JAKARTA – Ada banyak pertaruhan dalam Rancangan Undang- Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) yang kini sudah masuk masa – masa akhir pembahasan di parlemen. Yang paling sepele, RUU Pemilu menjadi pertaruhan bagi kinerja DPR. Artinya, kita bisa meraba kualitas para wakil rakyat dari berhasil atau tidaknya mereka menyelesaikan
pembahasan RUU Pemilu sebelum rencana tahapan Pemilu 2019 dimulai pada Juni 2017 ini.
Setingkat lebih tinggi, RUU Pemilu ialah pertaruhan bagi kualitas dan kepastian hukum Pemilu 2019. Ini bukan hanya soal waktu pembahasan yang molor yang pada gilirannya membebani kerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu karena mesti ngebut beradaptasi dengan aturan main baru. Ini juga soal kualitas regulasi yang dihasilkan dari proses yang meskipun terlihat bertele-tele, sebetulnya hanya ramai di menit-menit akhir.
Soal bertele-tele, kita pun amat miris mendengar bahwa, kemarin, Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu lagi-lagi batal memutuskan lima isu krusial yang belum disepakati. Sebelumnya, perdebatan yang alot telah memaksa pemecahan lima isu krusial tersebut harus diputuskan lewat mekanisme lobi. Akan tetapi, pengambilan keputusan akhirnya ditunda karena per wakilan pemerintah tidak hadir.
Karena itu, untuk saat ini, kita mendesak agar tarik ulur isu strategis seperti ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan presiden, sistem pemilu, alokasi kursi per daerah pemilihan, dan metode konversi suara itu bisa cepat diputuskan. Bagaimanapun, DPR dan pemerintah harus segera merampungkan UU tersebut supaya tak menghambat tahapan pemilu yang sudah di depan mata.
Dalam perspektif yang lebih luas, RUU Pemilu kali ini ialah pertaruhan bagi kualitas demokrasi Indonesia secara umum. Pertaruhan apakah pada 2019, dengan berbekal UU Pemilu yang dihasilkan tahun ini, bangsa Indonesia sudah dapat melakukan konsolidasi demokrasi, atau tetap berada di masa transisi demokrasi, atau malah mengalami kemunduran demokrasi.
Sejatinya demokrasi tak elok dijaga dengan aturan yang di dalamnya sarat dengan pertarungan berbagai kepentingan jangka pendek dari pemerintah ataupun partai politik. Kepentingan-kepentingan itulah yang menyebabkan UU Pemilu yang dihasilkan selama ini tak pernah bernuansa jangka panjang. Akibat ketiadaan visi tersebut, UU Pemilu hampir selalu direvisi setiap menjelang pelaksanaan pemilu. Selalu ada saja yang kurang, selalu ada tambal sulam dengan berbagai pertimbangan dan pijakan kepentingan.
Kekuatan kepentingan kelompok itu juga yang menurut sejumlah kalangan diduga telah menjauhkan UU Pemilu dari penegakan hukum pemilu yang kuat dan detail. Itu bisa dilihat dari pembahasan RUU Pemilu saat ini, di tengah perdebatan soal beberapa isu krusial yang kini jadi ganjalan, pemerintah dan DPR malah lupa membahas, misalnya penegakan hukum pada pelanggaran pe milu, penegakan dalam pelanggaran pencalonan, atau sengketa pencalonan termasuk soal anggaran.
Namun, kita tahu waktu sudah habis. Sekali lagi yang harus dituntut sekarang ialah DPR dan pemerintah segera menyelesaikan RUU Pemilu yang sudah ada. Dengan segala keterbatasan yang ada, publik masih menaruh harapan UU Pemilu yang baru nanti dapat menjadikan pemilu serentak 2019 lebih berkualitas sehingga mampu menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang juga berkualitas. (miol/jdz)
Ket Foto : Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy didampingi Ahmad Riza Patria saat pembahasan RUU Pemilu di gedung DPR.