri saya dipindahkan ke ruang bersalin. Saat itu istri saya jalan sendiri karena sehat,” katanya.

Di ruang bersalin, lanjut Dionisius, istrinya mulai merintih kesakitan, sementara kader posyandu terus mendampingi istrinya untuk jalan-jalan. “Kurang lebih jam 19.00 Wita, ketuban pecah, setelah itu istri saya mulai kesakitan yang luar biasa. Kami laporkan ke bidan jaga bahwa ibu sudah kesakitan. Bahkan istri saya sempat minta agar dipanggilkan dokter untuk dioperasi sesar saja, tapi bidan yang jaga saat itu mengatakan istri saya sehat dan normal, dan mereka terus melakukan observasi setiap jam,” katanya berurai air mata. Ia tampak sangat terpukul kehilangan sang istri dan jabang bayinya.

Ia bercerita lagi, sekitar pukul 22.00 Wita, ia kembali ke ruang bidan jaga untuk menyampaikan lgi agar istrinya dioperasi saja karena itu sudah menjadi pesan dokter saat USG, apalagi istrinya juga sudah siap untuk dioperasi sesar. “Tapi para bidan itu sok jagoan memaksa untuk lahir normal,” katanya. Ia pun kembali ke ruang bersalin dengan kecewa. Lalu, tak lama kemudian ia kembali lagi ke para bidan dan memohon agar istrinya bisa dioperasi, tapi bidan jaga yang sedang asik bermain handphone itu menjawab ketus saja; dokter tidak ada.

“Karena melihat istri saya yang berjuang melawan sakitnya, saya sangat marah kepada para bisan yang jaga malam itu, dan ada bidan yang hitam itu bertengkar dengan saya dengan tetap mengatakan dokter tidak ada. Itu yang membuat saya kesal dan kecewa; bagaimana rumah sakit sebesar ini tidak ada dokter,” hardik Dionisius.

Ia mengatakan, saat itu istrinya sudah mulai pendarahan cukup lama dan sudah tidak sanggup lagi untuk muku, baru para bidan itu tergopo-gopo pasang oksigen. Padahal, sebut dia, istrinya kuat dan sudah siap untuk operasi sesar sesuai saran dokter. “Tapi para bisan itu sok tahu, akhirnya dalam kepanikan yang tidak bisa berbuat aa-apa lagi, istri saya meninggal tanpa sempat melahirkan,” kesal dia, dengan mimik sangat sedih.

“Ketika istri saya sudah dalam keadaan kelelahan dan kepayahan baru para bidan ini panggil dokter Yoga. Waktu itu kurang lebih jam 11 malam. Waktu dokter Yoga tiba dan memberi batuan, listrik PLN sempat padam dua kali dan kami kegelapan karena genset RSUD tidak hidup,” katanya.

Ia juga menuturkan, sebenarnya kepala bayi sudah kelihatan, tapi entah mengapa, tidak bisa tertolong dan bayi tidak bisa dilahirkan. “Istri dan bayi kami akhirnya pergi untuk selama-lamanya. Lalu, dokter Yoga panggil saya lalu sampaikan bahwa istri saya sudah tidak bisa lagi. Saya Tanya, tidak bisa bagaimana? Dokter Yoga menjawab, ibu tidak tertolong. Saya tanya lagi, bagaimana bayinya? Dokter bilang bayinya telah meninggal duluan. Seketika saya cuma bisa menangis. Saya tidak terima, istri saya datang pagi hari dalam keadaan sehat dan normal, namun malamnya diantar pulang tanpa nyawa,” kata Dionisius lalu menangis.

“Begitu istri saya meninggal tanpa sempat melahirkan anak kami, para perawat hanya duduk tertunduk diam tanpa suara,” tambah dia.

