Ada Politisasi Agama Selama Pilkada DKI

by -184 views

JAKARTA – Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menerbitkan Ketentuan Ceramah di Rumah Ibadah Jumat pekan lalu. Ketentuan itu berupa seruan.

Dari sembilan butir ketentuan, empat di antaranya sangat penting dan relevan dengan situasi belakangan ini. Intinya ketentuan itu mengatur materi ceramah yang disampaikan di rumah ibadah tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, tidak mempertentangkan SARA, tidak bermuatan penghinaan terhadap keyakinan umat beragama, tidak mengandung provokasi, serta tidak bermuatan kampanye politik dan atau promosi bisnis.

Seruan ini bagus karena menyeru pada kebaikan untuk keutuhan bangsa dan negara. Akan lebih bagus sebetulnya bila seruan ini dikeluarkan semasa Pilkada DKI Jakarta. Kita menyaksikan sepanjang dua putaran Pilkada DKI, ceramah di rumah ibadah meriah dengan provokasi, kampanye politik, penghinaan terhadap keyakinan umat beragama, bahkan pelecehan terhadap pilar-pilar negara.

Seruan Menteri Agama itu justru menegaskan ada upaya menggoyahkan pilar-pilar negara. Aparat keamanan melihat gelagat kelompok Islam transnasional dengan ideologi khilafahnya sudah unjuk gigi baik secara terbuka maupun dengan menyusup ke dalam demo bergelombang di seputar Pilkada DKI tempo hari.

Seruan Menteri Agama itu juga menegaskan ada politisasi agama selama Pilkada DKI. Konsultan politik salah satu kandidat malah menyeru para penceramah agama untuk menyampaikan kampanye politik dalam ceramah mereka di rumah ibadah.

Sebelumnya, konsultan politik, kandidat, dan “tim hore-hore” enggan mengakui atau sekurang-kurangnya mendiamkan, bahkan menikmati, politisasi agama itu.
Seusai pilkada, setelah menang, mereka baru mengakui telah memolitisasi agama. Mereka bahkan menyebut lawannya yang mempertanyakan politisasi agama itu sebagai cengeng.

Tapi, sudahlah. Kita, katanya, harus move on, tak boleh cengeng. Kita berharap seruan Menteri Agama dipatuhi penceramah agama, pengelola rumah ibadah, dan masyarakat umat beragama di Indonesia.

Kepatuhan itu penting mengingat politisasi agama potensial terjadi di pilkada-pilkada berikutnya serta Pemilu Serentak 2019. Juga, kepatuhan itu penting karena Pilkada DKI dan hasilnya, menurut sejumlah analis, seperti memberi angin kepada kelompok-kelompok radikal.

Tanpa kepatuhan terancamlah keutuhan. Ini bukan fobia atau ketakutan, melainkan kenyataan yang terpampang nyata di hadapan mata. Namun, seruan tak punya kekuatan hukum. Dukungan elite agama menjadi penting. Kita mengapresiasi Majelis Ulama Indonesia yang mendukung seruan Menteri Agama. Dukungan akan lebih nyata bila MUI mengeluarkan fatwa atau pernyataan keagamaan.

Akan tetapi, kita hendak mengingatkan, meski berbentuk seruan, aparat hukum bisa menindak pelanggaran atasnya karena semua ketentuan dalam seruan tersebut sesungguhnya diatur dalam hukum dan perundang-undangan.

Aparat jangan ragu mengambil langkah hukum terhadap politisasi tempat ibadah dan segala upaya mengganti ideologi negara. Rakyat di belakang aparat. Ini negara hukum, bukan negara agama. (miol/jdz)

Foto : Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin