Mengenang Satu Abad Kelahiran Herman Yoseph Fernandez: CAHAYA DARI TIMUR YANG TAK PADAM

oleh -747 Dilihat

Oleh : Thomas B. Ataladjar

TANGGAL 3 Juni 2025 menandai seabad kelahiran seorang pejuang bangsa yang mungkin namanya belum sepopuler pahlawan nasional lainnya: Herman Yoseph Fernandez. Lahir di Ende, Flores, pada 3 Juni 1925, ia gugur di usia 22 tahun pada 31 Desember 1948, dan jasadnya kini terbaring di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta. Kisah hidupnya, yang kini diabadikan dalam biografi “Herman Yoseph Fernandez, Kusuma Bangsa Pembela Tanah Air, Layak Jadi Pahlawan Nasional”, adalah cerminan nilai-nilai luhur yang patut kita renungkan, terutama bagi generasi muda.

Herman Fernandez adalah putra asli Lamaholot, lahir dari pasangan guru Markus Suban Fernandez dan Fransisca Theresia Pransa Carvallho Kolin. Di bawah bimbingan kedua orang tuanya, ia dididik menjadi sosok yang agamis, berbudaya Lamaholot, dan terpelajar. Budaya Lamaholot yang kaya akan kearifan lokal, seperti keberanian untuk merantau, semangat gemohing (gotong royong), kerja keras, kemandirian, kepedulian sosial, serta cinta tanah air, telah membentuk karakternya. Nilai-nilai ini semakin terasah saat ia menempuh pendidikan di Hollandsch Indische Kweekschool (HIK) Muntilan, di mana wawasan kebangsaan dan keindonesiaannya kian diperluas.

Peran HIK Muntilan, sebuah institusi pendidikan bergengsi di bawah asuhan Romo F.G.J.M. van Lith, sangat krusial dalam membentuk Herman sebagai sosok pejuang sejati. Di sana, ia ditempa tidak hanya secara intelektual, tetapi juga mental dan spiritual, bersama rekan-rekan dari berbagai suku di Nusantara. Sekolah ini menekankan nilai-nilai nasionalisme, patriotisme, humanisme, dan militansi. Banyak alumni HIK Muntilan yang kemudian menjadi tokoh nasional, bahkan pahlawan, seperti Yosafat Soedarso, Mgr. Albertus Magnus Soegijapranoto SJ, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, dan Cornel Simanjuntak. Herman Fernandez berdiri sejajar dengan mereka.

Heroisme di Masa Revolusi

Ketika Jepang menduduki Indonesia dan HIK Muntilan ditutup, Herman memilih menjadi romusha di tambang batu bara Bayah, Banten. Di sana, ia bertemu dengan tokoh pergerakan nasional Tan Malaka, yang banyak menginspirasinya dengan nilai-nilai kepedulian sosial, kepemimpinan, dan integritas. Herman bahkan menyisihkan sebagian upahnya untuk membantu biaya hidup dan sekolah teman-temannya di Yogyakarta. Ini adalah bukti nyata semangat gemohing dan kepeduliannya yang mendalam.

Puncak kepahlawanan Herman Fernandez terlihat dalam pertempuran hidup mati di Palagan Sidobunder pada 2 September 1947. Sebagai anggota Tentara Pelajar (TP) yang tergabung dalam PERPIS (Persatuan Pelajar Indonesia Sulawesi), ia dipercaya mengoperasikan senapan mesin berat juki untuk menghadang laju pasukan Belanda yang ingin menguasai Yogyakarta, yang saat itu menjadi ibu kota Republik Indonesia. Dalam pertempuran inilah ia menunjukkan keberanian luar biasa.

Saat sahabatnya, La Sinrang, menembak mati Kapten Nex, seorang perwira Belanda, untuk menyelamatkan Herman, ia rela menanggung tuduhan tersebut di pengadilan militer kolonial. Di hadapan hakim militer Belanda, dengan lantang Herman menyatakan, “Yang kami kenal dan kami pertahankan cuma satu, Negara Republik Indonesia!”. Jawaban ini mencerminkan integritas moral, nasionalisme, dan pengorbanan dirinya tanpa pamrih. Ia divonis hukuman mati dan gugur pada 31 Desember 1948.

Pengorbanan Herman Fernandez adalah cerminan dari semangat “NKRI harga mati” yang telah dibayar lunas oleh para pahlawan. Kisah hidupnya memenuhi kriteria sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Pasal 25 dan 26. Pemberian gelar ini bukan hanya pengakuan terhadap jasanya, tetapi juga langkah penting untuk mewujudkan prinsip keterwakilan, mengingat hingga kini belum ada pahlawan nasional yang diakui secara resmi dari Pulau Flores.

Monumen di Sidobunder, Kebumen,
Monumen Tentara Pelajar di Kebumen, Monumen Yogya Kembali, serta taman dan jalan di Larantuka, semuanya mengabadikan namanya. Patungnya juga menghiasi Taman Renungan Bung Karno di Ende. Sudah saatnya Herman Yoseph Fernandez, cahaya dari Timur yang tak pernah padam, mendapat tempat terhormat dalam jajaran Pahlawan Nasional Indonesia. ***

*) Penulis adalah jurnalis dan penulis, tinggal di Bogor.