Saat ini Kota Kupang sedang bicara tentang arah. Tentang mimpi-mimpi yang mulai dirancang kembali dari jalan-jalan protokol yang lebih bersih, dari kantor-kantor pemerintahan yang lebih tertib, dan dari suara rakyat kecil yang mulai didengar kembali. Sampah telah jadi solusi, birokrasi menjadi pelayanan, dari keraguan menuju harapan; dalam spirit Memerintah adalah Melayani.
TEPAT 100 hari sejak dilantik, pasangan Walikota dr. Christian Widodo dan Wakil Walikota Serena Francis tak membiarkan waktu berjalan tanpa makna. Mereka memilih untuk turun langsung ke medan, menyentuh nadi permasalahan kota yang selama ini terasa denyutnya: sampah, birokrasi yang rumit, keterbatasan layanan kesehatan, dan UMKM yang tertinggal.
Walikota dr Christian mengatakan, meskipun dalam perjuangan yang penuh tantangan, sebagian ‘janji-janji besar’ kampanye dapat diwujudkan dalam 100 hari kerja. Setidaknya sudah 30 persen capaiannya.
“Kami bukan dewa. Tapi setidaknya jalan utama kota ini tidak boleh bau dan kotor,” ujar dr. Chris dengan nada realistis, namun penuh determinasi.
Pernyataan itu bukan sekadar janji politik. Selama 100 hari pertama, Pemkot Kupang menata ulang paradigma penanganan sampah. Tak lagi hanya bergantung pada TPA Alak yang sudah kewalahan, mereka mulai membangun sistem “waste house” di enam kecamatan; sebuah pendekatan desentralisasi yang memungkinkan pemilahan dan pengolahan sampah lebih dekat ke sumbernya.
Bahkan Christian-Serena sudah membuat raodmap tentang sampah. “Dalam roadmap ini, sampah tidak dibuang secara utuh ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA) di Alak. Sampah diolah mulai dari rumah tangga, diolah dengan seleksi mulai dari rumah tangga ke Bank Sampah dan hanya sebagian kecil yang akan dibuang ke TPA,” katanya.
Menurut dia, dengan Roadmap Sampah ini, untuk pertama kalinya Kota Kupang akan memiliki sistem pengolahan sampah terpadu. Dan, untuk mendukung Roadmap sampah ini, sudah tersedia 921 tempat sampah di 1.347 RT yang ada di Kota Kupang. Selain itu, sebanyak 50 truk sampah sudah dipasang GPS.
“Kami juga sudah anggarkan Rp1.729.000.000 untuk insentif tenaga kebersihan dan lembur yang akan diserahkan pada akhir pekan,” sebut dr Christian.
Sampah organik kini tak lagi langsung jadi beban lingkungan. Ia diubah menjadi kompos, menyuburkan tanah kota yang keras. Sampah anorganik? Didaur ulang jadi bata dan bahan bangunan. Bahkan, Wali Kota mewacanakan produk ini untuk membangun fasilitas publik. Simbol bahwa yang selama ini dibuang, kini bisa membangun kembali.
Birokrasi yang Melayani
Birokrasi adalah urat nadi pemerintahan. Namun bagi banyak warga Kupang, birokrasi selama ini terasa lebih seperti labirin tanpa pintu keluar. Maka dr. Chris dan Serena tahu, bahwa sebelum membenahi kota, mereka harus membenahi tubuh internal pemerintahannya.
Puluhan jabatan kosong diisi kembali. Tapi bukan atas dasar “siapa yang dekat dengan kekuasaan”, melainkan siapa yang paling siap bekerja. Dengan tegas, Walikota menyatakan, “Yang dipilih bukan karena jasa politik, tapi karena kemampuan.”
Wakil Wali Kota Serena Francis pun menegaskan pentingnya kesatuan komando di antara para ASN. Pemerintahan harus menjadi mesin yang gesit, bukan yang lamban dan tumpul. Efisiensi juga dilakukan, termasuk dengan mengurangi pengawalan berlebihan dan mengalihkan anggaran ke kebutuhan pelayanan publik.
Tak bisa bicara kemajuan tanpa bicara perut rakyat kecil. Dalam 100 hari ini, fokus terhadap penguatan UMKM menjadi salah satu napas utama program kerja Christian-Serena.
Pemkot Kupang mengaktifkan kembali pelatihan-pelatihan keterampilan, membuka akses pembiayaan usaha kecil, dan lebih jauh lagi menghidupkan ruang-ruang publik sebagai etalase UMKM lokal. Salah satu yang sedang jadi primadona adalah SABOAK; Sunday Market Bagi Orang Kupang.
Tapi, seperti diungkapkan dr. Chris, mereka memilih tidak membuat program besar-besaran yang sulit dikendalikan. Sebaliknya, mereka membatasi jumlah program, namun memastikan setiap langkah punya dampak nyata.
Kupang Yang Sehat dan Tangguh
Dalam urusan kesehatan, pasangan Chris-Serena memulai gebrakan kecil yang memberi harapan besar. Diluncurkanlah Dana Gawat Darurat sebesar Rp3 miliar untuk warga yang jatuh sakit mendadak tanpa KTP Kupang atau BPJS aktif. Tak ada lagi pasien yang ditolak rumah sakit hanya karena masalah administratif.
Inovasi lain adalah SIRANAP; sistem digital real-time yang memungkinkan warga mengetahui ketersediaan kamar di RSUD SK Lerik. Transparansi dan efisiensi menjadi dua kata kunci yang kini mulai hidup di rumah sakit pemerintah ini.
Di sisi hulu, mereka menggencarkan pemberian makanan tambahan bagi balita dan ibu hamil di kawasan stunting tinggi. Hasilnya tak main-main; angka stunting di Kupang turun dari 18,8% menjadi 16,3% hanya dalam tiga bulan pertama.
***
Mungkin belum semua berubah. Tapi yang terasa kini adalah arah yang lebih jelas. Kota Kupang yang selama ini hanya dikenal sebagai “kota angin dan panas”, kini punya wajah baru: wajah pelayanan publik yang ramah, birokrasi yang jujur, ekonomi rakyat yang diberi panggung, dan lingkungan yang mulai dijaga.
Warga Kota Kupang, seperti penjual kue keliling, merasakan langsung dampaknya. “Sekarang taman lebih bersih, dan kami boleh jualan di pinggir taman kalau jaga kebersihan. Dulu diusir,” katanya lirih tapi puas.
Walikota Chris pun tahu, ini baru permulaan. Dalam satu kesempatan wawancara, ia berkata, “Saya hanya ingin dikenang sebagai orang yang pernah berbuat sungguh-sungguh untuk kota ini, bukan sekadar menjabat”.
100 hari memang bukan waktu untuk menyelesaikan semuanya. Namun cukup untuk menunjukkan niat, arah, dan etos kerja. Kupang kini sedang melangkah. Perlahan, tapi pasti. Dengan para pemimpin baru yang tak sempurna, namun berani bekerja nyata, warga kembali memiliki harapan untuk memperjuangkan kotanya.
Kota Kupang tak lagi sekadar tempat tinggal. Ia sedang tumbuh menjadi tempat untuk percaya. (jdz)