Oleh Frans Sarong
Komunitas Keluarga Batih Kawasan Konservasi, tinggal di Penfui, Kota Kupang, NTT.
WAJIB hukumnya menjaga kelestarian sumber daya alam (SDA) berupa flora dan dan fauna terutama dalam kawasan konservasi (KK). Namun di sisi lain, keberlanjutan nafkah masyarakat sekitarnya tidak mesti di korbankan. Dua duanya sama penting, sehingga memerlukan perhatian serempak dan berimbang pula dalam pengelolaan KK. Idealnya, KK dan juga ketahanan pangan masyarakat sama sama terjaga kelestarian dan keberlanjutannya.
Apalagi, penegasan Dirjen KSDAE Wiratno telah menggariskan panduan jelas dalam pengelolaan KK. Kata Wiratno, dalam pengelolaan kawasan konservasi, masyarakat harus merasakan manfaatnya. Masyarakat supaya diberi kelonggaran mengolah lahan KK untuk menopang hidupnya, seperti menanami lahan kawasan dengan petai, kedelai atau usaha lainnya (Tribunnews.com, 13/12/2019).
Sampai di titik ini, diperlukan terobosan bijak dan praktis. Salah satu fokusnya adalah dengan memberdayakan berbagai kearifan lokal yang memang ramah dan akrab dengan masyarakat setempat. Dengan demikian, masyarakat sekitar KK pada saatnya akan menjelma menjadi komunitas batih dari Ditjen BBKSDAE. Mereka adalah kelompok masyarakat yang akhirnya merasa terpanggil ikut menjaga dan melestarikan KK. Keyakinan dasarnya bertolak dari anggapan: terlampau sulit bahkan mustahil menjaga kelestarian KK tanpa dukungan masyarakat sekitarnya. Namun dukungan itu dimungkinkan terwujud sejauh ketahanan pangan mereka terjaga.
Bersisian Langsung
Mengutip Wiratno – Sepuluh Cara (Baru) Kelola Kawasan Koservasi di Indonesia (2018) – Indonesia kini memiliki 556 unit KK seluas 27,14 juta ha. Areal itu termasuk 5,32 juta ha atau 21 % di antaranya merupakan kawasan konservasi perairan. Dari 556 unit KK tersebut, 31 unit di antaranya ada di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT).
Selain menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi serta manfaat berbagai SDA di dalamnya, keberadaan KK terbukti kaya makna lain. Sebut misalnya, sebagai daerah resapan air atau pabrik air, perlindungan hidrologi, iklim mikro, kesuburan tanah, sumber mikroba, materi bioaktif, antioksidan, keseimbangan siklus air, penyimpan karbon, serta penjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu hingga hilir.
Seperti KK umumnya di wilayah Nusantara, keberadaan 31 unit kawasan konservasi di NTT hampir semuanya bersisian langsung dengan permukiman masyarakat. Bahkan ada pula perkampungan yang justru berada dalam kawasan. Salah satu contohnya perkampungan Nenas dalam kawasan cagar alam Mutis di Timor. Kawasan pegunungan Mutis sendiri merupakan bagian wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).
Permukiman dan juga berbagai bentuk usaha petani di sekitar kawasan berpotensi mengancam kelestarian kawasan konservasi jika pengelolaannya tetap dengan formula tunggal, yakni mengandalkan pendekatan kekuasaan sebagaimana diterapkan sejak lama. Tragedi Rabu Berdarah yang menimpa warga Colol, Manggarai, 16 tahun lalu, menjadi salah satu contohnya.
Terkait pengamanan Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng di Manggarai Raya, tragedi itu persisnya terjadi, Rabu, 10 Maret 2004. Kisahnya berawal dari aksi damai sekitat 120 orang warga Colol. Mereka berunjukrasa di Polres Ruteng, Manggarai. Aksi itu bertujuan menjemput tujuh warga rekan mereka yang sehari sebelumnya diciduk dan ditahan di Polres Ruteng, karena dianggap telah merambah atau menyerobot kawasan hutan TWA Ruteng di Colol. Namun aksi para petani ini malah disambut tembakan senjata api aparat kepolisian. Akibatnya, enam orang tewas, dan 29 orang lainnya bersimbah darah, termasuk tujuh korban di antaranya harus menderita cacat seumur hidup! (Frans Sarong, dalam bukunya: Serpihan Budaya NTT, 2013, atau buku lainnya: Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai, 2004).
Kearifan Lokal
Tentu amat sepakat jika faktor ketahanan pangan masyarakat sekitar kawasan konservasi, juga menjadi perhatian serius Kementerian KLH, dalam hal ini Ditjen KSDAE. Untuk itu diperlukan terobosan ramah warga dan juga ramah KK. Salah satu pilihan yang disarankan adalah pemberdayaan kearifan lokal.
Ambil salah satu contoh pengelolaan kawasan cagar alam Mutis. Kawasan pegunungan itu sejak turun temurun dikenal sebagai sumber madu hutan. Sejak lama pula, madu dari kawasan itu manjadi salah satu sumber nafkah bagi masyarakat sekitarnya. Namun belakangan, hasilnya merosot tajam.
Ada catatan merarik dari Desa Tutem di Kecamatan Nobo, TTS. Tutem adalah satu dari 13 desa di TTS dan TTU, yang salah satu sisi wilayahnya berbatasan langsung dengan kawasan cagar alam Mutis.
Menurut pengakuan sejumlah warga Tutem, desanya hingga tahun 2000 dengan penghasilan madu dari kawasan hutan sekitarnya, mencapai kurang lebih 15.000 liter per tahun. Belakangan, sudah syukur jika panenan mencapai 5.000 liter per tahun. Kemerosotan hasil madu hutan itu sepenuhnya akibat perambahan kawasan hutan untuk perladangan sistem tebas bakar dan berpindah pindah.
Menyadari dahsyatnya dampak negatif akibat perambahan itu, masyarakat sepakat menggelar ritual khusus yang dikenal bernama paonasi. Ritual yang ditandai pembunuhan hewan kurban berupa kambing atau sapi, intinya bermakna larangan merambah kawasan hutan sekitarnya. Jika ternyata ada yang melanggar, maka sanksinya berupa hewan sesuai ukuran tanduk hewan kurban saat ritualnya.
Contoh lain di TWA Menipo, Kabupaten Kupang. Masyarakat sekitar terutama dati kalangan remaja, baru mulai menyadari ternyata “penangkaran” rusa timor di Menipo adalah jejak kepedulian leluhur mereka, pasangan Meni dan Fon. Menyusul difestivalkan pada November 2019, mulai mekar kesadaran publik bahwa mengamankan Menipo sama maknanya menghornati leluhur mereka. Belakangan, Menipo yang merupakan gundukan pulau mungil saat pasang naik, mulai tumbuh jadi pilihan pelancongan, setidaknya warga Kota Kupang.
Berbagai kearifal lokal seperti ini harus selalu digeliatkan hingga menjadi kesadaran publik masyarakat sekitar kawasan. Misalnya melalui festival khusus yang digelar per tahun atau lima tahunan. Selain itu, perlu pertimbangkan adanya pasaran pantas dan pasti untuk panenan madu atau hasil lain yang didapat masyarakat dari kawasan konservasi.
Saran terakhir ini sebenarnya sudah mulai dilakukan oleh BBKSDA NTT. Di antaranya membeli minyak obatan dari olahan kalakode (sejenis sirih hutan) yang dihasilkaan dari kawasan TWA Ruteng. BBKSDA NTT juga dilaporkan mulai mengupayakan pemasaran madu dari dari kawasan Mutis dan lainnya. Terobosan seperti ini perlu mendapat perhatian lebih serius karena ujungnya langsung mendukung ketahanan pangan masyarakat sekitar kawasan.
Tiga Pilar
Tragedi Rabu Berdarah Colol memang sangat memilukan. Namun tragedi itu sekaligus menyadarkan pihak BBKSDA NTT untuk mengubah model pendekatan dalam pengelolaan kawasan koservasi. Setelah dicermati secara mendalam, Wiratno ketika menahkodai BBKSDA NTT tahun 2012, akhirnya meluncurkan model pengelolaan yang disebut pendekatan berbasis tiga pilar. Yakni model pengelolaan kawasan konservasi yang memadukan kekuasaan dengan pendekatan berbasiskan lembaga agama (Gereja) dan lembaga adat setempat. Pendekatan baru itu terbukti manjur karena antara lain mampu mencairkan kebekuan hubungan antara BBKSDA NTT dengan warga masyarakat Colol.
Model pendekatan baru ini diharapkan menginspirasi model pengelolaan kawasan konservasi lain di Indonesia. Kita tunggu berbagai terobosan konkrit yang berbasiskan kearifan lokal untuk kelestarian kawasan konservasi di satu sisi, dan terjaganya ketahanan pangan masyarakat sekitar kawasan, di disi lainnya.
*) Disampaikan pada Webinar Nasional bertema: “Ketahanan Pangan Masyarakat Sekitar Kawasan Konservasi”, Jumat (19/6/2020)