Survei Membuktikan, Lembata Potensial Swasembada dan Ekspor Garam

by -173 views

LEWOLEBA – Tim Peneliti dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Widya Mandira Kupang, sejak Okteber 2018, telah melakukan Penelitian bertajuk, “Studi Prospek Pengembangan Indistri Garam Lembata Menuju Lembata Swasembada dan Ekspor Garam”. Tim Peneliti itu diketuai, Gerardus D. Tukan, S.Pd., M.Si (Kimia FMIPA Unwira Kupang), yang juga “anak tanah” Lembata. Tim Peneliti terdiri dari Ketua LPPM Unwira, Dr. Watu Yohanes Vianey dan anggota, Drs. Urbanus Ola Hurek, M.Si, Ilmu Pemerintahan FISIP Unwira, Drs. Adrianus Kefmoen, M.Si , Ekonomi Pembangunan dan Agustinus H. Pattiraja, ST. MT, Teknik Sipil/Planologi.

Menarik memang. Hasil penelilian tentang potensi garam di Kabupaten Lembata dipresentasikan lewat seminar sehari yang dikuti sekitar 100 peserta dari berbagai elemen dan Pemda Lembata itu ternyata memiliki prospek yang menjanjikan kesejahteraan rakyat Lembata. Betapa tidak. Desa-desa pesisir Lembata sangat potensial sebagai lahan yang sangat cocok untuk pengembagan industri garan di Lembata. Bukan saja potensial untuk swasembada garam karena sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, tapi sekaligus hasil industri garam itu dapat diekspor.  Sejauh mana potensi garam Lembata menuju swasembada dan ekspor, berikut laporan, Karolus Kia Burin, Sekretaris Dinas Kominfo Kabupaten Lembata.

Gerardy Tukan, demikian akrab disapa, memaparkan, kebutuhan garam nasional sebanyak 4,2 juta ton/tahun dan butuh lahan produksi minimal 40.000 hektar untuk mencapai swasembada, (Dirut PT Garam, Budi Sasongko, Kompas.com, selasa, 14/8/2018). Garam memang menjadi kebutuhan, bukan saja untuk konsumsi dapur tapi juga untuk kebutuhan industri. Antara lain untuk kebutuhan industri sabun dan detergen, kertas, kosmetik, pengemasan ikan, pengemasan daging, penyamakan kulit, pakan ternak, textil, makanan kecil kemasan dan obat-obatan. Produktivitas garam di Australia misalnya, mencapai 350 ton/Ha sedangkan Indonesia hanya mencapai 60 sampai 70 ton/Ha.
Masalah produksi garam di Indonesia, jelas Gerardy, ketergantungan kita pada cuaca 4 bulan. Selain itu, masalah peralatan dan teknik produksi masih tradisional. Banyak lahan potensial, tapi pantai yang tidak dioptimalkan, bahkan beralih fungsi, serta konflik lahan masih tinggi. Daerah-daerah potensial belum serius dijadikan keunggulan.

Menurut Dirut PT Garam (Persero), Achmad Budiono mengatakan, Provinsi NTT sangat potensial menjadi sentra garam nasional menuju Indonesia swasembada garam. Ada 15 kabupaten potensial pengembangan garam yakni, Sabu Raijua, Kupang, Ende, Timor Tengah Utara, Alor, Sumba Timur, Manggarai, Nagekeo, Rote Ndao, Sikka, Lembata, Belu dan Malaka. Ada 4 sentra produksi garam NTT yakni, Kabupaten Kupang, Malaka, Ende dan Nagekeo, karena potensi lahannya mencapai 80.000 Ha. Tahun 2018, PT Garam dalam pengembangan kawasan seluar 400 Ha di Desa Bipolo, Kabupaten Kupang.

Gubernur NTT, Viktor Laiskodat dalam sebuah wawancara dengan Media Gatra.com, mengatakan, “Saya akan memberi kemudahan bagi pengusaha yang benar-benar mau investasi garam di NTT. Ini berarti, memberi peluang produksi garam untuk seluruh kabupaten yang potensial garam, termasuk Kabupaten Lembata. Sementara riwayat produksi garam secara tradisional di Kabupaten Lembata telah ada  secara tradisional sejak dahulu di Desa Watodiri, Desa Lamatokan, Kecamatan Ileape dan Kecamatan Atadei.

