Melarang Penangkapan Ikan Paus Berarti Membasmi Orang Lamalera

oleh -24 Dilihat

Lewoleba, mediantt.com — Desa Nelayan Lamalera telah mendunia karena tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional. Karena tradisi warisan leluhur ini tidak ada duanya di dunia. Budaya turun temurun ini telah menunjukkan jati diri dan eksistensi orang Lamalera. Karena itu, melarang penangkapan ikan paus sama dengan membasmi orang Lamalera.

“Budaya penangkapan ikan paus di Lamalera adalah soal esksistensi orang Lamalera yang merupakan satu-kesatuan yang membentuk dan memberi makna kepada orang Lamalera. Di dalamnya menggambarkan cara berada, cara hidup, karakter dan cara berpikir orang Lamalera. Tidak ada penangkapan ikan paus, berarti tidak ada orang Lamalera. Karena itu, jika melarang penangkapan ikan paus sama artinya dengan menghilangkan dan membasmi orang Lamalera (genocide),” tandas Dr. Sonny Keraf, pemakalah dalam seminar Ikan Paus di Hotel Palm Indah, Lewoleba, Jumat (12/12/2014).

Dalam makalahnya bertajuk “Penangkapan ikan paus secara tradisional oleh masyarakat Adat Lamalera ditinjau dari aspek sosial-cultural”, mantan Menteri Lingkungan Hidup ini menjelaskan, esensi penangkapan ikan paus di Lamalera dapat dilihat dari beberapa aspek. Pertama, aspek ekonomi. Artinya, dengan adanya budaya penangkapan ikan paus orang Lamalera bertahan hidup atau sebagai sumber nafkah hidup dalam kehidupan mereka. Disana juga terjadi sistem barter yakni barang ditukar dengan barang. Misalnya ikan paus ditukar dengan jagung atau ubi dan lain sebagainya sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, ikan paus juga dijual untuk membiayai pendidikan anak-anak sekolah. Seperti yang diketahui banyak anak Lamalera yang sudah berhasil menjadi orang besar baik di Lembata, Kupang, Jakarta dan di luar negeri.

Kedua, aspek social. Bahwa setiap suku di Lamalera mempunyai peledang atau perahu sampai pada pembagian ikan yang didapat. Dengan demikian, dapat menyatukan kehidupan suku atau komunal yang ada di Lamalera dan penangkapan ikan paus pun berbasis masyarakat. “Itu menjadi pusat dan model penataan/pengorganisasian kehidupan sosial yang menentukan interaksi sosial antar warga. Ada peran-peran sosial baku yang diperankan masing-masing orang/pihak. Menyatukan ikatan sosial sesama suku/klan karena penangkapan ikan paus adalah aktivitas yang berbasis suku sebagai unit ekonomi, sosial dan budaya. Juga menjaga dan merawat modal sosial bergotong royong dan berbagi secara adil dimana penangkapan ikan paus adalah kegiatan sosial menghidupi sesama warga,” terang mantan anggota DPR RI dari PDIP ini.

Ketiga, aspek cultural. Menurut Sony, budaya penangkapan ikan paus adalah aktivitas kultural sejak dari menebang kayu, peletakan setiap bagian peruhu, pesta perahu baru, buat tali, pesta pembukaan musim tangkap, dan seterusnya penuh dengan ritus dan seremoni yang berpusat di pantai dan di rumah adat. “Menyatukan masa lampau (nenek moyang yang sudah meninggal), masa kini (pelaku) dan masa depan (warisan untuk anak cucu). Semua ritus dan penghormatan terhadap nenek moyang tidak boleh dilanggar karena ada dampaknya bagi kehidupan masyarakat yang ada,” katanya.

Keempat, aspek spiritual. Bagi orang Lamalera, penangkapan ikan puas adalah aktivitas spiritual. Berhasil atau tidak menangkap ikan paus adalah providentia dei (penyelenggaraan ilahi). Karena itu, setiap tahapan pembuatan perahu, persiapan sebelum musim leva, perahu akan dikeluarkan dari garasinya, layar telah dinaikkan, ikan mau ditikam dan seterusnya semuanya didahului dengan doa sebaga wujud penyerahan dan kepasrahan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sebab mereka yakin Tuhan ada dan menyatu dengan mereka di dalam penangkapan ikan paus. Maka ketika digantikan dengan harpoon, pertanyaan orang Lamalera: “Di manakah tempat Tuhan, kalau ikan paus bisa gampang ditangkap dengan menggunakan peralatan modern?”

Kelima, aspek moral. Penangkapan ikan paus menentukan perilaku orang Lamalera dengan istri, dengan sesama, terhadap janda dan yatim piatu, terhadap orang tua/nenek moyang, dalam membagi hasil tangkapan, menjaga mulut, kata-kata tidak boleh yang kotor, jorok, penuh dengki, tidak boleh ada dendam, penghinaan, bahkan tidak boleh si janda sakit hati (punek/menggerutu) dan ‘brama’. “Kalau sampai terjadi, akan berakibat fatal dalam penangkapan ikan paus seperti kematian, perahu hancur/tenggelam, berbulan-bulan tidak ada hasil tangkapan. Sehingga dibutuhkan upacara rehabilitasi termasuk ‘hapus mulut’ dari segala kata-kata kotor dan doa di rumah adat atau misa di gereja,” terang Sony.

