Pelesir Berdalih Studi Banding

by -131 views

TAHAPAN Pemilu 2019 mungkin baru dimulai Juni 2017 sesuai jadwal yang tertera dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu. Meski waktu yang tersisa kian mepet, sekitar empat bulan dari sekarang, pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu masih berjalan sangat alot.

Pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu sudah berjalan selama empat bulan sejak diajukan pemerintah pada Oktober 2016. Harus jujur diakui bahwa waktu pembahasannya sangat sempit. Bandingkan dengan regulasi yang mengatur penyelenggaraan Pemilu 2014 yang disusun sekitar dua tahun, yaitu dari 2010 hingga 2012. Padahal, tak ada perbedaan yang substansial antara Pemilu 2009 dan Pemilu 2014.

Waktu yang dibutuhkan untuk membahas RUU Penyelenggaraan Pemilu yang menjadi landasan yuridis pelaksanaan Pemilu 2019 kurang dari setahun karena ditargetkan selesai pada April. Padahal, substansi Pemilu 2019 sangat berbeda dengan Pemilu 2014. Perbedaan itu sebagai konsekuensi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatukan penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pemilu presiden pada 2019.

Mestinya Pansus Pemilu DPR bekerja jauh lebih giat dan tekun lagi agar pembahasan bisa selesai tepat waktu. Apalagi, masih terdapat sejumlah isu krusial dalam draf RUU Penyelenggaraan Pemilu yang terdiri atas 543 pasal tersebut.

Isu krusial itu antara lain terkait dengan sistem pemilu legislatif, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, alokasi kursi per daerah pemilihan, dan metode konversi suara ke kursi dalam pemilu legislatif. Terlihat 10 fraksi di DPR terbelah menyikapi sejumlah isu krusial tersebut. Mereka terbelah seperti air dan minyak akibat perbedaan kepentingan politik.

Harapan agar Pansus Pemilu DPR bekerja lebih giat dan tekun lagi tampaknya sia-sia belaka, sama seperti mengharapkan matahari terbenam di timur. Pansus Pemilu DPR lebih doyan melakukan studi banding ke luar negeri daripada menuntaskan pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Mereka akan melakukan studi banding ke Jerman dan Meksiko pada 11-16 Maret. Studi banding untuk mempelajari sistem pemilu, pemilu secara elektronik, dan peradilan khusus pemilu.

Studi banding ke luar negeri sepertinya ritual wajib. Pada 2008 Pansus RUU Pemilu Presiden DPR juga mengadakan studi banding ke Argentina. Ketika itu, 12 anggota pansus membawa serta istri atau suami selama sembilan hari. Akan tetapi, studi banding hanya dua hari. Waktu sisanya dipakai untuk wisata. Akankah itu terulang dalam kunjungan ke Jerman dan Meksiko?

Studi banding ke Jerman dan Meksiko tidak ada urgensi dan manfaatnya. Kepergian itu membuang-buang waktu saja. Tampaknya studi banding itu hanya bungkus, padahal maksud sesungguhnya untuk berwisata menggunakan uang negara.

Jika ingin belajar penerapan teknologi e-voting atau pemilu elektronik, Pansus Pemilu DPR tidak perlu pergi ke luar negeri. Bukankah teknologi e-voting sudah diterapkan dalam lebih dari 200 pemilihan kepala desa sejak 2013? Teknologi e-voting itu disiapkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Informasi terkait dengan pemilu di luar negeri juga bisa diakses dengan mengoptimalkan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.

Harus tegas dikatakan bahwa Pansus Pemilu DPR memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikan pembahasan tepat waktu dengan mutu yang tinggi. Pembahasan yang tidak bermutu bisa berujung pada gugatan ke MK. Gugatan itu hanya mengganggu persiapan Pemilu 2019 yang pada akhirnya menggerus kualitas pemilu.

Karena itu, sesuai kewenangan yang diatur Tata Tertib DPR, pimpinan dewan sebaiknya mencegah anggota pansus berdarmawisata ke Jerman dan Meksiko dengan dalih studi banding. Jika itu tetap dilakukan, terus terang, publik gagal paham dengan perilaku DPR yang ngotot studi banding padahal ingin pelesiran. (miol/jdz)

Ket Foto : Mendagri Tjahyo Kumolo bersama jajarannya saat pembahasan RUU Pemilu bersama Pansus Pemilu DPR RI.