Pluralisme dan Jurnalisme Damai dalam ber-Media Sosial

oleh -26 Dilihat

Oleh Wilson Boimau

(Staf Biro Humas Setda Prov. NTT)

“GIVE peace a chance”; berikanlah kesempatan bagi perdamaian. Sebuah slogan yang amat dibutuhkan masyarakat Indonesia hari-hari ini ketika kebhinekaan bangsa terancam. Kesempatan perdamaian ternyata menjadi kerinduan banyak orang diberbagai sudut bumi. 

Perdamaian dalam konteks budaya menjadi penting, mengingat memiliki sejumlah nilai keyakinan; tradisi, perilaku, harkat manusia dan pola hidup yang berbasis prinsip-prinsip toleransi. Semua organisasi agama pasti menolak keras berbagai bentuk kekerasan yang yang berakibat terjadinya perpecahan dikalangan masyarakat. Sangat dibutuhkan adanya pemahaman baru tentang kedamaian berbasis kerjasama dan kebersamaan kolektiv.

Seringkali perdamaian mencuat di permukaan saat muncul kekerasan sebagai bagian dari adanya gejala sosial. Sehingga sensibilitas berbagai bentuk kekerasan adalah persyaratan utama dalam diskursus mengenai kekerasan serta upaya mengatasinya. “Segitiga Kekersan” yang diungkapkan Johan Galtung (1998), yaitu kekerasan langsung, struktural dan kultural; cukup membantu untuk membedakan benruk-bentuk kekerasan. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar manusia tetapi tak ada pelaku langsung yabg bisa dimintakan pertanggungjawabannya. Sementara kekersan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural maupun terhadap kekerasan langsung secara budaya. Dengan demikian penyebab kekerasan tidak lagi dilihat sepihak dari satu dimensi saja tetapi dari berbagai keterkaitan, baik langsung maupun tidak langsung dengan sejumlah penyebabnya.

Kekerasan memang tidak berbeda jauh dengan istilah konflik yang  akhir-akhir ini menjadi gejala sosial yang sering mengemuka di masyarakat. Penanganannya membutuhkan perhatian serius dari berbagai kalangan terutama peran media massa sebagai sarana atau media yang dapat mempersatukan dan menciptakan kedamaian.

Untuk itu, dibutuhkan adanya peran pers yang sering disebut sebagai katalisator dalam perubahan sosial. Sebab difusi inovasi media massa mampu memanusiakan masyarakat, meningkatkan kecerdasan masyarakat dengan menerima hal-hal baru, membantu tercapainya pengambilan keputusan yang demokratis serta menghambat perilaku menyimpang oleh masyarakat.

Sebagai contoh satu strategi pers atau jurnalistik damai yang dilakukan bersama Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) di Makasar dan Palu melalui workshop untuk membekali para wartawan tentang pengetahuan liputan yang mendukung semangat rujuk dan perdamaian bagi konflik Poso, telah berhasil dengan baik. Melalui workshop itu para wartawan diajak memilih dan membuat liputan berita yang lunak, tidak mempertajam konflik dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyejukan. Dan pada akhirbya wartawan diterima dengan baik di daerah konflik.

Pers memang sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah pilar eksekutif, legislatif dan yudikatif. Pers juga dikenal sebagai pembentuk opini publik dan bisa juga menjadi sarana dalam mempertajam perbedaan. Dalam konteks sebuah negara pluralisfik, dibutuhkan adanya karya jurnalistik yang bermutu sehingga dapat menjaga kolektivisme masyarakat. Dibutuhkan adanya pers bermutu, artinya pers yang mematuhi prinsip-prinsip teori, hukum, norma maupun etika dengan menyajikan pemberitaan yang menyejukan hati dan pikiran pembaca, karena sarat dengan referensi humanisme dan ungkapan-ungkapan bernuansa kedamaian. Itulah yang biasa disebut dengan “Jurnalisme Perdamaian” (peace jurnalism).