Keenam, aspek politik. Pengorganisasian penangkapan ikan paus membentuk etos politik orang Lamalera egaliter (tidak feodal) penuh musyawarah mufakat dalam semangat gotong royong dan penataan peran dan tanggung jawab yang jelas. Kehidupan sosial-politik-budaya diatur dengan pusatnya pada rumah adat dan diketuai kepala suku yang sekaligus adalah tena alep (pemilik/pemimpin perahu). Pengorganisasi kehidupan bersama dilakukan secara terbuka dan terus terang, bahkan cenderung keras seperti kerasnya laut Sawu.

Bukan Untuk Wisata

Dr. Sonny Keraf juga menegaskan, budaya penangkapan ikan paus di Lamalera bukan untuk wisata. Tetapi budaya penangkapan tersebut lebih dulu ada baru ada wisata, bahkan tidak tidak peduli jadi objek wisata atau tidak. “Mau ada wisata atau tidak, pengakapan ikan paus tetap ada. Mau ada bantuan pemerintah atau tidak, orang Lamalera tidak peduli,” ujarnya.

menurutnya, wisata di Lamalera adalah wisata penangkapan ikan paus (whale hunting tourism), bukan wisata nonton ikan paus (whale watching tourism). “Esensi dari wisata penangkapan ikan paus tidak terletak terutama pada ikan pausnya, tetapi pada keseluruhan dimensi penangkapan ikan paus itu sebagamana dipaparkan diatas mulai dari menebang kayu sebagai bahan baku perahu sampai pembagian ikan paus bahkan penjualan ikan paus berpola barter dengan segala nilai sosial, budaya, moral, politik, spiritual yang secara eksistensial membentuk orang Lamalera,” jelas Sony.

Kata dia, penangkapan ikan paus membentuk ke-Lamalera-an dan karena itu menjadi daya tarik wisata. Jadi, menghentikan penangkapan ikan paus sama saja dengan membasmi orang Lamalera, karena itu mereka akan melawan sampai dimana pun dan kapan pun.

Dalam kaitan dengan isu lingkungan hidup dimana secara internasional, tegas dia, penangkapan ikan paus secara tradisional dilindungi, karena bukan merupakan aktivitas komersial untuk menjadi kaya. Namun merupakan lifelihood; kehidupan dan sumber kehidupan pada level subsistensi (sekedar bertahan hidup dan menyekolahkan anaknya). “Dalam “batas-batas tertentu, pola tradisional tersebut bersifat sustainable; tergantung pada providetia dei, caranya tradisional sehingga terbatas dan penuh keterbatasan dengan sendirinya, musim tangkap (leva) terbatas,” ujarnya.

Pergeseran Alamiah

Sony juga menjelaskan, akan ada pergeseran secara alamiah dengan proses perlahan-lahan dalam jangka menengah dan panjang sampai akhirnya akan menurun dan mungkin terhenti secara otomatis. Namun jangan dilarang dan dihentikan oleh siapa pun. Seperti yang terjadi sekarang ini, dimana jumlah anak Lamalera sekolah keluar semakin banyak dan tidak kembali menjadi pemburu paus. Sejalan dengan pengaruh dari luar, sebagaimana dialami semua desa di Indonesia, jenis dan pola nelayan di Lamalera mulai berubah dan bergeser ke pola tangkap ikan karang dengan pukat dan perahu kecil secara individual/kelompok kecil terbatas. Gejalanya, sebut dia, leva resmi mulai tidak dilakukan secara rutin, kini lebih sering baleo daripada leva. Mulai terjadi pergeseran budaya yang evolutif alamiah karena teknologi tangkap mulai berubah (pakai motor, pukat, sampan). “Tuhan masih punya tempat, tetapi mulai berkurang perannya, tabu moral-kultural mulai melemah, secara sosial pola tangkap lebih individual, mulai muncul pola ekonomi uang dan muncul aktivitas dagang dengan uang.

“Dengan demikian dapat disimpulkan, penangkapan ikan paus di Lamalera punya dimensi yang sangat luas dan mendalam menyangkut eksistensi orang Lamalera secara turun-temurun. Memberi ruang terhadap penangkapan ikan paus di Lamalera berlangsung sebagaimana adanya dan akan berevolusi kemana orang Lamalera membiarkan dirinya menghadapi gelombang pengaruh modernisasi dari luar tanpa boleh dipaksa dari luar. Pariwisata justru harus mengkapitalisasi keunikan dan esoterisme penangkapan ikan paus di Lamalera dalam segala dimensinya sebagai “jualan” untuk peningkatan kesejahteraan Lamalera dan Lembata. Proses ini akan berujung pada titik di mana dalam jangka panjang pariwisata Lamalera akan menemukan bentuknya sendiri (entah seperti apa) sesuai dengan dinamikanya sendiri tanpa perlu dipaksa dari luar,” imbuh putra Lamalera ini. (hiro/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *