ETIKA PENELTIAN

oleh -145 Dilihat

Oleh Drs. Ignatius Sinu, MA

Antropolog, pensiunan Dosen Ilmu Sosial pada Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana.

ETIKA penelitian adalah standar perilaku yang harus dipegang oleh peneliti selama melakukan penelitian, meliputi perilaku terhadap subyek penelitian dan hasil penelitiannya. Beberapa ahli memberikan definisi dan prinsip etika penelitian yang meliputi prinsip manfaat, keadilan, otonomi, dan kerahasiaan. Etika penelitian bertujuan untuk menjaga integritas penelitian, melindungi hak-hak partisipan, dan memastikan hasil penelitian bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam melaksanakan penelitian, ada etika penelitian yang harus dipahami dan dipatuhi oleh semua peneliti. Oleh sebab itu, membahas mengenai etika dalam penelitian adalah hal yang mendasar. Adanya etika dalam penelitian yang dipatuhi akan mendukung kelancaran penelitian tersebut dan mencegah terjadinya masalah, baik yang disebabkan oleh tindakan yang diambil responden maupun reputasi peneliti itu sendiri.

Mayer (2009) menekankan bahwa etika penelitian adalah prinsip-prinsip moral yang harus dipatuhi peneliti. Prinsip-prinsip moral itu sudah harus terpateri di dalam diri peneliti, dan sebagai panduan harus dituangkan atau tercantum dalam perencanaan (proposal peneltian), pelaksanaan (field research, studi pustaka, studi dokumentasi) dan pelaporan hasil penelitian.

Saunders, Lewis, dan Thornhill (2007) menjelaskan bahwa etika penelitian berkaitan dengan cara peneliti merumuskan topik penelitian, merencanakan penelitian, mengakses data, mengumpulkan data, menyimpan data, menganalisis data, membahas hasil analisis dengan merujuk ke teori dan konsep yang relevan, dan harus melaporkannya secara bertanggung jawab. Melalui laporan hasil penelitian, opini di media sosial, dan artikel-artikel ilmiah yang tentunya layak dipublikasi oleh jurnal-jurnal yang kredibel. Karena itu tidak etis seorang dokter ikut-ikutan mengklaim bahwa melakukan penelitian terhadap ijazah Jokowi, dan hasil analisisnya adalah valid. Valid bagaimana data yang digunakan saja tidak valid.

Ketika prapenelitian atau persiapan penelitian selesai, tahap berikutanya adalah penelitian lapangan, atau aktivitas pengumpulan data di lapangan (field research) dengan metode wawancara dan pengamatan. Tujuannya untuk mendapatkan data yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk mengurai dan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian. Di dalam kegiatan penelitian lapangan para peneliti harus mematuhi etika di dalam upaya mendapatkan data yang diperlukan. Data yang diperoleh harus valid berasal dari sumber yang terpercaya bahkan berasal dari sumber aslinya, dan pihak yang memberikan informasi atau data haruslah dilindungi.

Sekurang-kurangnya terdapat empat prinsip yang hendaknya diperhatikan peneliti. Prinsip pertama adalah menghargai hak otonomi yang dimiliki responden atau sumber informasi (responden dan informan). Peneliti hendaknya memberikan kebebasan kepada sumber data atau informan dan responden di dalam memberikan jawaban atau informasi. Peneliti sedapat mungkin menghindari upaya menuntun respon memberikan jawaban sesuai dengan jawaban yang sudah disiapkan peneliti.

Di dalam penelitian kualititatif peneliti dilatih untuk menjadi pendengar yang setia hingga terlatih menjadi pendengar yang setia. Peneliti mengajukan pertanyaan dan dengan setia mendengarkan penjelasan informan, tidak menggurui apalagi mengarahkan informan untuk memberikan penjelasan. Responden atau informan harus dengan sukarela, gembira, bangga memberikan informasi sesuai yang diharapkan.

Diupayakan agar informan tidak dalam keadaan tertekan, terpaksa dan dengan penuh kesal memberikan informasi. Hal ini bertujuan untuk membantu mereka merasa aman dan nyaman dalam memberikan data penelitian. Sehingga bisa dipastikan kebenarannya dan tidak ada responden maupun nara sumber yang dirugikan dalam proses tersebut.

Kedua adalah prinsip promotion of justice. Prinsip ini harus dipatuhi peneliti dalam proses pengumpulan data, di mana peneliti harus menjunjung tinggi hak asasi dan keadilan bagi semua yang terlibat dalam penelitian, subyek dan obyek peneltian serta semua anggota yang terlibat dalam penelitian. Harus hati-hati memilih nara sumber atau responden, agar tidak menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti kecemburuan sosial. Nara sumber dan responden harus mendapatkan perlakuan yang adil sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat. Peneliti haruslah menyesuaikan diri dengan kondisi masyarakat yang diteliti.

Prinsip yang ketiga yang hendaknya diperhatikan peneliti dalam pengumpulan data, atau selama melakukan penelitian lapangan adalah prinsip ensuruing beneficence, yaitu peneltian yang dijalankan hendaknya memberikan sesuatu yang berguna bagi partisipan dan bagi masyarakat yang menerima kehadiran peneliti. Ketika peneliti meninggalkan lokasi penelitian setidaknya ada kesan yang ditinggalkan peneliti buat masyarakat yang diteliti. Suatu kegiatan penelitian hendaknya memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat.

Ada dua aturan umum dalam prinsip ensuruing beneficence yang harus dipatuhi peneliti adalah (1) tidak membahayakan atau merugikan partisipan, (2) memaksimalkan manfaat dan meminimalkan kerugian dari kegiatan pengumpulan data.

Sebagai catatan tambahan, pada saat ada risiko dari proses pengambilan data, maka peneliti wajib mengkomunikasikan atau menjelaskan hal tersebut kepada partisipan. Sehingga mereka paham risiko tersebut dan paham bagaimana mengantisipasinya. Dalam prosesnya partisipan juga akan ikut berkontribusi untuk meminimalkan segala bentuk risiko yang bisa saja terjadi.

Prinsip yang terakhir adalah ensuring maleficence. Prinsip ini mewajibkan peneliti mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam penelitian, baik secara fisik atau psikologis bagi nara sumber maupun responden. Peneliti harus menjaga kerahasiaan identitas responden dan nara sumber (informan). Karena itu peneliti disarankan menghilangkan seluruh informasi yang berkaitan dengan identitas responden dan nara sumber saat menyampaikan hasil penelitian dan menampilkan data. Peneliti juga harus memastikan bahwa data tersaji secara anonim agar privasi responden dan nara sumber terjaga.

Aspek kedua dari etika riset adalah etika publikasi hasil penelitian. Dimana ada sejumlah prinsip yang harus dipegang teguh peneliti ketika mempublikasikan hasil penelitian. Baik dalam bentuk prosiding, jurnal, maupun buku. Etika ini akan mencegah terjadinya pelanggaran pada proses publikasi ilmiah tersebut. Misalnya mencegah peneliti melakukan plagiarisme, falsifikasi data, dan pelanggaran etika lain dalam publikasi ilmiah. Sehingga etika dalam penelitian bukan hanya etika ketika melakukan pengumpulan dan pencarian data penelitian. Akan tetapi juga ada etika yang harus dipatuhi saat mempublikasikan hasil penelitian tersebut.

Lengkap sudah pembahasan mengenai etika penelitian, yang harus terinternalisasi di dalam diri peneliti. Lalu ketika disandingkan dengan ijazah Jokowi palsu dari persiapan hingga publikasi dilakukan dengan mengabaikan proses kegiatan penelitian, jauh dari tata aturan kode etik, ataukah etika ilmiah yang harus diperhatikan peneliti. Karena itu apa yang dilakukan Roy Surio, dan kawan-kawan amat jauh dari apa yang dimaksudkan dengan penelitian ilmiah. Dan yang sangat disayangkan, mungkin karena kurang paham tentang etika ilmiah, Roy dan kawan-kawan menyampaikan hasil analisis lab IT-nya ke publik, publikasi lewat media sosial, mimbar, dan TV dan media cetak tanpa memperhatikan etika dalam penelitian hingga publikasi dilakukan secara vulgar hanya dengan tujuan mengakhiri hegemoni Jokowi.

Roy Suryo mengklaim melakukan penelitian terhadap ijazah Jokowi, dan dengan serta merta bahkan angkuh (keangkuhan ilmiah) mengklaim dan dengan vulgar menyampaikan kepada khalayak bahwa ijazah Jokowi itu palsu. Berdasarkan runtunan sebuah penelitian atau yang sederhana adalah kajian, yang dilakukan Roy adalah bagian kecil dari yang namanya penelitian, yaitu analisis data. Di dalam penelitian sebelum datang ke pembahasan, satu langkah yang harus dilalui adalah menganalisis data. Data yang dianalisis adalah data yang betul-betul valid, sesuai dengan tujuan penelitian untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap hipotesis yang dibangun. Data fisik seperti tanah, artefak berupa tulang belulang, dan lain-lain harus dianalisis dengan alat bantu yang namanya laboratirium, uji laboratorium. Hasil dari uji laboratorium peneliti melakukan interpretasi dengan menggunakan teori dan konsep yang sudah dirancang dan yang sesuai untuk memberikan jawaban atas hipotesis yang dibangun.

Roy tidak melakukan tahapan-tahapan yang namanya penelitian. Yang dia lakukan adalah analisis lab forensik terhadap fotokopi ijazah Jokowi yang dikirim kepadanya atau yang dia dapatkan melalui media online. Seharusnya ketika dia menerima fotokopi ijazah Jokowi, dan menemukan kejanggalan-kejanggalan, dia terlebih dahulu membuat pertanyaan-pertanyaan untuk mendapatkan jawaban atau penjelasan atas kejanggalan yang ia temukan. Karena pendidikan akademiknya berjenjang S-3, maka dengan seabrek pengetahuan dan prosedur ilmiah yang dia kuasai, dia seharusnya mempersiapkan langkah-langkah penelitian ilmiah, mulai dari persiapan proposal, pembahasan proposal, penelitian, olah data, analaisis data, interpretasi, pembahasan dan pelaporan.

Semua tahapan ini harus dilalui secara formal, seperti seminar rencana penelitian, ijin penelitian, seminar hasil, dan publikasi. Berdasarkan prosedur etis penelitian seperti ini maka Roy tidak melakukan penelitian ilmiah, kerena ketika menerima kiriman fotokopi ijazah Jokowi, lalu Roy dengan serta merta meneliti, lebih tepatnya menelisik dengan metode Multi Media atau analisis multi media terhadap fotokopi Ijazah Jokowi, presiden RI ke-7, yang memimpin Indonesia sebagai presiden dua periode, presiden yang dicintai rakyat. Hasil telisiknya dengan serta merta mengumumkan bahwa Ijazah Jokowi palsu, klaim yang tentunya tanpa dasar karena apa yang dilakukan Roy tidak dikategorikan sebagai penelitian ilmiah karena langkah-langkah penelitian ilmiah tidak dilakukan.

Roy, maaf, dengan arogan menonjolkan keunggulan metode yang dia gunakan yaitu ELA. ELA sendiri adalah error level analysis yang bisa digunakan sebagai alat bantu menganalisis keaslian gambar digital. Roy sendiri dengan alat bantu digital itu menganalisis fotokopi ijazah Jokowi yang dikirimkan kepadanya. Karena itu hasil analisis yang mau didapatkan adalah apakah fotokopi itu asli atau palsu, bukan mengklaim bahwa ijazah Jokowi palsu. Prosedur analisis yang benar adalah proses uji laboratorium forensik ijazah Jokowi oleh Bareskrim Polri dengan membandingkan ijazah asli Jokowi dengan teman-temannya, melibatkan pihak-pihak independen netral yang hasilnya adalah identik karena terdapat perbedaan-perbedaan seperti nama, nomor ijazah, tanda tangan, foto, dan lain. Masa nama ijazah teman Jokowi sama dengan Jokowi.
Salah besar di dalam wawancara di Televisi, pembawa acara selalu berupaya mengarahkan dengan memberikan pertanyaan kepada responden untuk memberikan jawaban sesuai jawaban yang sudah mereka siapkan.

Ketika mewancarai teman Jokowi ditanyakan keberadaan Mulyono di dalam foto, pertanyaan itu akhirnya membuat kesal teman Jokowi, yang memberikan penjelasan faktual tentang masa kuliah mereka bersama dulu. Kesalahan yang mendasar dalam wawancara di televisi, pemandu menyelah dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan penuntun menghendaki nara sumber memberikan penjelasan tidak keluar dari topik.

Dalam kasus Ijazah Jokowi Palsu Roy, dkk menjadi sangat arogan dan tidak beretika di dalam mempertahankan temuannya, memaksakan kehendak bahwa temuan merekalah yang benar, dan ijazah Jokowi benar-benar palsu. Padahal yang mereka teliti adalah fotokopi ijazah Jokowi yang dikirim ke ponsel mereka. Lalu menuntut Jokowi menunjukkan ijzah aslinya. Dalam hal ini Roy melakukan kesalahan besar mengklaim ijazah Jokowi palsu bagi masyarakat Indonesia yang sangat menghormati Jokowi sebagai presiden RI ke 7 dua periode, ayah kandung Wakil Presiden RI, mantu dari seorang Gubernur. Lalu ikut-ikutan pengacara mereka yang mungkin cucu dari Jokowi menyebut-nyebut Jokowi sebagai saudara dengan sangat kasar dan arogan.

Kasus Jokowi ijazah palsu yang dibuat Roy, dan kawan-kawan manfaat finasialnya sangat besar yang dinikmati media sosial, eletronik dan cetak; sementara negatifnya sangat massif, yaitu berdampak sangat buruk terhadap kepribadian bangsa Indonesia, kepribadian suka membenci, memfinah, menanamkan nilai-nilai negatif kepada anak-anak bangsa, generasi anak cucu. Nilai-nilai negatif itu seperti membenci, memfitnah, tidak menghargai orang yang berjasa.

Pada akhirnya saya boleh mengatakan bahwa Roy Surio terantuk pada metode ELA. Saya tidak mengerti metode ELA. Saya dapatkan sedikit pengetahuan mengenai metode ELA melalui Tempo online, 26 Mei 2025 dengan topik “Soal Error Level Analysis atau ELA yang Sering Disebut Roy Suryo”. Error Level Analysis (ELA) adalah teknik dalam forensic digital yang digunakan untuk mendeteksi manipulasi pada gambar digital, khususnya dalam format JPEG.

Dikutip dalam laman UPI, sesuai Tempo, konsep dasarnya adalah bahwa setiap kali sebuah gambar JPEG disimpan ulang, tingkat kompresi di seluruh bagian gambar seharusnya relatif seragam. Namun, jika ada bagian yang telah diedit, bagian tersebut akan menunjukkan pola kompresi yang berbeda. Dalam dunia forensik, ELA digunakan untuk memverfikasi keaslian gambar, mendeteksi pemalsuan dokumen, dan memberikan bukti visual manipulasi gambar. Roy melakukan penelisikan fotokopi ijazah Jokowi, karena itu hasilnya adalah fotokopi ijazah Jokowi itu asli atau palsu, bukannya menyimpulkan bahwa ijazah Jokowi palsu, karena yang dia telisik adalah fotokopi ijazah Jokowi bukannya ijazah Jokowi.

Roy sendiri begitu arogan (kecongkakan ilmiah) dengan statusnya sebagai pakar telematika asli Universitas Gadjah Mada. Padahal media menampilkan riwayat pendidikan Roy; gelas sarjananya dari FISIP UGM Ilmu Komunikasi, gelar magisternya dari Fakultas Kedokteran UGM Ilmu Kesehatan Masyarakat minat perilaku dan promosi, dan gelar Doktornya didapatkan dari Universitas Negeri Jakarta. Sejak mengikuti berita mengenai Jokowi ijazah palsu, dan debat yang ditayangkan media elektronik saya bangga dengan Roy yang selalu mengatakan dia asli alumni UGM, yang dalam pengertian saya sejak S-1 hingga S-3 bidang ilmu Roy adalah ilmu komputer, yang semuanya diselesaikan di UGM. Kecewa memang karena bidang keahlian Roy tidak linier. (***)

Batakte, 12 Juni 2025