Maumere, mediantt.com – Suasana kegiatan belajar mengajar di SMAN 1 Maumere, Jumat (25/8) pagi, sempat panas. Pasalnya salah satu orang tua murid mengamok di sekolah itu, gara-gara tidak terima anaknya yang berjilbab dituding melanggar aturan disipilin berseragam.
Akibatnya terjadi perdebatan yang cukup tajam antara Nasir Thamrin, sang orang tua tersebut dengan pihak sekolah. Ketegangan itu tidak berlangsung lama, setelah para pihak menyepakati akan mendiskusikan lebih lanjut pada pertemuan dengan beberapa pihak terkait disiplin berseragam di sekolah itu. Sebelumnya sekolah sudah merencanakan pertemuan itu pada Senin (28/8) mendatang.
Persoalan ini berawal dari kebijakan sekolah yang pada sehari sebelumnya merazia kurang lebih 100 siswi yang disinyalir melanggar disiplin seragam sekolah. Salah satu yang terkena razia adalah Fatima Azzahra, siswi kelas X. Siswi ini biasa mengenakan jilbab dengan rok sampai ke mata kaki. Namun oleh sekolah, hal itu dianggap melanggar Tata Tertib dan Buku Penghubung Sekolah yang mengatur panjang rok 5 centimeter di bawah lutut.
Kepala SMAN 1 Maumere Jonas Teta yang dihubungi di sekolah itu, Jumat (25/8), menjelaskan, sekolah menerapkan disiplin berseragam sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 45 Tahun 2014 tentang pakaian searagam sekolah bagi peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah. Referensi Permendikbud ini kemudian dijabarkan pada Tatib Sekolah.
Permendikbud 45/2014 mengatur antara lain pakaian seragam peserta didik putra, pakaian seragam peserta didik putri, dan pakaian seragam sekolah khas muslimah. Khusus untuk pakaian seragam peserta didik putri, ada dua opsi yakni panjang rok 5 centimeter di bawah lutut atau panjang rok sampai mata kaki. Dari dua opsi ini sekolah memilih opsi pertama yaitu panjang rok 5 centimeter di bawah lutut.
Sementara menyangkut pakaian seragam sekolah khas muslimah, jelas Jonas Teta, pihak sekolah sulit menarik kesimpulan. Hemat dia penulisan nomenklatur tanpa tanda baca koma, bisa melahirkan berbagai definisi.
“Di Permendikbud ditulis pakaian seragam sekolah khas muslimah. Tidak ada tanda koma, ini yang menyebabkan beda penafsiran. Kalau penempatan tanda koma setelah kata seragam, berarti hanya sekolah-sekolah khusus dengan ciri khas tertentu. Sementara ini kan sekolah umum. Jadi kami menjabarkan dalam tata tertib hanya poin 1 dan 2 saja yang lebih netral,” jelas Jonas Teta.
Menyadari adanya beda penafsiran ini, Jonas Teta bersurat kepada berbagai pihak untuk mendiskusikan lebih lanjut terkait pakaian seragam sekolah khas muslimah. Rencananya diskusi itu melibatkan Kesbangpol Sikka, Kasat Binmas Polres Sikka, Komisi Pendidian DPRD Sikka, Komisi Pendidikan Kabupaten Sikka, Kepala UPT, Koordinator Pengawas, serta Ketua Komite.
Dia menjelaskan pertemuan tersebut dimaksudkan untuk merevisi tata tertib sekolah. Namun sebelum pertemuan tersebut dilaksanakan, orang tua siswi sudah melakukan protes atas kebijakan sekolah yang melarang siswi berjilbab mengenakan rok panjang sampai ke mata kaki.
Nasir yang dihubungi di rumahnya di Kompleks Masjid Al-Anshar Kelurahan Kota Uneng menyesalkan kebijakan sekolah yang menerapkan disiplin berseragam sekolah yang keliru kepada siswi yang berjilbab. Hemat dia, seragam sekolah khusus muslimah sudah diatur secara nasional melalui Permendikbud 45/2014. Dia pun menunjukan contoh-contoh bentuk seragam sekolah sebagaimana diatur oleh Permendikbud tersebut.
Menurut dia, tata tertib sekolah telah menjabarkan hal yang keliru. Karena itu, dia sangat sependapat agar tatib sekolah tersebut segera direvisi sehingga tidak melahirkan perdebatan akibat perbedaan persepsi. (vicky da gomez)
Ket Foto: Nasir Thamrin, salah satu orang tua siswi SMAN 1 Maumere memprotes kebijakan sekolah terkait disiplin seragam sekolah, Jumat (25/8).