Harapan Hukum Kian Redup

by -218 views

Ilustrasi

RASA keadilan publik benar-benar sedang dicabik-cabik. Penegak hukum yang semestinya memberikan keadilan justru semakin tak punya malu memamerkan ketidakadilan dengan menebar keistimewaan kepada mereka yang terbukti melakukan kejahatan luar biasa.

Belum lama rasanya rasa keadilan rakyat dihina oleh putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghadiahi jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan diskon hukuman besar-besaran, dari hukuman pidana penjara 10 tahun di tingkat pertama menjadi hanya 4 tahun.

Belum lama pula rasanya rasa keadilan rakyat dilecehkan oleh putusan Pengadilan Tinggi Bandung, Jawa Barat, dengan memangkas hukuman mati kepada enam penyelundup 821 kilogram sabu di PN Cibadak, Sukabumi, menjadi pidana penjara 15-18 tahun saja.

Kini, rasa keadilan rakyat kembali dinistakan. Bedanya, bukan oleh hakim yang katanya wakil Tuhan, tetapi giliran jaksa yang melakukan. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (29/6), Korps Adhyaksa begitu bermurah hati kepada Edhy Prabowo.

Edhy rupanya punya tempat istimewa di hati para jaksa. Meski menyatakan bahwa Edhy melanggar Pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, mereka hanya menuntutnya dengan hukuman penjara 5 tahun. Itu pun masih dikurangi dengan masa tahanan.

Adilkah? Tentu tidak. Betul bahwa Edhy juga dikenai pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan US$77 ribu. Benar bahwa bekas anggota DPR dari Partai Gerindra itu juga dituntut untuk dicabut hak dipilihnya sebagai pejabat publik selama 4 tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. Namun, tuntutan pidana penjara 5 tahun jelas-jelas menindas akal waras.

Tuntutan pidana penjara 5 tahun buat Edhy yang menjabat menteri kelautan dan perikanan saat melakukan tindak pidana korupsi teramat sulit untuk diterima akal sehat. Apalagi, Edhy dinilai terbukti menerima suap Rp25,7 miliar terkait izin ekspor benih bening lobster atau benur. Apalagi, tindakan itu dilakukan ketika bangsa ini sedang dihantam krisis akibat pandemi covid-19.

Lebih menyakitkan lagi, tuntutan pidana penjara 5 tahun diajukan meski jaksa mengenakan konstruksi Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Dalam pasal ini jelas digariskan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima suap dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.

Alih-alih pidana seumur hidup, jangankan penjara 20 tahun, Edhy cukup dituntut satu tahun lebih lama daripada pidana minimal. Tuntutan itu bahkan sama dengan tuntutan kepada seorang kepala desa di Kabupaten Rokan Hilir, Riau, yang terbukti melakukan korupsi Rp399 juta pada akhir 2017.

Sungguh, jaksa begitu baik kepada Edhy. Sungguh, jaksa begitu tega menyakiti hati rakyat. Belum kering luka bangsa ini ketika hakim obral potongan hukuman, jaksa memperparahnya dengan tuntutan superringan.

Dengan kelakuan hakim dan jaksa seperti itu, amatlah berat untuk terealisasi harapan rakyat agar negeri ini bisa bebas dari korupsi dan narkoba. Kita berharap majelis hakim masih punya hati nurani untuk mengabaikan tuntutan jaksa kepada Edhy dan menjatuhkan vonis yang sangat berat nanti.

Kita juga berharap, majelis di tingkat banding dan kasasi tegak lurus pada garis keadilan dan tidak belok sana belok sini karena ada kepentingan. Di tangan Anda-Anda semua, wahai para penegak hukum, wajah hukum kita bergantung. Anda bisa membuatnya membaik, atau sebaliknya malah menjadikannya kian suram penuh bopeng menjijikkan.

Sulit disangkal, harapan rakyat kepada dunia peradilan nyaris tak tersisa, kian redup. Jangan sampai harapan itu benar-benar sirna karena akan celaka dua belas jika bangsa ini tak lagi punya asa. (e-mi/jdz)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *