Panas Bumi di Flores: Energi Masa Depan atau Ancaman Lingkungan?

oleh -449 Dilihat

Gubernur Melki Laka Lena

Pembangunan tidak boleh jalan sendiri tanpa mendengar masyarakat. Tidak ada proyek yang lebih penting dari kepercayaan rakyat. Pemerintah berpihak pada suara warga. Kita harus jaga Flores dari konflik horizontal. Dialog adalah kunci.

PULAU indah di timur Indonesia ini kembali menjadi sorotan. Bukan soal pariwisata, tapi tentang potensi panas bumi atau geotermal yang disebut-sebut bisa menerangi masa depan energi nasional. Namun di balik peluang besar itu, muncul suara-suara protes dari masyarakat adat, aktivis lingkungan, bahkan tokoh Gereja. Kenapa?

Gubernur NTT Emanuel Melkiades Laka Lena pun turun tangan langsung. Ia menegaskan komitmennya untuk mendengar suara rakyat, memfasilitasi dialog, dan menjamin bahwa pembangunan tidak boleh mengorbankan masyarakat lokal.

Sejak ditetapkan sebagai “Pulau Panas Bumi” oleh Kementerian ESDM pada tahun 2017, Flores menyimpan cadangan geotermal yang luar biasa. Potensinya diperkirakan mencapai lebih dari 800 MW; cukup untuk mengaliri seluruh rumah tangga di NTT, bahkan sebagian wilayah lain di Indonesia.

Beberapa proyek sudah berjalan, seperti PLTP Ulumbu di Manggarai dan PLTP Mataloko di Ngada. Tapi jumlahnya masih kecil dibanding potensi yang ada. Pemerintah pusat terus mendorong eksplorasi di beberapa titik baru, termasuk Wae Sano dan Poco Leok.

Proyek-proyek ini disambut baik oleh sebagian kalangan. Sebab energi panas bumi dianggap sebagai jawaban atas krisis energi dan solusi ramah lingkungan. Selain efisien, geotermal tidak bergantung pada cuaca seperti tenaga surya atau angin. Bahkan ada harapan Flores bisa menjadi simbol transisi energi hijau Indonesia.

Namun di balik euforia itu, muncul suara-suara penolakan. Di berbagai titik eksplorasi, masyarakat adat menyuarakan kekhawatiran mereka.

“Pengeboran geotermal bisa merusak sumber air, lahan pertanian, bahkan situs adat kami,” kata Kraeng Yosef, tokoh adat dari Wae Sano. Ia bukan satu-satunya. Enam Uskup Katolik dari Keuskupan Regio Nusa Tenggara dan Bali pun meminta proyek geotermal dihentikan sementara sampai dialog terbuka benar-benar dilakukan. Artinya Gereja menolak geotermal.

Menurut laporan berbagai lembaga lingkungan, geotermal bukan tanpa dampak. Selain risiko pencemaran air dan udara, ada potensi gangguan kesehatan dan efek terhadap aktivitas gempa di sekitar pengeboran.

“Banyak proyek geotermal gagal karena pendekatannya terlalu teknokratis, tanpa memikirkan realitas sosial-budaya masyarakat,” kata seorang aktivis WALHI.

Di Mataloko, warga mengaku mengalami gangguan pernapasan dan kerusakan rumah sejak pengeboran dimulai. Di Poco Leok, sebagian warga mengungsi karena trauma akan dampak pengeboran sebelumnya.

Aspirasi Rakyat Adalah Prioritas

Menghadapi pro kontra ini, Gubernur NTT Melki Laka Lena mengambil langkah berani. Ia membentuk tim khusus untuk menelaah setiap persoalan teknis dan sosial yang muncul di lapangan.

“Yang baik kita lanjutkan, yang bermasalah kita perbaiki, yang tidak layak kita tutup,” tegas Melki dalam rapat koordinasi bersama bupati, gereja, dan lembaga adat, Juli lalu.

Melki juga menegaskan bahwa pembangunan tidak boleh jalan sendiri tanpa mendengar masyarakat. “Tidak ada proyek yang lebih penting dari kepercayaan rakyat. Pemerintah harus berpihak pada suara warga,” ujarnya.

Dia pun mengungkapkan keprihatinannya soal adanya “pemain misterius” yang mempolitisasi isu geotermal untuk kepentingan tertentu. “Kita harus jaga Flores dari konflik horizontal. Dialog adalah kunci,” tegas Melki Laka Lena.

Panas bumi memang bisa menjadi solusi masa depan. Tapi jika tidak dikelola dengan bijak dan inklusif, ia bisa berubah menjadi sumber konflik dan penderitaan.

Pemerintah NTT di bawah kepemimpinan Melki Laka Lena dan Johni Asadoma, berjanji untuk mengutamakan transparansi, keadilan, dan keterlibatan warga. Artinya, energi bersih tak boleh datang dengan mengorbankan harmoni sosial.

Waktunya membuktikan bahwa pembangunan bisa berjalan dengan kepala dingin dan hati nurani. (jdz)