Dr Yoga Tawarkan Bantuan

Markus Daton, tokoh masyarakat Desa Lerahingga, yang juga kerabat suami almarhumah Emilia Lince, kepada mediantt.com di Lerahingga mengatakan, sesaat setelah ibu Emiliana dan anaknya tidak tertolong, dokter Yoga mengundang pihak keluarga ke rumah dinasnya, di bagian atas RSUD Lewoleba. “Di rumah itu dr Yoga mengatakan, pihak RSUD akan siapkan peti buat almarhumah dan membiayai doa hingga 40 malam sesuai tradisi masyarakat Lembata,” katanya.

Ia lalu balik bertanya kepada dokter Yoga, “Ada apa dengan pernyampaian doketr Yoga ini? Apakah RSUD punya anggaran untuk membeli peti bagi orang yang meninggal di RSUD Lewoleba? Kami sangat menyesal dan tidak terima. Peti itu harga berapa? Jangan dikira kami orang susah sehingga tidak bisa beli peti. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres dan berakibat pada kematian anak kami,” Daton balik menghardik dr Yoga.

Menurut Daton, kepada dokter Yoga mereka bertanya, mengapa malam itu bidan mengatakan dokter lagi tidak ada, tapi dr Yoga dihadapan keluarga malam itu mengatakan dokter spesialis ada. “Mana yang benar,” tegasnya.

Ia juga menjelaskan, pada Jumat (27/3/2015), keluarga turun lagi ke RSUD Lewoleba mempertanyakan soal kematian almarhuma Emiliana. Tapi pihak managemen mengatakan, Pak Yoman selaku PLh Direktur sedang keluar. “Kebetulan saat itu kami sempat ketemu dengan dokter Yoga, dan beliau ajak kami duduk di salah satu ruangan RSUD. Dr Yoga menyampaikan kepada kami bahwa kalau bapak-bapak mau minta apa saja, disampaikan saja. Ini ditawarkan oleh dokter Yoga sampai tiga kali. Tapi kami jawab, kami datang bukan mau minta apa-apa dari RSUD. Kami datang mau menanyakan kematian Ibu Emiliana. Masalah ini harus dijelaskan dan diluruskan. Soal biaya kami punya,” jawab Daton kepada dr Yoga.

Hal yang sangat membuat keluarga marah, lanjut dia, adalah pada saat bertugas malam itu, para bidan lebih asik dengan hp ketimbang perhatian pasien. “Tengah malam para bidan jaga lebih sibuk dengan HP. Hubungi siapa? Kalau kata mereka dokter tidak ada, lalu mereka hubungi siapa? Kami sudah sepakat akan kembali lagi ke RSUD mempertanyakan masalah ini dan meminta pihak RSUD meluruskan ini biar tidak ada lagi Emilia-emilia yang lain. Kami akan surati pihak-pihak terkait untuk tatap muka. Kalau memang jalan yang akan kami tempuh ini tidak membuahkan hasil, maka kami akan laporkan ke pihak berwajib agar diproses hukum sehingga menimbulakn efek jerah,” tandas Markus Daton.

Nona Losor, putri sulung almarhuma, dalam suasana duka yang mendalam atas kematian ibu dan adiknya, dengan penuh emosi menuturkan, “Kalau ini benar kehendak Tuhan, kami terima, tapi bila ini terjadi karena kelalaian, maka kami minta untuk diluruskan. Apa pun tindakan atau langkah yang kami buat tidak akan mengembalikan ibu dan adik kami. Yang membuat kami marah Bides Lerahingga ketika antar mama ke RSUD langsung menghilang dan baru muncul lagi saat penguburan. Bides macam apa ini?” gurutu Nona.

Ia mengatakan, saat penguburan empat orang bidan dengan pakaian dinas hadir. “Dalam keadaan menangis saya keluar dan terik bahwa mereka para bidan RSUD adalah pembunuh dan tidak punya hati,” katanya.

Manajemen RSUD Lewoleba yang hendak dikonfirmasi memilih bungkam. Ada yang meminta media ini langsung menghubungi Direktur RSUD, dr Bernad Beda Yosep yang saat kejadian sedang bertugas ke Jakarta.Tapi dr Bernad pun sulit dihubungi. (steni/jdz)

Foto : Ilustrasi aktivitas paramedis di RSUD Lewoleba.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *