Frans Sarong saat membawakan materi yang dipandu oleh Korlap TMPG Laurens Leba Tukan.
KUPANG, mediantt.com – Hari pertama
Academy Golkar NTT Angkatan 3, diisi dengan materi-materi berkualitas dan mencerahkan. Salah satunya, “Relasi Hangat DPRD dan Media”, yang dibawakan oleh Wakil Ketua Bidang Penggalangan Opini dan Media (MPO), Frans Sarong. Jika ada oknum anggota dewan yang tidak bisa omong, maka bisa disiasati Jurnalis.
“Jurnalis adalah pemulung dan juragan kata (meski tidak semua), yang bisa mensiasati anggota dewan yang tidak bisa bicara. Artinya, yang bicara ngawur dan tidak jelas logikanya, bisa diatur oleh Jurnalis. Karena dia sudah menjiwai kerjanya, yang adalah nafas kehidupannya,” tegas Politisi Golkar berlatar Wartawan ini di hadapan peserta Golkar Academy Angkatan 3, di T-More Sahid Hotel, Senin (12/8).
Dalam materinya, di bagian “Berharap Tak Jadi Patung Manusia”, Frans Sarong menjelaskan, seturut regulasi resminya, DPRD adalah lembaga perwakilan daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan tingkat provinsi atau kabupaten/kota. Boleh juga disebut parlemen, yakni lembaga politik yang berperan penting memperjuangkan sekaligus memastikan sari aspirasi masyarakat menjadi kebijakan pemerintah setempat. Menurut dia, kata parlemen berasal dari bahasa Perancis “parle” yang berarti bicara. Lalu, orang orang yang menjadi anggota parlemen disebut “parler” (parleur), yang berarti tukang omong.
“Jadi, modal dasar yang seharusnya menjadi roh orang-orang berstatus anggota dewan atau anggota parlemen adalah kemampuan untuk selalu giat berbicara. Sebaliknya, jika ternyata hanya hadir dan duduk-dengar, mereka boleh dijuluki “patung manusia”.
Jika demikian, mereka adalah kelompok anggota dewan yang gagal menjiwai roh dasarnya, yakni sebagai tukang omong.
Lalu, asal omong begitu saja? Tentu tidak! Yang diomongkan adalah berbagai persoalan dan kepentingan masyarakat, yang membutuhkan penuntasan seharusnya,” tegas Koordinator Tim Media Partai Golkar ini.
Karena itu, jelas dia, setiap anggota dewan dituntut memiliki kepekaan menangkap berbagai persoalan atau aspirasi masyarakat sekitarnya. Lalu lebih dari modal peka, anggota dewan juga dituntut berkemampuan membahasakan berbagai persoalan dalam rangkaian kalimat lugas, singkat dan padat, hingga pesan “omong-omong”-nya dalam ruang sidang akan menggelinding cepat dan cepat ditangkap pula.
“Harus diakui, tidak semua anggota dewan bertalenta mumpuni membahasakan secara lugas berbagai persoalan masyarakat. Namun kendala seperti ini tak berarti buntu. Solusinya? Bangun relasi baik dengan media!” saran Frans yangv32 tahun menjadi Wartawan Kompas.
Solusi Gagap Berpendapat
Dia juga mengingatkan, Media termasuk medsos adalah jendela berbagi atau bertukar informasi. Kini, di era digitalisasi, siapa pun bisa dengan mudah mengakses berbagai informasi yang dibutuhkan. Namun kemudahan mendapatkan informasi itu supaya tetap dengan sikap hati-hati karena tidak sedikit info palsu/hoax. “Intinya, jangan cepat percaya. Cermati akurasinya, yang mesti ditandai kepastian sumbernya: dari siapa, kapan, di mana dan seterusnya,” katanya.
Menurut dia, Media sebagai jendela berbagi atau bertukar informasi dimungkinkan melalui medsos atau media arus utama, termasuk media online. “Bahasan kita hari ini fokus pada media arus utama, yaitu media yang proses produksinya melibatkan kalangan jurnalis profesional.
Siapa mereka? Mereka adalah sekelompok orang yang paham dan pandai mengemas berita berbasis fakta akurat,” ujarnya.
Menumpang sastrawan Fredy Shebo (2016), jelas Frans Sarong, kalangan jurnalis itu adalah juragan kata yang berkemampuan membahasakan berbagai hal menjadi berita berefek ganda. Bisa menghibur, mendidik, menuntut penuntasan, menyenggol, menokohkan dan efek lainnya.
Atau dengan kata lain, para jurnalis itu melalui kemampuannya merangkai kata, tak jarang jadi “penolong” bagi mereka — termasuk anggota dewan yang mengidap gangguan “gagap” berpendapat — dalam forum rapat atau ruang sidang.
“Mungkin melintas pertanyaan: bagaimana mengonstruksinya? Jawaban, juga tindak lanjutnya, sederhana saja. Atasi ‘kegagapan’ dimaksud dengan membangun relasi baik bersama insan pers,” imbuh Frans Sarong.
Konsekuensinya, sebut dia, ketika kemistrinya terbangun, maka apa pun potongan info bernilai berita dari sang dewan “gagap”, dipastikan mudah menjadi berita dalam jahitan kalimat ‘bernyawa’. “Namun keawetan kemistri antara sang dewan dan kalangan jurnalis, tentu tak cukup hanya dengan basa basi hambar atau sebatas olahan nasi kotak. Diharapkan, sekali-sekali dengan percikan lebih dari sang dewan. Tidak perlu sampai tebalkan dompet wartawan yang biasa datar. Percikan yang diperlukan sekadar menjamin kepastian terisinya bahan bakar sepeda motor sang jurnalis mendukung kelancaran mobilitasnya,” pesan politisi asal Manggarai Timur ini.
Dia menambahkan, membangun kemistri awet dengan jurnalis, sejatinya tidak hanya diperlukan kalangan dewan “gagap”. Wakil rakyat yang memiliki kepekaan tinggi dan juga jago berpendapat di ruang sidang pun membutuhkan kemistri mumpuni dengan kalangan jurnalis.
“Kepentingan utamanya adalah agar kehebatan sang dewan menjadi berita seru di ruang publik. Dan tak boleh dilupakan, memindahkan kisah pengabdian dan kehabatan sang dewan dari ruang privat atau ruang terbatas ke ruang publik, adalah kerjaan para jurnalis,” tandas Frans Sarong. (jdz)