Tahun 2002, Pemerintah Kabupaten Lembata melakukan survei potensi garam lokal, kemudian menetapkan Desa Tapobaran menjadi salah satu kawasan potensial yang dikembangkan, yang dimulai pada tahun 2004. Sedangkan panen perdana garam baru dilakukan di Tapobaran pada tahun 2004 oleh Bupati Lembata ketika itu, Drs. Andreas Duli Manuk. Garam Tapobaran menjadi garam beryodium Cap Pledang diluncurkan pada HUT ke-12 Otonomi Kabupaten Lembata pada Senin, 17 Oktober 2011 oleh Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur.  Panen perdana garam di Desa Tapobaran dilakukan pada Selasa, 6 September 2016 oleh Penjabat Bupati Lembata, Drs, Sinun Petrus Manuk. Sedangkan panen perdana garam di Desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan dilakukan oleh Bupati Lembata, Eliaser Yentji Sunur pada, 6 September 2018. Dimana produksi garam Lembata mencapai 30 ton/bulan. Sedangkan berdasarkan perhitungan Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lembata, kebutuhan garam dapur di Lembata adalah rata-rata 30,42 ton /bulan.

Gerardy Tukan juga menggambarkan potensi dasar di Kabupaten Lembata. Lembata memiliki garis pantai Pulau Lembata 300 Km dengan 10.492 Ha lahan potensil pengembangan industri garam. Ada 144 desa yang ada di Lembata terdapat 87 desa (60,42 %) di pesisir. Dominan kawasan di tepi pantai berupa lahan tidur. Musim kemarau cukup panjang sekitar 8 bulan, justeru sangat memungkinkan pengembangan industry garam. Dari aspek taransportasi baik, laut, darat dan udara relative lancer memungkinkan  mubilisasi orang dan barang, termasuk garam. Potensi lainnya, banyak angkatan kerja yang cenderung memilih pekerjaan alternative. Jaringan telekomunikasi juga lancer sampai ke desa karena adanya pembangunan Tower dimana-mana. Telah ada pengetahuan dan keterampilan warga beberapa tempat memproduksi garam secara tradisional.

Permasalahannnya, demikian Gerardy Tukan, bagaimana prospek pengembangan Industri Garam Menuju Lembata Swasembada dan Ekspor Garam? Jika berprospek, bagaimana strategi pencapaiannya? Karena itu, penelitian ini dilakukan, jelas Gerardy Tukan, untuk mengetahui prospek Pengembangan Industri Garam Lembata Menuju Lembata Swasembada dan Ekspor Garam. Menurut Gerardy, adapun manfaat hasil penelitian, yakni membantu menyediakan data bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Lembata untuk melakukan perencanaan teknis optimalisasi potensi kawasan pesisir Lembata untuk mengembangkan industri garam secara efisien, efektif dan berwawasan lingkungan.

Tersedianya dokumen dasar yang spesifikasi tentang potensi pesisir Pulau Lembata untuk pengembangan indutri garam.
Berdasarkan hasil kajian Tim Peneliti, ujar Gerardy, ada lahan potensial pada  sejumlah kecamatan. Antara lain di Daoneng, Hawu, Desa Watodiri, Kecamatan Ileape, Kawasan Pelabuhan Jeti di Desa Kolipadan, dan Kawakat Ehak. Lokasi Motong, Wureng, Desa Palilolon di Kecamatan Ileape. Desa Wailolon, Kecamatan Omesuri juga punya lahan garam yang cukup. Di Desa Waijarang, antara Pelabuhan Feri dan SD Inpres, Desa Bour di Kecamatan Nubatukan juga cukup memadai dan terjangkau transportasi jika produksi nanti. Sedangkan di Kecamatan Lebatukan terdapat di Desa Balurebong, tepatnya di Berawang, dan lokasi Wade, tepatnya Pantai Nio dan Wato Nobo.

Penelitian tersebut pun sampai pada kesimpulan, bahwa semua lokasi survei, jelas Gerady, berprofil terbuka, kecuali Kawasan Wuren di Desa Palilolon. Luas daratan potensian beraneka ragam ukuran. Total luas lahan pada 14 lokasi survei, sekitar 108 Ha dengan rata-rata 7,71 Ha. Sedangkan lahan paling luas terdapat di kawasan Tanjung Baja dan Wade. Vegetasi adalah rumput padang, menjadi satu faktor permukaan bidang penguapan yang membantu percepat penguapan (efek kelembapan rendah). Tanah permukaan rata-rata  adalah tanah humus, kecuali dikawasan Doone dan Hawu, Desa Watodiri, Kecamatan Ileape Timur,yang didominasi hamparan batu karang (menyumbang kenaikan suhu ruang).
Suhu ruang pada semua kawasan survey, rata-rata 38*C, serta suhu permukaan tanah pada pada pukul 10.00-15.00  Wita berkisat 45*C-49*C (suhu ideal minimal 32*C).  Sa;intas sampel air laut rata-rata 3,7% (salintas ideal 3,5%). Kecepatan angin yang terukur rata-rata sebesar 5 meter/detik (sesuai indistri garam skala besar).

Gerakan angin memindahkan uap air sehingga mempercepat penguapan. Kejernian air laut sampel terukur rata-rata 0,9 NTU dengan semua sampel jernih atau kekeruan rendah. Simpulan lainnya yang menonjol, sensifitas konflik lahan pada kawasan-kawasan yang disurvei, rata-rata rendah atau belum tampak ke permuklaan kecuali pada lokasi Doone dan Hawu di Desa Watodiri dan kawasan Wade. Rata-rata semua lokasi survei dekat dengan Jalan Raya dan Pelabuhan Laut, kecuali kawasan Tanjung Baja dan Wade. Masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi survei, dominasi hidup sebagai petani lahan kering. Masyarakat Desa Watodiri yang aktif produksi garam secara tradisional sampai saat ini.
Tim Peneliti sampai pada saran sebagai berikut. Pemmda Lembata patut mendorong, memotovasi, memfasilitasi dan mendampingi masyarakat desa pesisir yang kawasannya dikaji agar dioptimalkan untuk produksi garam dengan teknologi Geomembran, bila perlu membentuk BUMDES.  Pemda dorong dan fasilitasi masyarakat pemilik tanah atau lahan yang berstatus lahan milik pribadi, keluarga, hak adat yang potensial untuk produksi garam.  Masyarakat dididik memanfaatkan lahannya dan optimalkan potensi musim kemarau sebagai kesempatan berproduksi. Perlu ditinjau kembali Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Lembata tahun 2011-2031, terkhusus peruntukan dan pemanfaatan wilayah laut dan wilayah darat atau pesisir. Lahan-lahan obyek survei patut dimanfaatkan pada musim kemarau untuk bertani garam dan pada musim hujan untuk bertani padi dan jagung. Perlu riset dan pengembangan lebih lanjut agar lahan-lahan dapat bermanfaat ganda. Lahan-lahan dari obyek kajian yang berpotensi konflik, perlu diatur kemanannya agar bisa dioptimalkan untuk industri garam tanpa masalah.

Hasil penelitian ini telah menghasilkan sebuah dokumen ilmiah bagi Pemerintah Kabupaten Lembata dan bahkan sangat mungkin dimanfaatkan pihak lainnya, khususnya para investor agar mengembangkan produksi garam di kabupaten satu pulau ini. Bagi investor, tentu dapat memanfaatkan lahan yang lebih luas untuk berproduksi. Sedangkan bagi masyarakat juga terbuka peluang memanfaatkan lahan yang ada. Sekarang peluang emas ini jangan disia-siakan.

Tahun 2019, harus ada tekad dari Pemda dan masyarakat Lembata untuk memulai dengan mengalokasi anggaran yang memadai agar produksi garam makin tinggi memenuhi kebutuhan masyarakat setempat. Bahkan harapan swasembada dan ekspor garam Lembata dapat terwujud sesuai visi misi Pemda Lembata. (Karolus Kia Burin/Dinas Kominfo Lembata/Advetorial)