FLORES GEOTHERMAL ISLAND: MIMPI HIJAU ATAU SEKADAR TINTA DIATAS KERTAS?

oleh -160 Dilihat

Oleh: Angela Benedicta Horta
Master of Energy Student, University of Auckland

Penolakan yang Terjadi di Kalangan Masyarakat

“Kami menjaga tanah kami. Sampai kapanpun kami tidak mengizinkan siapapun merusak tanah kami. Kami jelaskan juga, sanksi adat bila memaksa masuk tanah kami,” terang Ase Milin Lungar pada Kamis (3/10/2024), pemuda dari Gendang Lungar Poco Leok, dikutip dari Mongabay Indonesia, 9 Oktober 2024 dilaporkan oleh Ebed de Rosary.

Pernyataan ini merupakan bentuk penolakan masyarakat Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terhadap proyek strategis nasional perluasan pembangkit listrik tenaga panas bumi Lapangan Ulumbu yang berlokasi di wilayah Poco Leok, Flores, NTT. Terdapat 3 PLTP yang telah berdiri di Pulau Flores yakni PLTP Ulumbu (4×2,5 MWe), PLTP Mataloko (1×2,5 MWe), & PLTP Sokoria (1×5 MWe & 1×3 MWe), namun sejak awal berdiri sampai saat ini pengembangan ketiga PLTP ini masih menuai berbagai isu di kalangan Masyarakat.

Persepsi bahwa industri panas bumi adalah industri yang rakus air yang akan berdampak pada produksi hasil pertanian masyarakat setempat menjadi salah satu alasan penolakan. Disisi lain penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), serta diare sering diasosiasikan sebagai dampak buruk hadirnya PLTP
di Pulau Bunga ini. Belum lagi munculnya isu longsor serta banyaknya rumah-rumah warga yang menjadi mudah berkarat menambah rentetan alasan penolakan atas industri panas bumi di Pulau Flores.

Perkembangan Industri Panas Bumi di Selandia Baru

Melihat masifnya penolakan atas hadirnya industri panas bumi di tanah flores, memunculkan pertanyaan. Haruskah pengembangan panas bumi ini dihentikan? Apakah penetapan Flores Geothermal Island dengan potensi hampir mencapai 1000 MMe hanya akan menjadi catatan hitam
diatas putih? Atau apakah mimpi untuk merasakan listrik hingga ke pelosok NTT hanya akan terus menjadi mimpi?

Mari belajar dari New Zealand, negara yang sumber listriknya didominasi oleh energi ramah lingkungan dengan 18% proporsi bersumber dari panas bumi menempati urutan kedua. Industri ini telah ada sejak tahun 1958 ditandai dengan pemboran sumur pertama di lapangan Wairakei dan
selama proses berkembanganya panas bumi di Negeri Kiwi ini juga tidak luput dari berbagai isu, salah satunya yang terjadi di Rotorua.

Rotorua Geothermal Field telah diakui secara internasional sebagai contoh dari sistem panas bumi yang telah mengalami eksploitasi secara masif pada kedalaman dangkal (30-200 m). Banyak masyarakat setempat yang memiliki private well yang digunakan baik untuk keperluan domestik maupun keperluan komersial (Scott et al., 2005). Pada tahun 1986 sebanyak 29,000 ton per hari total fluida diambil dari sumur, hal ini akhirnya berdampak terhadap manifestasi permukaan di daerah Rotorua, banyak geyser dan mata air panas yang menunjukan penurunan volume.

Proses monitoring berkala yang dilakukan pada salah satu geothermal features (soda fountain). Bertujuan untuk mencegah dampak negatif dari pengembangan panas bumi di Selandia Baru.

Melihat adanya pengaruh ekstraksi panas bumi terhadap manifestasi permukaan, pemerintah New Zealand mendanai program monitoring pada tahun 1982 lewat Rotorua Geothermal Monitoring Programme atau dikenal RGMP. Program ini meliputi pengadaan sumur monitoring baik untuk
geothermal maupun untuk pemantauan air tanah, observasi manifestasi permukaan, serta analisa geokimia terhadap mata air panas dan sumur panas bumi. Kemudian pada tahun 1991 terjadi perubahan kebijakan dimana pengolahan lapangan dikelola oleh pemerintah daerah setempat (Environment B.O.P) sehingga dikeluarkanlah Rotorua Geothermal Regional plan (RGRP) pada tahun 1999.

Beberapa kebijakan utama yang dikeluarkan meliputi pembatasan ektraksi fluida menjadi 4400 ton per hari, larangan ekstraksi fluida di dalam radius 1,5 km dari Pohutu Geyser dengan tujuan melindungi geothermal features, serta adanya kewajiban reinjeksi terhadap fluida yang diektraksi.

Kedua program monitoring tersebut membawah perubaan yang cukup signifikan, setelah adanya program penutupan sumur di tahun 1986 beberapa mata air panas mulai mengalir kembali serta adanya peningkatan muka air tanah, dan peningkatan tekanan yang berdampak pada aktifnya beberapa geyser di daerah Rotorua.

Hadirnya geothermal system di Rotorua mendatangkan manfaat yang sangat besar terhadap masyarakat setempat terutama dari segi pariwisata yang mampu mendatangkan pemasukan sebanyak 320 juta NZ$ per tahunnya serta menyerap tenaga kerja sebanyak 18% (Butcher et al., 2000).

Langkah Nyata Menuju Realisasi Flores Geothermal Island

Belajar dari sejarah pengembangan panas bumi di New Zealand, bukan tidak mungkin mewujudkan nawacita Flores Geothermal Island, namun jelas butuh komitmen dan usaha bersama semua pihak. Pemerintah perlu membuat kebijakan yang jelas tentang batasan-batasan eksploitasi panas bumi agar tidak menggangu ekosistem lingkungan milik masyarakat setempat, kebijakan yang telah diterapkan di New Zealand dapat menjadi contoh.

Selain itu Kontraktor yang ingin mendirikan power plant seharusnya melakukan sosialisasi dengan menekankan pendekatan personal serta mengutamakan penyamapian informasi yang bisa dipahami oleh masyarakat awam. Pahami kebutuhan masyarakat setempat dan tawarkan solusi yang bisa diciptakan lewat hadirnya industri panas bumi sehingga masyarakat merasakan manfaatnya secara langsung. Langkah konkret yang bisa diambil adalah dengan adanya pemanfaatan geothermal secara langsung.

Mayoritas penduduk di daerah Poco Leok bermata pencaharian sebagai petani dengan kopi sebagai salah satu komoditas utamanya. Proses pengeringan kopi dengan memanfaatkan uap panas dari PLTP ulumbu dapat menjadi salah satu alternatif pemanfaatan langsung panas bumi, dimana waktu pengeringan dapat dipangkas sehingga mendatangkan keuntungan langsung secara ekonomi bagi masyarakt lokal.

Sudah banyak proyek geothermal direct use yang sudah diterapkan baik di luar negeri maupun di Indonesia yang dapat dijadikan acuan baik dari segi teknikal design maupun keekonomiannya. Sudah saatnya pemerintah, kontraktor, dan lembaga masyarakat setempat bergandengan tangan, menciptakan solusi terbaik untuk kesejahteraan rakyat. Tinggalkan pendekatan dengan metode lama yang berujung konflik tak berkesudahan yang akhirnya merugikan semua pihak. (***)