Oleh Aventus Purnama Dep
Mahasiswa Sains Agribisnis Institut Pertanian Bogor
NUSA Tenggara Timur (NTT) adalah wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tanahnya subur, lautnya luas, dan budaya yang kuat. Namun di balik kekayaan itu, desa-desa di NTT menyimpan ironi: dana besar mengalir, tetapi daya masyarakat masih lemah.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, triliunan rupiah digelontorkan untuk membangun ekonomi desa. Salah satunya melalui pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) di hampir setiap desa. Namun, harapan besar itu belum sepenuhnya terwujud.
Berdasarkan Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LKIP) Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2023, belum semua desa di NTT memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai wadah kelembagaan ekonomi masyarakat.
Dari total 3.137 desa, hanya sekitar 1.476 BUMDes yang tercatat aktif, sementara sisanya masih belum beroperasi. Kondisi ini menunjukkan bahwa BUMDes memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai sumber pendapatan asli desa (PADes) maupun sebagai sarana peningkatan kesejahteraan masyarakat apabila dikelola secara profesional dan berkelanjutan.
Koperasi usaha yang dikelola secara transparan dan profesional terbukti mampu tumbuh pesat, menandakan bahwa masalah utama di banyak desa bukan terletak pada kekurangan modal, melainkan pada lemahnya manajemen dan integritas dalam pengelolaan.
Pelatihan dan pemberdayaan di desa selama ini cenderung seremonial dan administratif. Kegiatan hanya berhenti pada pelatihan singkat dan laporan sukses tanpa hasil nyata. Jika BUMDes dikelola profesional dan berorientasi pada peningkatan kapasitas, desa dapat tumbuh mandiri dan berdaya.
Dana Melimpah, Tapi Desa Tak Berdaya
Data Kementerian Keuangan, Tahun 2025 NTT menerima Rp2,69 triliun Dana Desa untuk 3.137 desa. Namun, tingkat kemiskinan masih tinggi di angka 19,96% (BPS, 2024). Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan dana belum optimal karena banyak BUMDes tidak berfungsi.
Anggota DPD RI, Abraham Liyanto, menilai bahwa kegiatan BUMDes masih kurang produktif karena sebagian besar hanya berfokus pada usaha penyewaan tenda dan kursi. Ia juga menyoroti ketidakjelasan laporan keuangan pengelolaan BUMDes, meskipun setiap tahun lembaga tersebut menerima alokasi dana desa yang cukup besar.
Berdasarkan temuan penulis di lapangan, pergantian pengurus BUMDes yang sering dipengaruhi kepentingan politik, semakin memperburuk transparansi laporan keuangan dan menurunkan kepercayaan masyarakat.
Selain itu, penyaluran dana BUMDes cenderung lebih banyak dimanfaatkan oleh aparat atau pengurus internal desa dibandingkan masyarakat umum. Kondisi ini membuat BUMDes beroperasi layaknya koperasi simpan pinjam, padahal seharusnya berfungsi sebagai lembaga penggerak ekonomi desa yang inklusif dan produktif.
Masalah utama bukan pada minimnya dana, melainkan pada lemahnya daya masyarakat dalam mengelola potensi. Program infrastruktur memang berjalan, tetapi tidak diiringi dengan pembangunan kapasitas manusia.
Akibatnya, dana besar tidak bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi lokal yang berkelanjutan. Desa menjadi penerima bantuan, bukan penggerak pembangunan.
Pemberdayaan yang Berhenti di Spanduk
Berbagai penelitian mengungkap bahwa banyak BUMDes di Nusa Tenggara Timur (NTT) dibentuk tanpa studi kelayakan yang memadai (Luki Angi, 2020), sehingga berdiri hanya sebagai formalitas program pemerintah tanpa mempertimbangkan potensi dan kebutuhan nyata masyarakat desa.
Penelitian Therik et al. (2021) menunjukkan bahwa lemahnya pelibatan masyarakat serta rendahnya kemampuan manajerial dan akuntansi pengurus membuat BUMDes di NTT sulit menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan usaha.
BUMDes di NTT sering meniru model usaha luar tanpa menyesuaikan kondisi lokal (Lejap et al.,2021), sehingga menimbulkan konflik dan kegagalan usaha.
Pemberdayaan masyarakat desa perlu difokuskan pada peningkatan kapasitas dan pengetahuan dalam mengelola potensi lokal. Laga dan Jamu (2018) mencatat banyak BUMDes di Flores Timur berdiri tanpa analisis SWOT dan arah bisnis yang jelas, sehingga gagal mendorong kemandirian ekonomi.
Pemberdayaan sejati harus melahirkan pengelola yang kompeten dan mampu mengembangkan usaha produktif berbasis potensi desa.
Potensi yang Tertidur di NTT
NTT memiliki potensi besar dari alam, laut, dan budaya, namun belum dikelola dengan visi ekonomi jangka panjang. Pertanian, peternakan, dan perikanan masih bersifat subsistem, sementara komoditas dijual tanpa nilai tambah karena minim inovasi dan strategi produksi.
Banyak desa di NTT memiliki kekayaan adat dan sejarah bernilai tinggi, seperti tenun adat, tradisi lisan, dan situs leluhur yang mencerminkan identitas budaya.
Kampung Loce di Manggarai menjadi salah satu contoh potensi lokal yang belum dikelola optimal, padahal bisa dikembangkan menjadi wisata budaya dan ekonomi kreatif jika dikelola modern dan melibatkan masyarakat.
Namun, selama lembaga ekonomi desa masih lemah, potensi besar seperti ini hanya menjadi cerita berulang dari tahun ke tahun tanpa mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kekayaan alam dan budaya NTT ibarat tambang emas yang tak tergali karena lemahnya pengelolaan. Banyak BUMDes mati suri, tidak transparan, dan tanpa visi usaha.
Desa-desa di NTT perlu strategi baru berbasis inovasi dan integritas untuk menggerakkan ekonomi secara berkelanjutan.
Inspirasi Pengembangan Potensi Desa
Beberapa BUMDes di NTT berhasil menunjukkan prestasi yang patut dicontoh. Misalnya, BUMDes Tujuh Maret Hadakewa di Lembata, yang mengembangkan potensi wisata Pantai Hadakewa dengan menyediakan berbagai fasilitas seperti restoran, cafe kapal, banana boat, camping ground, dan penyewaan alat watersport. Selain itu, BUMDes Ngada fokus pada hilirisasi kemiri dan berhasil mengekspor produk kemiri ke berbagai negara.
Desa Wisata Golo Loni di Kabupaten Manggarai Timur mengembangkan agrowisata, ekowisata, dan wisata air berbasis keindahan alam, seperti river tubing, river camp, bird watching, dan wahana flying fox. Desa ini juga memberdayakan masyarakat melalui Kampung Perikanan Budidaya.
Prestasinya diakui secara nasional, dengan masuk 300 besar ADWI 2023 dan menempati peringkat ke-14 dari 3.134 desa di LDWN 2024. Keberhasilan Golo Loni menunjukkan bahwa pengelolaan potensi lokal secara profesional dapat menciptakan kemandirian dan nilai ekonomi bagi desa.
Di tingkat nasional, BUMDes Tirta Mandiri di Desa Ponggok, Jawa Tengah, sukses di sektor pariwisata. BUMDes Panggungharjo di Bantul juga menonjol sebagai desa mandiri dengan berbagai unit usaha.
Sementara itu, BUMDes Arya Kamuning Kadaule di Kuningan mengelola wisata Side Land dan Telaga Biru Cicerem. BUMDes ini mampu menyerap 255 tenaga kerja desa dan menghasilkan pendapatan sekitar Rp 3 miliar per tahun bagi desa.
Namun, keberhasilan seperti desa-desa yang telah disebutkan di atas masih menjadi pengecualian. Sebagian besar desa di NTT masih terjebak dalam rutinitas: bantuan datang, proyek berjalan, laporan selesai. Sementara masyarakat tetap menjadi penonton, bukan pelaku.
BUMDes seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi desa mengumpulkan hasil tani, ikan, dan kerajinan untuk dipasarkan secara luas. Jika dikelola profesional dan jujur, BUMDes bisa menstabilkan harga, menciptakan lapangan kerja, dan menggerakkan ekonomi lokal.
