Ada Kemunduran Demokrasi Dibalik Revisi UU Pilkada

by -140 views

JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada berjalan alot. Itu disebabkan sebagian fraksi mengedepankan kepentingan politik sesaat yang sesat pula. Disebut sesaat karena yang dipersoalkan ialah bagaimana mengakomodasi syarat anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak perlu mundur jika mengikuti pilkada. Itu artinya DPR meĀ¬revisi UU Pilkada untuk kepentingan diri sendiri.

Mestinya penyempurnaan persyaratan calon di dalam revisi UU bertujuan agar tercipta kepala daerah yang lebih berkualitas melalui pilkada. Pilkada seharusnya melahirkan kepala daerah yang memiliki kompetensi, integritas, dan kapabilitas, serta memenuhi unsur akseptabilitas. Bila fraksi-fraksi tetap ngotot dengan syarat anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak perlu mundur jika mengikuti pilkada, itu bukan hanya untuk kepentingan sesaat, melainkan juga sesat.

Sesat karena usul itu, selain berbeda dengan rumusan pemerintah, bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada September 2015 bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD harus mundur setelah ditetapkan menjadi calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah. Putusan MK itu harus dilaksanakan karena bersifat final dan mengikat. Putusan MK itu hanya untuk dijalankan, bukan untuk diperdebatkan. Jika putusan MK masih diakal-akali, itu namanya pembangkangan terhadap konstitusi.

Rakyat tak pernah respek terhadap siapa pun yang membangkang terhadap konstitusi. Karena itulah, harus tegas dikatakan bahwa anggota DPR sejatinya menjadi anutan untuk konsisten menjalankan seluruh putusan MK. Alih-alih menjadi anutan, fraksi-fraksi mencoba mengakali putusan MK dengan menyiapkan dua alternatif rumusan tentang persyaratan anggota DPR, DPD, dan DPRD yang mencalonkan diri dalam pilkada.

Pertama, persyaratan mereka tak perlu mundur tidak perlu ditulis secara eksplisit agar tak diuji kembali di MK. Alternatif kedua, melaksanakan putusan MK, tetapi fraksi-fraksi mengajukan syarat petahana juga harus mundur jika kembali maju di pilkada.

Fraksi-fraksi di DPR sebaiknya mengindahkan peringatan Presiden Joko Widodo di Jakarta, kemarin, agar revisi UU Pilkada memperhatikan putusan terdahulu yang sudah dibuat MK. Jangan sampai setelah disepakati bersama DPR dan pemerintah, UU itu dibatalkan lagi oleh MK. Revisi UU Pilkada mestinya berpijak pada hasil evaluasi Pilkada 2015 secara serentak. Salah satu kelemahannya ialah tersangka dibolehkan menjadi calon kepala daerah. Sayangnya, pemerintah dan DPR gagal bersepakat atas syarat tersangka tidak bisa mencalonkan diri itu.

Kesepakatan terakhir ialah tersangka boleh mencalonkan dan pencalonan sepenuhnya diserahkan kepada parpol. Alasannya, selain demi asas praduga tak bersalah, tidak mungkin parpol menyodorkan tersangka sebagai calon kepala daerah. Akan tetapi, faktanya lebih dari 20 calon kepala daerah pada Pilkada 2015 tersangkut kasus hukum.

Walhasil, klausul anggota dewan tak perlu mundur bila dicalonkan serta klausul tersangka boleh dicalonkan sesungguhnya menegaskan bahwa revisi UU Pilkada justru membuat demokrasi kita mundur. Yang juga penting, pengesahan revisi UU Pilkada tidak boleh berlama-lama karena hal itu sama saja dengan menyandera Pilkada 2017 secara serentak yang tahapannya harus sudah dimulai pada Juni 2016. (miol/jk)

Foto : Anggota KPU Pusat ketika menghadiri sidang tentang Revisi UU Pilkada.