Orkestra kabinet memang harus dijaga. Harmonisasi mesti dirawat. Ketika semua berkomitmen untuk berlari, tak boleh ada yang melambatkan jalan, apalagi berhenti.
EPISODE pemanggilan calon-calon menteri Kabinet Kerja jilid II ke Istana Kepresidenan yang selama dua hari kemarin cukup menyedot perhatian publik akan berakhir pagi ini. Sesuai rencana, hari ini Presiden Joko Widodo mengumumkan nama-nama yang bakal menjadi pembantu dia di pemerintahan periode keduanya ini.
Kalau melihat dari sosok-sosok yang datang ke Istana dalam dua hari terakhir, ada nama-nama mengejutkan, tapi banyak pula yang tidak mengejutkan. Banyak muka baru, tapi muka-muka lama masih tampak dominan. Banyak yang masih berusia muda, tapi yang sudah sepuh pun tak kalah banyak.
Makna dari komposisi baru-lama atau muda-tua itu bisa bermacam-macam, tergantung bagaimana publik menafsirkannya. Efektif atau tidaknya, tergantung bagaimana Presiden dapat menempatkan orang-orang yang kemarin kompak mendatangi istana dengan berkemeja putih itu sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas mereka.
Poin pentingnya ialah apa pun keputusan Presiden hari ini tak perlu dijadikan polemik lagi. Bahkan, keputusan Jokowi untuk mengakomodasi perwakilan dari partai politik yang tidak mengusungnya saat Pemilu 2019 tidak semestinya kita persoalkan lagi. Lagi-lagi harus kita tegaskan, urusan pilih-memilih menteri merupakan hak prerogatif sekaligus eksklusif seorang presiden.
Artinya, penyusunan kabinet kali ini sepatutnya bisa mengakhiri semua bentuk spekulasi mengenai perebutan kursi menteri, baik dari sisi komposisi antara parpol, akademisi, dan profesional maupun komposisi antara tua dan muda (milenial). Kita berharap saja para pembantu yang dipilih Presiden ialah mereka yang benar-benar membantu, bukan malah mengganggu kerja.
Mulai hari ini fokus perhatian publik mestinya lebih diarahkan untuk mengawal kinerja kabinet ke depan. Itu penting karena inilah gerbong yang sudah dipilih Presiden untuk mengawali kerja keras dan kerja cepat meraih mimpi Indonesia menjadi negara maju pada 2045, seperti yang diucapkan Jokowi pada pidato seusai pelantikan, Minggu (20/10).
Dalam pidato itu juga Presiden Jokowi menyebut ada lima program prioritas yang akan dikerjakannya bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin untuk mewujudkan mimpi tersebut. Pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi.
Kita ingin menteri-menteri yang telah terpilih dapat menjadi garda paling depan untuk merealisasikan program-program tersebut. Tak masalah dia dari latar belakang apa, apakah dari representasi parpol ataupun profesional, yang pasti dia mesti mampu mencapai key performance index (KPI) yang telah ditetapkan Presiden. Dalam bahasa Jokowi yang lebih mudah, mereka mesti menjadi pemimpin birokrasi kementerian yang tak cuma pandai melemparkan program, tapi sekaligus juga menjamin agar manfaat program itu dirasakan masyarakat.
Presiden sudah menjanjikan, menteri, pejabat, dan birokrat yang tidak sejalan, tak loyal, yang tidak serius bekerja, yang tak bisa menjamin tercapainya tujuan program pembangunan, tidak akan diberi ampun. Bila perlu, bahkan akan langsung dicopot.
Orkestra kabinet memang harus dijaga. Harmonisasi mesti dirawat. Ketika semua berkomitmen untuk berlari, tak boleh ada yang melambatkan jalan, apalagi berhenti. Ketika semua komit memegang loyalitas, tak elok bila yang melenceng tetap dibiarkan dalam gerbong. Karena itu, janji ketegasan Jokowi mesti kita pegang. (e.mi)