Almarhum Prada Lucky
“Tidak ada musuh sekejam saudara yang melupakan kemanusiaan”. Kalimat itu terasa nyata saat menatap pilu kematian tragis Prada Lucky Chepril Saputra Namo, prajurit muda TNI Angkatan Darat yang meregang nyawa bukan di medan perang, tapi di dalam barak sendiri. Bukan peluru musuh yang menewaskannya, tapi dugaan penganiayaan brutal oleh para seniornya; sesama prajurit.
PERISTIWA memilukan ini terjadi di barak Yonif TP-834/Wakanga Mere, Aeramo, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Prada Lucky yang baru tiga bulan aktif bertugas ditemukan dalam kondisi luka parah: tubuh lebam, penuh bekas sayatan, hingga sundutan rokok. Ia sempat dirawat di RSUD Aeramo sejak Sabtu, 2 Agustus 2025, dan akhirnya mengembuskan napas terakhir pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Dikutip dari pemberitaan media, dalam tubuh Pratu Lucky, dokter menemukan luka dalam: paru-paru bocor, ginjal rusak, serta trauma hebat akibat kekerasan. Ini bukan kecelakaan latihan. Ini penyiksaan.
Kejadian tragis ini bukan kali pertama. Sejarah panjang militer kita masih menyimpan noda kekerasan internal, terutama antara senior dan yunior. Namun kematian Prada Lucky membangunkan kembali kesadaran publik: bahwa budaya kekerasan yang dibungkus “pembinaan” masih bercokol dan berbahaya.
Karena itu, publik harus bertanya: Bagaimana tindakan kekerasan ekstrem bisa terjadi di institusi bersenjata yang menjunjung tinggi disiplin? Di mana pengawasan komando? Dan, Apakah nilai-nilai dasar keprajuritan seperti “melindungi yang lemah dan menghormati sesama” kini hanya jargon kosong?
Luka Fisik, Luka Citra
Bukan hanya orang tua dan keluarga Prada Lucky yang kehilangan. Seluruh rakyat Indonesia kehilangan kepercayaan. Luka kolektif. TNI — yang selama ini dihormati sebagai pelindung negara — tiba-tiba tampak rapuh citranya karena ulah segelintir oknum brutal.
Kekerasan semacam ini tak bisa dibenarkan dengan alasan “tradisi”, “pembinaan mental”, atau “uji ketahanan”. Tidak ada pembenaran atas penyiksaan. Apa gunanya membentuk prajurit kuat secara fisik jika mereka kehilangan hati nurani?
Lebih tragis lagi, sang ayah Prada Lucky adalah seorang bintara aktif, Sersan Mayor Christian Namo. Betapa pedih melihat putranya justru tewas di lingkungan militer; tempat yang ia sendiri dedikasikan hidupnya.
Tidak Cukup Hanya Proses Hukum
Pangdam IX/Udayana telah menyatakan bahwa tidak ada ruang bagi kekerasan di tubuh TNI, dan pelaku akan diproses hukum militer. Namun pertanyaan besar tetap bergema: Apakah ini akan menjadi reformasi serius, atau hanya pengobatan permukaan?
Publik tidak hanya menuntut hukuman tegas bagi pelaku. Namun juga menuntut: (1) Evaluasi menyeluruh atas pola pelatihan dan pembinaan prajurit. (2) Transparansi dalam proses hukum.
(3) Perlindungan bagi para yunior dari budaya senioritas beracun. Dan, (4) Komitmen nyata untuk membangun TNI yang profesional, modern, dan berperikemanusiaan.
Sejatinya setiap anak muda yang masuk TNI membawa harapan, bukan ketakutan. Mereka ingin mengabdi, bukan menjadi korban. Jika TNI ingin tetap dipercaya rakyat, maka peristiwa seperti ini harus dihentikan. Bukan disembunyikan.
Prada Lucky telah tiada, tetapi kisah tragisnya tidak boleh terkubur begitu saja. Luka yang ditinggalkan harus menjadi peringatan keras. Artinya, tak boleh lagi membiarkan kekerasan tumbuh di balik baret dan seragam loreng.
TNI adalah institusi kehormatan. Namun kehormatan sejati tidak lahir dari kekuatan fisik, melainkan dari kemanusiaan, disiplin moral, dan tanggung jawab atas sesama. Biarlah kematian Prada Lucky menjadi momentum, bukan sekadar tragedi.
Jangan biarkan prajurit muda lain jatuh karena kelalaian sistem dan kekejaman internal. Jangan biarkan darah sesama menjadi bagian dari kurikulum diam-diam.
Karena itu, hormat terakhir bukan hanya pada pemakaman Pratu Lucky. Tapi pada perubahan yang serius dan sungguh-sungguh di barak TNI. (jdz)