Ekosistem Pesta di Kupang: Mencari Titik Temu antara Denyut Ekonomi dan Ketenteraman Warga

oleh -746 Dilihat

Oleh: Rolland E. Fanggidae
Akademisi FEB Undana & Local Expert Kemenkeu di NTT

DI BALIK gemerlap lampu dekorasi dan riuh rendah musik pesta di Kota Kupang, terdapat sebuah mesin ekonomi kreatif yang sedang berdenyut kencang. Apa yang sering kita lihat hanya sebagai perhelatan sukacita, ternyata telah bertransformasi menjadi sebuah ekosistem ekonomi yang kompleks dan saling terkait, menjadi penopang perekonomian lokal yang nyata.

Bayangkan sebuah resepsi pernikahan. Event Organizer (EO) tidak bekerja sendirian. Ia adalah simpul utama yang menggerakkan rantai pasok yang rumit. EO misalnya dapat merekomendasikan jasa katering spesialis masakan “Se’i” dan “Ikan Kua Asam”, yang pada gilirannya membeli bahan dari supplier lokal. Ia memilih dekorator yang memesan bunga segar dari florist dan kain tenun dari penenun. Ia menunjuk fotografer dan band lokal untuk mengabadikan dan memeriahkan momen. Satu pesta telah menghidupkan puluhan usaha, dari industri kuliner, dekorasi, fashion, hingga kreatif digital.

Ekosistem ini tumbuh subur berfondasikan budaya “bersyukur dan berkumpul” masyarakat Kupang yang kuat, didorong oleh perubahan pola konsumsi dan dikatalisasi oleh media sosial. Dampaknya terhadap perekonomian kota sangat signifikan: penyerapan tenaga kerja yang massif, uang yang berputar di lokal (local economic multiplier effect), dan pelestarian budaya yang memiliki nilai ekonomi.

Kegaduhan sebagai Biaya Sosial

Namun, seperti dua sisi mata uang, denyut ekonomi ini kerap menghasilkan eksternalitas negatif: kebisingan dan gangguan ketertiban bagi warga yang tidak terlibat dalam pesta. Inilah yang melatarbelakangi terbitnya Surat Edaran Walikota Kupang No 206.a/Setda.100.3.4.3/IX/25 TAHUN 2025, tentang batas waktu pelaksanaan kegiaatan malam di wilayah Kota Kupang.

Dari kacamata ekonomi, kebijakan ini adalah sebuah intervensi yang diperlukan untuk mengoreksi kegagalan pasar, di mana biaya sosial yang ditanggung masyarakat tidak diperhitungkan dalam kalkulasi biaya penyelenggara event.

Kebijakan ini, bagaimanapun, bukan tanpa risiko ekonomi. Berbagai narasi di bangun terkait pemotongan waktu acara berpotensi menyebabkan:

• Penurunan pendapatan bagi vendor seperti katering dan penyewa sound system akibat berkurangnya jam operasional.

• Penurunan kualitas pengalaman tamu undangan yang dapat menekan permintaan akan paket pesta bernilai tinggi.

• Beban biaya transaksi tambahan akibat prosedur perizinan yang dapat memberatkan UKM.

Mencari Titik Keseimbangan

Lantas, bagaimana menemukan titik temu yang ideal? Klaim bahwa kebijakan ini “bukan mematikan ekonomi” bisa terwujud jika pendekatannya tidak sekadar menertibkan, tetapi juga memfasilitasi adaptasi ekosistem. Berikut rekomendasi kebijakannya:

1. Transparansi dan Sosialisasi. Pemerintah harus jelas menyampaikan bahwa tujuan kebijakan adalah menciptakan keseimbangan, bukan mematikan usaha. Prosedur perizinan acara melewati pukul 24.00 WITA harus dibuat sederhana, murah, dan transparan.

2. Penegakan Hukum yang Bijak dan Proporsional. Penertiban harus membedakan antara acara keramaian umum di ruang terbuka dengan acara privat di dalam gedung berinsulasi suara. Pendekatan edukasi dan pembinaan harus didahulukan sebelum tindakan represif.

3. Promosi “Ekonomi Siang Hari”. Pemerintah dapat mengambil peran aktif dengan mempromosikan trend “daytime wedding” atau “garden party” melalui kampanye atau insentif. Ini justru dapat membuka ceruk pasar baru yang lebih elegan dan efisien.

4. Evaluasi Berkala. Dampak kebijakan terhadap pendapatan pelaku usaha, terutama UKM, harus menjadi bahan evaluasi rutin. Fleksibilitas dan kesediaan untuk merevisi aturan sangat penting untuk menjaga vitalitas sektor ini.

Kesimpulan

Ekosistem event Kota Kupang adalah aset berharga yang tidak boleh dipadamkan. Demikian pula, hak warga untuk beristirahat dalam ketenangan adalah bagian dari kualitas hidup yang harus dilindungi. Kebijakan pembatasan waktu, jika diimplementasikan dengan cerdas dan bijaksana, bukanlah sebuah penghalang, melainkan pengatur lalu lintas yang memastikan denyut ekonomi kreatif dapat berdenyut secara berkelanjutan, tanpa mengorbankan ketenteraman sosial. Pada akhirnya, titik temu antara ekonomi dan ketertiban adalah kunci menuju Kota Kupang yang sejahtera dan harmonis. (***)