Kejayaan Politik Golkar Tak Pernah Redup

oleh -113 Dilihat

Partai Golongan Karya (Golkar) adalah partai tertua yang masih bertahan di zaman ini. Sebagai organisasi politik, Golkar adalah satu-satunya partai yang merasakan semua orde sejak Indonesia merdeka. Sejak kelahirannya, ia seperti tidak pernah mengalami masa surut: terus moncer di segala zaman, atau minimal tidak pernah benar-benar redup. Gelombang Reformasi boleh saja menggerogoti partai ini luar-dalam dan (sempat) melemparnya dari penguasa tertinggi politik Indonesia. Tapi, hingga hari ini, Golkar tetap di sana, mondar-mandir di sekitar kekuasaan.

JAGAT POLITIK Indonesia tentu tahu masa jaya Golkar di era orde baru. Sejarah mencatat, kejayaan Golkar saat itu karena memiliki berbagai kekuatan dan infrastruktur politik pendukung, terutama struktur partai yang terbentuk dan aktif hingga tingkat desa/kelurahan, bahkan rukun tetangga (RT). Ini yang memudahkan konsolidasi secara cepat dan efektif. Juga, tidak sulit mendapatkan kader berkualitas unggul serta biaya politik karena pegawai negeri sipil (PNS) atau aparat sipil negara (ASN) bersama militer satu langkah menyokong Golkar. Golkar pun menjadi kuat dan sangat kokoh, sehingga dari pemilu ke pemilu selalu keluar sebagai pemenang dengan dukungan suara di atas 80 persen.

Tapi sayang, cerita kejayaan politik Golkar itu sudah menjadi kisah masa lalu. Pascareformasi, Golkar mengalami goncangan hebat dan berat. Dua kekuatan utama, ASN dan militer, harus menarik dukungan dan kembali ke barak. Golkar pun harus berjuang sendiri sebagai single fighter, dan makin rumit ketika menghadapi persoalan di internal partai kuning itu, disertai makin maraknya kehadiran partai-partai baru, yang kebanyakan personilnya adalah pentolan dari Golkar.

Karena itu, Ketua Golkar NTT, Melki Laka Lena, pernah mengatakan, selepas masa Orde Baru, Golkar berkali-kali harus menghadapi badai hingga nyaris tumbang. “Namun syukurlah, apa pun tantangannya, Golkar tetap bertahan, dan Golkar tetap berada di tangga atas bersama PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya,” kata Melki Laka Lena kepada wartawan.

Menurut Melki, awal reformasi merupakan masa-masa sulit bagi partai Golkar. Tuntutan pertanggungjawaban atas dosa-dosa masa lalu sampai pada tuntutan pembubaran Partai Golkar harus dihadapi. Akbar Tandjung tampil sebagai ketua umum justru dalam situasi sulit dan rumit seperti itu. “Tapi dibawah kepemimpinan Bang Akbar, Golkar sebisa-bisanya berusaha mempertahankan eksistensinya dalam panggung politik nasional. Dan, dibawah kepemimpinan Bang Akbar pula, Golkar berusaha membenah diri dan akhirnya tetap eksis dan bertahan hingga sekarang ini. Bang Akbar berusaha mengemudikan Golkar secara benar sehingga mampu keluar dari stigma orde baru dan melakukan perubahan internal secara menyeluruh. Bahkan membawa Golkar menjadi pemenang kedua Pemilu 1999 dan menjadi pemenang pada Pemilu 2004,” tegas Melki Laka Lena.

Kendati demikian, sesepuh Golkar yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Golkar NTT, Felix Pullu, mengatakan, kekuatan Golkar (memang) belum pulih. Kondisinya masih jauh dari kejayaan yang dicapai selama era Orde Baru. “Golkar membutuhkan energi baru untuk memulihkan kondisinya,” kata politisi senior Golkar yang kini berusia 78 tahun.

 Lalu, bagaimana posisi Golkar dewasa ini? Mengutip Moh Ichsan Firdaus, dalam tesisnya berjudul: “Desain Strategi Politik Partai Golkar Menghadapi Pemilu 2019”, ia menggambarkan era reformasi bagi Golkar menjadi babak baru. Kemenangan berturut-turut dengan raihan sedikitnya 80 persen pada masa Orde Baru, belakangan terus surut bahkan tersisa hanya sekitar 14 persen suara pada pemilu 2014. Kondisi itu terjadi karena beberapa faktor. Di antaranya karena militer dan birokrasi, sesuai tuntutan reformasi, menarik dukungannya dari Golkar. “Imbasnya, penguasaan Golkar di pemerintahan dan parlemen ikut melemah,”  kata Ichsan Firdaus, anggota DPR RI Fraksi Golkar periode 2014-2019, dari daerah pemilihan Jawa Barat.

Ichsan Firdaus pun merekomendasikan sejumlah saran. Di antaranya, perlu melakukan peninjauan ulang terkait doktrin “karya dan kekaryaan” Golkar, khususnya terhadap posisi Golkar pascareformasi dan hubungannya dengan eksekutif.

Menyikapi Golkar yang melemah menyusul era reformasi, Felix Pullu juga menitipkan sejumlah saran konkrit yang diharapkan menjadi sumber energi baru bagi Golkar, terutama di NTT. Di antaranya, pembinaan kader harus mendapat perhatian serius untuk dilakukan secara berkala melalui diklat khusus untuk menanamkan semangat militansi ber-Golkar yang ditunjukkan melalui PDLT (pengabdian, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela). “Melalui diklat itu wawasan dan ketrampilan para kader diharapkan meningkat. Melalui pembinaan itu pula para kader akan memiliki pemahaman secara baik tentang Golkar sekaligus meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Golkar juga harus mampu membangun dan mengajak kalangan pengusaha bergabung dengan Golkar. Mereka adalah kelompok khusus yang diharapkan bisa menopang ‘gizi’  Golkar,” tegas Felix Pullu.

***

Dikutip dari buku “Jejak Karya Golkar NTT”, Umbu Djima, tokoh Golkar Sumba Barat, menilai, Partai Golkar dibentuk sebagai penjaga Pancasila. Artinya, Golkar mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan Pancasila sebagai satu-satunya falsafah negara yang harus diamalkan secara murni dan konsekuen, karena Pancasila adalah harkat dan martabat bangsa. Melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), Partai Golkar mengupayakan secara sistematis pengamalan Pancasila oleh setiap warga negara.

Namun di era reformasi, menurut dia, munculnya gerakan radikalisme yang menolak Pancasila, karena parpol saat ini bukan lagi menyuarakan kepentingan rakyat, tetapi lebih pada mempertahankan partai masing-masing demi kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan. Tak cuma itu, anggota DPR(D) bukan lagi wakil rakyat tetapi menjadi wakil partai, yang berusaha mempertahankan partai karena ada kepentingan dan kekuasaan yang ingin dipertahankan. Salah satu bukti, ketika kepentingan pribadi maupun golongan tidak terakomodir, maka mereka dengan muda mencari atau membentuk partai baru. Sedangkan Partai Golkar tidak dibentuk dengan tujuan demikian. Karena itu, Partai Golkar harus kembali pada tujuan terbentuknya.

“Dengan segala plus minus perjalanan Partai Golkar NTT, menjadi sejarah sebagai partai terdepan menjaga Pancasila. Sudah saatnya Partai Golkar merefleksi sejauh mana menjalankan perannya. Kelemahan Partai Golkar adalah tidak adanya pendidikan kader dan minimnya pendidikan karakter. Golkar harus hadir di tengah-tengah perselisihan bangsa saat ini. Pimpinan Golkar harus paham cita-cita awal terbentuknya Partai Golkar. Dan harus pekah terhadap ketimpangan yang ada, harus punya pikiran-pikiran baru dengan landasan Pancasila. Dan kepada warga Golkar harus berperilaku Pancasilais dan menjadi teladan,” nasehat Umbu Djima.

Politisi Golkar dari Lembata, Yohanes de Rosari, kepada mediantt.com, Sabtu (17/10) menuturkan, munculnya banyak partai baru sesungguhnya ujian terhadap kepemimpinan Golkar. Artinya, Golkar terus berupaya agar platform perjuangan dan karyanya terus dan semakin kuat mengakar. “Terbukti dalam sejarah, Golkar tetap kuat meski persentasenya bergeser dengan kemunculan partai-partai baru,” kata anggota Fraksi Partai Golkar DPRD NTT ini. Menurut mantan Ketua DPRD Lembata ini, Golkar menjadi besar dan terus eksis dengan kader yang militan, karena idiologinya, platform perjuangan, terutama karya dan kekaryaannya. Apalagi Partai Golkar itu lintas agama dan suku; nasionalis dan beridiologi UUD 1945 dan Pancasila. “Bagi saya, Golkar adalah wadah untuk seluruh bangsa Indonesia dari berbagai etnik yang majemuk. Jadi para kader, termasuk saya, memilih masuk Golkar bukan karena tokoh-tokoh pejuangnya. Tapi karena idiologinya dan kehadiran Golkar masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat,” kata politisi Golkar yang digadang menjadi calon bupati Lembata ini.

Prospek Golkar NTT Cerah

Sesepuh dan politisi senior DPP Partai Golkar, Ir Akbar Tandjung, dalam epilognya di buku “Jejak Karya Golkar NTT” menulis, jika direfleksikan dengan realitas jejak karya Golkar NTT hingga saat ini, terutama tentang perkembangan, dinamika dan proyeksi Golkar di NTT, maka ada keyakinan bahwa jika yang diterapkan adalah penguatan kelembagaan Golkar, maka prospeknya semakin cerah. Sebab Golkar di NTT memiliki sumberdaya politik yang baik, para pengurus dan kader-kadernya memiliki komitmen dan konsistensi yang tinggi dalam berjuang demi kerangka nilai dan visi Golkar. Militansi, kompetensi dan integritas para pengurus dan kader-kadernya tinggi, serta mampu bersaing dengan partai politik lainnya dalam rangka kontestasi elektoral. Tetapi, tidak semata-mata dalam konteks elektoral, para kader Golkar NTT yang ada di pemerintahan dan lembaga perwakilan juga mampu menunjukkan kontribusi nyata dalam pembangunan daerah.