Peluang yang Terlewat: Program Makan Bergizi Gratis
Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) seharusnya menjadi momentum emas bagi BUMDes untuk berperan sebagai penyedia bahan pangan lokal.
Mulai tahun 2025, desa diarahkan untuk mengalokasikan minimal 20% dari Dana Desa untuk program Ketahanan Pangan, dan BUMDes didorong kuat untuk menjadi pelaksananya melalui penyertaan modal.
Data Kemendesa PDTT tahun 2024 mencatat bahwa sebagian besar BUMDes belum berbadan hukum. Dari 65.941 BUMDes di Indonesia, hanya sekitar 18.850 atau 28,6 persen yang telah memiliki legalitas formal.
Lemahnya aspek legalitas dan tata kelola menunjukkan bahwa persoalan utama bukan pada minimnya dana, melainkan pada kelembagaan dan profesionalisme pengelolaan di tingkat desa.
Meski demikian, kebijakan ketahanan pangan desa membuka peluang besar bagi BUMDes untuk bangkit. Jika dijalankan dengan tata kelola yang baik, program ini tidak hanya memperkuat ketahanan pangan, tetapi juga dapat menggerakkan ekonomi desa secara masif dan berkelanjutan.
Koperasi Produsen: Pembanding dan Inspirasi
Sebagai pembanding, koperasi produsen terbukti efektif memperkuat posisi tawar petani melalui pembelian dan pemasaran kolektif. Sistem ini menstabilkan harga, mengurangi ketergantungan pada tengkulak, serta menyediakan pelatihan dan akses modal bagi anggota.
Penelitian luar negeri, seperti Bijman & Wijers (2019), menunjukkan bahwa koperasi dapat meningkatkan pendapatan petani, memperkuat adopsi teknologi, serta menekan risiko harga melalui kemitraan jangka panjang.
Di Indonesia, studi Hutagaol et al. (2019), memperlihatkan bahwa koperasi meningkatkan efisiensi pemasaran dan nilai tambah produk, sementara Oemar et al. (2024) menyoroti digitalisasi koperasi sebagai motor penggerak ekonomi lokal.
Koperasi dengan tata kelola transparan dan partisipasi aktif terbukti lebih berdaya tahan dibanding banyak BUMDes di NTT. Integrasi model koperasi produsen dalam manajemen BUMDes dapat menjadi strategi efektif untuk membangun ekonomi desa yang profesional dan berkelanjutan.
Dari Dana ke Daya
Nusa Tenggara Timur memiliki potensi alam, laut, dan budaya yang melimpah, namun sebagian besar belum tergarap karena lemahnya tata kelola dan kapasitas sumber daya manusia. Pembangunan desa masih terfokus pada dana dan infrastruktur, bukan pada penguatan daya masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan.
Banyak BUMDes dibentuk tanpa studi kelayakan dan dijalankan tanpa transparansi. Akibatnya, lembaga ini sering berhenti sebagai simbol administrasi, bukan motor penggerak ekonomi desa yang sejati.
Padahal, persoalan utama bukanlah kurangnya dana, melainkan lemahnya manajemen, integritas, dan inovasi di tingkat lokal. Banyak program pemberdayaan berhenti pada pelatihan seremonial atau laporan kegiatan, bukan pada hasil nyata yang mengubah cara masyarakat berpikir dan bertindak. Tanpa arah bisnis yang jelas, dana desa hanya menjadi rutinitas tahunan tanpa transformasi ekonomi yang berkelanjutan.
Ke depan, pembangunan desa di NTT harus beralih dari sekadar menyalurkan dana menjadi menumbuhkan daya. Kolaborasi quadruple helix antara pemerintah, perguruan tinggi, dunia usaha, dan masyarakat perlu diperkuat untuk membangun ekosistem desa yang produktif dan transparan.
Desa yang berdaya bukanlah yang menerima banyak bantuan, melainkan yang mampu menanam ide, mengelola potensi lokal secara profesional, dan memanen kesejahteraan bagi warganya. (***)