Kebhinekaan Indonesia dengan subkulturdan mikrokultur yang begitu banyak ragamnya, mau tidak mau ditentukan sebagai bagian dari suatu entitas sosial dari budaya dominan. Meskipun pada hakekatnya subkultur dan mikrokultur mempunyai keunikan dan karakter khas dengan berbgai kebiasaan, adat istiadat dan pemahaman lokal serta nilai-nilai sosial yang selalu berbeda dengan budaya dominan. Ini berarti bahwa sistem komunikasi sosial, politik dan budaya, menuntut fungsi dan peranan pers di Indomesia harus mengedepankan pola variatif dan dikerjakan  secara sistematis agar faktor perbedaan bukan menjadi hambatan tetapi menjadi kekuatan.

Pada satu sisi, kita perlu mengakui memang terdapat pengaruh dan dampak media massa terhadap perilaku sosial. Namun pada sisi lain, media massa dalam menjalankan fungsinya menyalurkan berbagai keinginan dan pikiran masyarakat. Media massa menyampaikan pesan pembangunan dan melaksanakan kontrol sosial.

Budaya dan Siberspasial

Perkembangan media massa sekaligus seiring dengan kemajuan teknologi media baru digital atau teknologi komunikasi telah membuat Indonesia menjadi bagian dari “desa global”. Konsekuensi logis dari kemajuan komunikasi itu, Indonesia harus mempersiapkan diri terutama terkait sumberdaya manusia dengan literasi media untuk semua kalangan. Mengingat, globalisasi menjadi bagian penting dari masa depan manusia maka masa depan Indonesia, langsung atau tidak langsung akan dipengaruhi oleh globalisasi. Globalisasi merupakan kawasan luas, terutama kawasan siber yang perlu diikuti secara intensif.

Sebagai bukti, teknologi komunikasi telah menghibungkan kita dari berbagai kawasan di dunia. Komputer dan satelit telah menjadi perangkat yang tiada tara cepatnya. Satelit internasional seperti Intetsal, Intersputnik, Inmarsat dan beberapa yang dimiliki negara Eropa, seperti Eutelsat dan untuk negara-negara di Arab dengan Arabsat serta satelit Palapa yang dimiliki Indonesia, semakin memperpendek jarak dan memcu kontak-kontak global.

Perkembangan tersebut diyakini banyak orang memiliki potensi kuat untuk mempengaruhi secara drastis terhadap sistem sosial-budaya masyarakat, termasuk didalamnya pila dan cara manusia berkomunikasi. Pengaruh kecenderungan mefia tersebut terutama meningkatkan jumlah dan jenis luas cakupan, kecepatan edar dan daya penetrasi informasi yang kian tinggi, baik pada tataran komunikasi intra-nasional maupun yang berskala internsional. Percepatan arus informasi global itu diharapkan sejaln dengan kemauan dan kemampuan manusia untuk hidup berbagi pengalaman (share of experience), berbagi ilmu pengetahuan dan kebijakan untuk meningkatkan kualitas dan martabat hidup manusia. Dan dengan percepatan iti dihatalkan adanya saling pengertian antar manusia, antar k.elompk, komunitas dalam negara bangsa yang menjunjun tinggi persatuan dan kesatuan.

Fenomena kecenderungan media baru dalam aras global, membuat tempo edar informasi semakin kian pendek dan cakjpannya semakin luas, sehingga suatu peristiwa di suatu tempat yang jauh akan dapat diikuti secara bersmaan oleh ratusan juta manusia di dunia.Inilah untuk pertama kali dalam sejarah peradaban manusia, arus kebufayaan Timur dan Barat bertemu dalam konstelasi perafaban global. Inilah media mutakhir internet yang telah menghubungkan dunia menjadi sebuah “desa global” dan cyberspace.

Indonesia telah menjadi salah satu negara yang mengalami serangan siber cukup besar. Salah satu penyebabnya adanya jumlah pengguna internet mencapai 139 juta orang dan yang menggunakan aplikasi media sosial berjumlah 79 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia 259 juta jiwa. Fenomena perang siber (Cyber War) berpeluang terjadi di Indonesia. Seiring dengan maraknya media di dunka maya, pemerintah telab membentuk Badan Sabdi Siber Nasional (BSSN) guna mengawasi adanya konten media yang menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian yang dapat menyulut perpecahan di kalangan masyarakat. Akhirnya kepada publik, seiring dengan kemajuan informasi dan teknogi dirasa perlu adannya pemahaman literasi media dalam memanfaatkan aplikasi media sosial dalam bermedia sosial. (*)