Adnan Buyung Nasution Pendekar Hukum Tiga Zaman

oleh -61 Dilihat

Bang Buyung wafat. Ia meninggalkan begitu banyak kenangan.

NAMANYA kerap diposisikan sebagai orang yang selalu melawan kekuasaan. Jika diingat sepak terjangnya sejak zaman Bung Karno hingga masa reformasi kini, Ia bahkan bisa disejajarkan dengan tokoh dunia seperti Abraham Lincoln. Punya watak keras, berani melawan kedigdayaan kekuasaan negara, apalagi apa yang dilawan telah melanggar norma hukum negara, dia pantang untuk menyerah,  malah kerap keluar umpatan diluar etika di meja sidang pengadilan tanpa tedeng aling-aling. Dialah Adnan Buyung Nasution, Si Jambul Putih yang hidupnya lebih sering sebagai penyeimbang kekuasaan, dan ia selalu keras dalam membela keadilan.

Seperti halnya Abraham, Adnan Buyung Nasution (ABN) telah menjalani profesinya sebagai praktisi hukum sejak usia muda.  Kerja kerasnya mulai dari anak-anak hingga dewasa menjadikan ia orang yang hebat, mirip dengan Abraham Lincoln. Hanya mungkin nasibnya saja yang berbeda. Abraham terpilih  menjadi Presiden Amerika Serkat, sedangkan  Adnan Buyung Nasution selalu berada di depan dalam melawan kekuasaan Presiden.

Adnan Buyung Nasution, acap disapa Abang adalah sosoknya yang berada lebih sering di jalur lingkar luar pusat kekuasaan. Gampang, menemukan sosok si Jambul Putih ini. Si Abang menentang era Orde Lama, Orde Baru, bahkan Orde Reformasi ini, meski ia pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden SBY,  namun jabatan itu tidak menghentikannya untuk tetap melawan kekuasaan. Contoh kasus yang menimpa Anas Urbaningrum, ia bela dan ia lawan Presiden SBY walaupun ia dalam posisi masih menjabat Dewan Penasehat Presiden.

Di usianya yang ke- 81 tahun, angka yang menurut primbon Cina adalah angka istimewa. Hanya saja, di usianya sebanyak itu, ia telah diserang berbagai penyakit. Meskipun begitu ia tetap  selalu meluangkan waktunya melihat negeri yang hingga kini belum seperti apa yang dicita-citakannya. Sosok pejuang demokrasi dan HAM ini bagai tak pernah lelah mengumandangkan demokrasi, nasionalisme, konstitusional, dan hal-hal yang benar bagi kebenaran rel negara bangsa ini.

Mantan jaksa ini tidak produktif dalam hal menulis. Namun, seperti terangkum dalam riwayatnya dari berbagai sumber, sosok dan pemikiran ABN jelas. Soal demokrasi, HAM, konstitusi, hingga kasus politik serta semasa “menangani” kasus Bibit-Chandra (Komisi Pemberantas Korupsi). Meski keras kepala dan selalu memberontak, kesannya, ia tetap menghargai lawan-lawannya. Ia selalu senang jika teringat ungkapan dari orang yang ia kagumi yakni Voltaire: “Saya berlawanan pendapat dengan Anda, tetapi saya akan lindungi hak Anda untuk hidup dan berbeda pendapat dengan saya.”

Sepanjang berkecimpung di bidang hukum lebih dari 50 tahun, bagi ABN yang paling berkesan dan sangat membanggakan adalah ketika mendirikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Sejarah LBH sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari perjuangannya untuk menegakkan konstitualisme sejati di Indonesia. Bahkan, Profesor Daniel S Lev menekankan bahwa lembaga itu mewakili sejenis “Konstitusionalisme cerdas” (Intellegent Constitutionalism), karena ia tidak membatasi diri pada menyediakan bantuan hukum secara formal. Tetapi terlibat juga dalam suatu gerakan yang jauh lebih liar dari itu, demi tercapainya perubahan politik.

Tindakan ABN tampak liar, sehingga ia pernah disemprit hukum karena dianggap melakukan contemp of court. Di satu sisi ia membuktikan pejuang yang kukuh dan tangguh. Meski, yang dibela adalah “terdakwa” musuh berat penguasa. Lalu dalam Fundamentalisme Lawan Demokrasi, ABN menulis: “Demokrasi Indonesia terus diuji oleh berbagai masalah serius, dan fundamentalisme agama adalah salah satu yang paling berbahaya di Indonesia.”

Di samping pejuang kebenaran dalam melawan kekuasaan pemerintah yang tak mengenal lelah, Ia juga merupakan seorang advokat handal dan bengal di mata lawan. Ia pun pernah duduk sebagai anggota DPR/MPR serta Jaksa Agung 1957-1968 yang mungkin tercatat sebagai Jaksa Agung termuda dalam sejarah Indonesia.

Lelaki keturunan Batak ini, kelahiran Jakarta 20 Juli 1934, tak banyak yang mengetahui jika nama tengah yang disingkat “B” sebenarnya bukan Buyung tapi Bahrum. Di akta kelahirannya, namanya tercatat sebagai Adnan Bahrum Nasution. Hanya saja, ia sering menggunakan nama dirinya sebagai Adnan B. Nasution. Sejak huruf B yang tertera dalam setiap menuliskan namanya, maka nama “Buyung” seketika itu muncul manakala ia sering dipanggil oleh teman-teman dan kerabatnya. Entah kenapa nama Buyung kemudian tak pernah lepas dari nama yang bukan nama sebenarnya. Lalu apakah karena makna di balik nama Buyung adalah anak laki-laki pemberani, yang menjadikannya ia berani dalam menghadapi segala bentuk kezoliman hukum.

Sejak muda sudah dikenal sebagai aktivis. Pilihan sikap dan pemikirannya sering menjadi kontroversi. Adnan Buyung Nasution sejak lahir memang dikenal sebagai manusia yang tangguh. Ketika ia berusia 12 tahun, Adnan Buyung Nasution hidup bersama adik semata wayangnya, berdagang barang loakan di Pasar Kranggan, Yogyakarta. Di tempat itu juga, ibu Buyung berjualan es cendol. Sementara ayahnya bergerilya melawan Belanda pada tahun 1947 sampai 1948. Sang ayah merupakan sosok yang dapat dikatakan memberikan banyak pengaruh terhadap Buyung muda. Rachmat Nasution yang merupakan seorang pejuang gerilya dan reformasi serta pendiri kantor berita Antara juga harian Kedaulatan Rakyat. Selain itu juga ayah ABN seorang yang merintis lahirnya koran The Time of Indonesia.

Saat duduk di bangku SMA Negeri 1 Jakarta, Adnan Buyung Nasution menjabat Ketua Cabang Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), yang pada akhirnya ia bubarkan dengan alasan mengandung unsur PKI. Ia pun melanjutkan pendidikannya di bidang Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB). Hanya saja, satu tahun kemudian, Adnan Buyung Nasution pindah ke Universitas Gajah Mada dan mengambil bidang Hukum, Ekonomi, dan Sosial Politik. Tak lama setelah itu, Buyung kembali pindah ke Fakultas Hukum dan Ilmu pengetahuan Kemasyarakatan di Universitas Indonesia dan di situlah ia terus bergelut dengan kegiatan organisasi kemahasiswaan yang kerap melawan kebijakan pemerintah saat itu.

Setelah lulus dari Universitas Indonesia, Adnan Buyung Nasution melanjutkan kuliah sambil bekerja sebagai jaksa di Kejaksaan Negeri Istimewa Jakarta. Selain itu, ia juga kerap aktif pada kegiatan politik di Indonesia. Adnan Buyung Nasution tercatat sebagai sosok pendiri dan Ketua Gerakan Pelaksana Ampera dan sebagai anggota Komando Aksi penggayangan Gestapu. Adnan Buyung Nasution juga sempat mendapatkan skorsing selama satu setengah tahun karena turut ikut berdemonstrasi dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), dan dituduh sebagai anti revolusi.

Soal pendirian LBH ini Buyung punya cerita menarik. Ketika ia menjadi jaksa dan bersidang di daerah-daerah terpencil, ia melihat orang-orang yang menjadi terdakwa pasrah saja menerima dakwaan yang ditimpakan kepadanya. Dari sana ia berpikir, orang-orang kecil yang buta hukum itu perlu dibantu. “Bagaimana kita mau menegakkan hukum dan keadilan kalau posisinya tidak seimbang. Di situ saya berpikir, harus ada orang yang membela mereka,” tandasnya.

Tetapi niat itu dipendamnya. Kemudian, saat Buyung kuliah Universitas Melbourne, Australia, ia melihat bahwa di negara itu ada Lembaga Bantuan Hukum. Itu membuat ia sadar bahwa bantuan hukum itu ada pola, model, dan bentuknya. Pada 1969, Buyung kembali ke Indonesia. Kemudian ia menyampaikan ide itu kepada Kepala Kejaksaan Agung Soeprapto. Soeprapto memang memuji ide itu, tetapi ia menganggap belum waktunya diwujudkan. Buyung menyadari saati itu memang belum mendukung gagasan tersebut.

Ia baru bisa merealisaskani idenya membentuk LBH setelah ia keluar dari Kejaksaan. Mula-mula gagasan itu dilontarkan kepada Profesor Soemitro dan Mochtar Lubis. Rupanya, Soemitro dan Mochtar cukup antusias mendukung ide itu. Namun, Soemitro menyarankan supaya Buyung membuka kantor advokat karena bagaimana pun Buyung harus memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi sebelum Soemitro sempat membantu, dia keburu diangkat sebagai Menteri Perdagangan.

Selanjutnya, Buyung yang izin praktek advokatnya sempat dicabut itu menemui Menteri Kehakiman Prof. Oemar Seno Adjie untuk mengkonsultasikan ide itu. Rupanya Pak Menteri ini juga mendukung tapi menyarankan agar Buyung jadi advokat dulu supaya punya legalitas. Tanpa proses yang rumit, Buyung pun mendapatkan izin advokat, dan membuka kantor law firm. Tak lupa, ia juga mengajak beberapa temannya menjadi staf, seperti Nono Anwar Makarim, Mari’e Muhammad. Kantor itu kemudian berkembang cukup pesat.

Kemudian, mulailah Buyung menyiapkan pendirian LBH. Ia mulai melakukan pendekatan dengan sejumlah advokat untuk mensosialisasi ide itu. Buyung tidak mau ada ganjalan untuk mewujudkan gagasannya. Soalnya, menurut Buyung, di beberapa negara LBH dimusuhi oleh para advokat. Tetapi syukur, ia tidak punya ganjalan apa-apa. Peserta Kongres Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), terutama Yap Thiam Hien dan Lukman Wiryadinata (bekas Menteri Kehakiman), mendukung penuh gagasan itu.

Buyung juga melakukan pendekatan dengan pihak pemerintah. Ia menemui Ali Moertopo yang waktu itu menjadi asisten pribadi Presiden Soeharto dan menjelaskan ide itu seraya meminta ide itu disampaikan kepada Presiden, apakah presiden setuju atau tidak. Rupanya tak lama, ia dipanggil dan mendapat kabar bahwa Soeharto setuju dengan gagasan itu. Malah, ketika pembukaan LBH ia mendapat 10 skuter dari pemerintah.

Pada era reformasi, Adnan Buyung dipercaya Presiden SBY sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum. Namun hanya bertahan dua tahun. Nampaknya Adnan lebih pas berada di seberang jalan dengan penguasa. Tetap kritis dan kerap mengeluarkan statemen keras terkait kebijakan pemerintah. Bahkan Adnan Buyung tidak canggung ketika memilih menjadi pengacara Anas Urbaningrum, tokoh muda mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang jelas-jelas berseberangan dengan Presiden SBY. Bukan hanya penampilannya yang selalu parlente dan bugar. Tapi pemikirannya tetap kritis. Misalnya Buyung menuduh KPK tidak subtansiil saat memeriksa Anas Urbaningrum (klien-nya) terkait gratifikasi proyek Hambalang.

Adnan Buyung-lah yang meminta Anas Urbaningrum untuk tidak mendatangi panggilan KPK, sehingga menjadikan KPK geram dan mengancam akan memanggil paksa Anas dengan pasukan Brimob. Adnan Buyung pulalah yang meminta Anas Urbaningrum untuk tidak menjawab setiap pertanyaan KPK yang di luar konteks skandal Hambalang. Begitulah Adnan Buyung. Masih tetap pendekar hukum di usia yang sudah tua. Masih tetap kritis dan keras seperi 45 tahun silam. Bahkan Adnan Buyung lah yang secara agak terbuka berkomentar bahwa Presiden SBY bertanggung jawab atas skandal Bank Century.

Adnan Buyung pernah secara terbuka meminta KPK membuka siapa oknum yang paling bertanggung jawab atas bailout Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. “KPK harus secara terang membuka persoalan Century, dan harus dibuka tuntas,” kata ABN kala itu.

Menurut Adnan ada aktor yang paling bertanggung jawab atas kasus Century selain Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia Boediono. “Tidak mungkin, dua orang ini (Boediono dan Sri Mulyani) berani mengeluarkan uang itu kalau tidak ada persetujuan dari presiden,” kata Adnan.

Adnan mengatakan, dirinya ingat apa yang dikatakan oleh Sri Mulyani saat menangis di makam ayah kandung Menkeu  itu di Semarang. Menurut Adnan, pada saat Sri Mulyani di makam ayahnya mengatakan “semoga negara ini tidak lagi dipimpin oleh orang yang tidak bertanggung jawab”.

Begitulah kiprah sang pelawan, yang tak pernah mengenal lelah membela setiap jengkal keadilan bagi yang mereka membutuhkan keadilan. Dari zaman Bung Karno hingga era melankolis SBY, sesuai cita-citanya, ia tetap teguh dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

Hari ini, Rabu, 23 September 2015, si Abang dipanggil Sang Khalik. Semoga Allah memberikan tempat yang paling baik buat Bang Buyung. Selamat jalan, Bang. Kita bakal bertemu kembali di akherat nanti. (indonesianreview/jdz)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *