Pelarian Modal dan Bebas Pajak Ala Anti Neolib

by -150 views

JAKARTA – Panama Papers membongkar siapa sesungguhnya kapitalis sejati, yang suka mengamankan uang dalam jumlah besar – jutaan dollar – di kawasan bebas pajak. Ternyata ada juga pengamat anti Neolib, yang suka tampil sederhana, tapi kekayaannya sekaliber konglomerat.

Wajah Indonesia belakangan ini memang tampak makin kacau. Para tokoh idola, yang seharusnya menjadi panutan ternyata malah sebaliknya. Caci-maki pun berhamburan, termasuk kepada Ichsanuddin Noorsy, yang selalu tampil sebagai pembela rakyat. Sama dengan petinggi negara yang namanya masuk dalam Panama papers yaitu ketua BPK Harry Azhar Azis, Noorsy juga membantah bahwa dirinya memiliki kekayaan demikian besar sehingga perlu disembunyikan di kawasan bebas pajak.

Noorsy menyatakan bahwa namanya masuk dalam Panama Papers karena sering melakukan investigasi sejalan dengan aktifitas akademik berkelas dunia. Salah satunya adalah investigasi terhadap dana BLBI. Sayangnya dia tak menyebut kapan dan bagaimana hasil investigasinya, berapa besar dan dari mana dana yang ia tempatkan di kawasan bebas pajak, dan atas nama lembaga apa dia melakukan investigasi. Yang pasti, yang masuk Panama Papers bukanlah uang receh bertaraf ‘hanya’ ratusan ribu dollar.

Di mata masayarakat, sebagaimana tampak jelas di media sosial dan komentar di media online, bantahan tersebut dianggap sebagai kebohongan untuk menutupi kebohongan sebelumnya. Mantan Menkeu Sri Mulyani dan mantan Wapres Boediono, yang pernah diserang habis-habisan oleh Ichsanuddin Noorsy dkk sebagai agen Neolib tentu senang bukan kepalang. Maklumlah, Panama Papers menunjukkan siapa kapitalis tulen sesungguhnya, dan siapa pula yang munafik.

Masyarakat sekarang ini tentu berharap, para petinggi yang namanya masuk dalam Panama Papers meniru Perdana Menteri Islandia Sigmundur David Gunnlaugsson. Untuk membuktikan tanggung jawab sebagai pemimpin, dia mengundurkan diri setelah nama masuk dalam Panama Papers. Sebuah sikap yang sering dilakukan oleh para pemimpin di Eropa dan Jepang ketika menyadari bahwa kesalahannya terlalu sulit dimaafkan oleh masyarakat.

Kini setidaknya ada satu nama menteri, yaitu Menteri BUMN Rini Mariani Suwandi (sekarang Soemarno), masuk dalam Panama Papers. Seiring dengan wacana perombakan kabinet, masyarakat akan menyaksikan apakah Rini akan meniru langkah Gunnlaugsson, atau tetap berada di posisi semula.

Tapi budaya politik Indonesia bukanlah Jepang atau Eropa. Dalam budaya Indonesia, kalau tertangkap basah, para pejahat seperti koruptor dan sebagainya biasanya akan langsung mencari kambing hitam. Kalau sudah terjepit, dia membongkar sendiri komplotannya agar masuk penjara bersama. Di masa reformasi ini, mereka juga tak segan menggunakan kedok agama untuk menutupi kejahatannya.

Ingat Mohamad Sanusi dari fraksi Gerindra di DPRD DKI, yang kini ‘indekos’ di tahanan KPK. Sebelum dicokok KPK, dia berjanji akan menerapkan syariat Islam di Jakarta. Sanusi tentu saja hanya bagian dari trend di dunia politik, yang sangat korup, dimana para politisi gemar menonjolkan sisi keagamaan dengan mengutip ayat-ayat suci ketika berbicara. Mereka bersikap seolah patuh total pada kehendak Tuhan dan hanya bekerja untuk rakyat.

Tak kalah penting adalah kenyataan bahwa konspirasi para koruptor di arena politik bersifat lintas Parpol. Maka, keunggulan mereka dalam persaingan sangat tergantung pada kepiawaian dalam pencitraan. Dan rakyat pun sekadar obyek politik yang hanya menikmati uang receh ketika diperlukan!. (indrev/jdz)

Foto : Ichsanuddin Noorsy