KUPANG – “Setiap pelaku pengadaan barang dan jasa rentan dihadapkan dengan berbagai risiko, disebabkan oleh berbagai ketidakpastian. Bahkan ada anekdot yang menyebut bahwa satu kaki mereka ada di penjara, satunya lagi ada di neraka”.
Dalam materinya, Yanes G.Panie,S.STP,M.Pub.Pol menyebutkan mitigasi, memindahkan, menghindari dan menerima, sebagai beberapa strategi untuk menghadapi risiko. Empat strategi penanganan risiko tersebut dijelaskannya dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penanganan Masalah Pengadaan Barang dan Jasa, di Hotel Neo Kupang, Kamis (21/11).
Kegiatan yang berlangsung dua hari itu diselenggarakan Biro Pengadaan Barang dan Jasa NTT. Pelaksanaannya digandeng dengan Bimtek Penyusunan Daftar Hitam, pada Jumat (22/11).
Turut membawakan materi, Frans Budiman Johannes,S.Sos,M.Si dengan topik langkah-langkah kontrak di akhir tahun. Akan ikut berbicara sebagai narasumber pada hari ke dua, Suton Suangkupon Lubis, Direktur Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi Pengadaan dari LKPP RI.
Di hadapan lima puluh orang peserta, disebutkan bahwa tidak semua risiko bersifat negatif. Jika bisa dikelola dengan baik, berbagai risiko yang ditimbulkan justru dapat membawa keuntungan.
Menganalogikan sebuah rumah, ahli kontrak itu menyebut bahwa pemahaman terhadap Peraturan Presiden tentang pengadaan baru sebatas sebuah pintu masuk. Belum berbicara tentang jendela, struktur, atap dan bagian bangunan lainnya.
“Untuk memahami berbagai permasalahan pengadaan, tidak cukup dengan mempelajari Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 dan ketentuan turunannya saja. Kita juga harus memahami beberapa ilmu dasar, seperti rantai pasok (supply chain management) dan manajemen risiko,” kata Yanes.
Peserta Bimtek nampak bersemangat dalam sesi diskusi. Hampir seluruh yang hadir mengacungkan tangan untuk bertanya dan berbagi.
Intan,SE,MM, salah-satu peserta diantaranya dengan lugas menyebutkan kekhawatirannya. Secara teknis, menurutnya, aturan keuangan dan barang jasa berbeda. Hal tersebut cukup menyulitkan mereka. Menurut ASN Dinas Koperasi dan Ketenagakerjaan NTT itu, risiko dan beban kerja pengelola sangat tinggi, sementara honornya tidak seberapa dan tidak ada perlindungan hukum. Ia kahwatir orang tidak mau lagi ditunjuk menjadi pengelola.
Sementara itu, Stevani dari Dinas Kearsipan dan Perpustakaan NTT mempertanyakan bedanya pemahaman dan perlakuan aparat penegak hukum. Walau dimungkinkan adanya pengembalian keuangan, tetapi dalam prakteknya sering dilihat sebagai perbuatan pidana. (*/jk)