Dari perspektif ini, menurut Akbar, Partai Golkar NTT dikenal sebagai institusi politik yang menghasilkan para politisi intelektual yang berkompeten dan memiliki integritas tinggi, sehingga mampu mewarnai derap langkah pembangunan daerah dan nasional. Di sisi lain, selaras dengan nilai-nilai Partai Golkar sebagai partai yang mewadahi segenap spektrum masyarakat Indonesia yang majemuk, Golkar di NTT juga telah membuktikan kemampuannya dalam mewarnai dinamika masyarakat yang multikultural yang ditandai oleh keanekaragaman.

Karena itu, melihat kiprah dan perjuangan Golkar NTT yang konsisten dan terus terjaga proses pengkaderannya, ada keyakinan Golkar NTT akan selalu terus mewarnai bahkan mempelopori proses-proses pembangunan. “Saya melihat Golkar NTT mampu mengandalkan kekuatan kelembagaannya dengan baik, perjuangannya berbasis nilai-nilai kegolkaran yang notabene juga nilai-nilai kebangsaan, nilai-nilai Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Golkar NTT juga bekerja selaras dengan sistem yang berjalan dengan baik dan profesional, dan mampu menempatkan kader-kader terbaiknya di pemerintahan dan lembaga perwakilan, adanya kepercayaan dari masyarakat yang terus terjaga, dan kepemimpinan politik yang efektif,” pesan Akbar Tandjung.

Ketua DPD I Partai Golkar NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, pun dengan gamblang membeberkan setiap tindakan politik Golkar NTT. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI ini mengatakan, politik di masa silam dan kini dikenang sebagai sejarah tindakan, maka sesungguhnya sejarah di masa kini adalah serial tindakan politik di masa silam, atau politik di masa kini kemudian dikenang sebagai tindakan sejarah di masa depan. Dengan demikian, menurut Melki, politik tidak pernah mengenal stagnasi tindakan, tetapi juga pada niatnya. Karena itu, serial tindakan politisi dari aneka lintas generasi sesungguhnya memantulkan rajutan benang sejarah yang menyentuh labirin jaringan genderang (peran dan fungsi pria dan wanita), generasi muda dan para sesepuh yang datang silih berganti sambil menyalin sejarah demi selalu berada dalam rentang temali kontinum politik.

Partai Golkar NTT, misalnya, sebut Melki, adalah sebuah lembaran panjang sejarah tindakan politik, tetapi sekaligus dari padanya terpancarkan dengan amat terang nuansa politik tindakan yang menyejarah, tanpa sedikit pun melewati pasang surut patahan sejarah pada dirinya sendiri. Di Golkar NTT, jelas Melki, ada lapisan para pelaku sejarah politik di masa silam, yang dikenal sebagai sesepuh. Peran dan fungs mereka telah bersejarah dan menyejarah karena serial tindakan politik mereka di masa lalu, dan pantas dikenang, juga selalu menjadi bagian penting untuk sejarah Golkar ke masa depan.

Selain itu, ada pula kaum perempuan. Keberadaan mereka bukan saja bergabung dalam ziarah sejarah Golkar lantaran tuntutan politik, tapi juga menjadi bagian tak terpisahkan dari tuntutan sejarah peradaban politik di masa depan. Pun, ada lapisan generasi muda (termasuk generasi milenial), menjadi sumber daya potensial politik di Partai Golkar NTT. Bersama para sesepuh Golkar, mereka memintal kekuatan politik di NTT dalam skema pembebasan  NTT dari aneka belenggu rantai keterbelakangan politik dan sekat-sekat politik yang diproduksi sejarah para penjajah di zaman kolonial. “Relasi tiga lapisan pelaku sejarah politik ini bagi Golkar NTT adalah kekuatan sekaligus peluang. Sebagai kekuatan, tiga lapisan relasional ini memungkinkan Golkar NTT tetap eksis dan selalu berdaya untuk tampil menjadi kekuatan politik sehingga Golkar tampil sebagai pemancar utama politik moderasi di NTT,” tegas politisi cerdas berbesik Apoteker ini.

Di simpul ini, tindakan politik yang dikenang dan dilakukan para aktor yang menyejarah dan para penerusnya dipanggil untuk menengok ke masa silam bukan untuk pergi kembali dan tinggal di masa lalu, melainkan pergi ke masa silam agar kian mengerti bahwa perjalanan politik Partai Golkar merupakan serial tindakan politik yang menyejarah di NTT. Dirgahayu Partai Golkar ke-56, 20 Oktober 2020; dalam spirit “Kesehatan Pulih, Ekonomi Bangkit dan Pilkada Menang!! (josh diaz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *