JAKARTA – Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) III Siliwangi Kolonel Desi Ariyanto membenarkan bahwa pihaknya menggelar pelatihan bela negara kepada sejumlah anggota Front Pembela Islam (FPI) di wilayah Lebak, Banten, beberapa waktu lalu.
Meskipun mengapresiasi upaya TNI memberikan pemahaman mengenai nasionalisme kepada anggota FPI, Direktur Jenderal Potensi Pertahanan (Dirjen Pothan) Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Timbul Siahaan menegaskan, pelatihan bela negara kepada kelompok masyarakat yang dilakukan instansi pemerintah tidak boleh bermuatan politis.
“Pada dasarnya semua instansi boleh melakukan pelatihan bela negara, asalkan panduan dari Kemenhan. Asalkan, tidak ada muatan atau agenda politik di baliknya,” ujar Timbul saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Minggu (8/1).
Diungkapkan Timbul, sebelumnya Kemenhan juga telah bekerja sama dengan sejumlah organisasi sosial keagamaan semisal Nahdlatul Ulama dan Muhammadyah dalam menggelar pelatihan bela negara. Pelatihan bela negara juga diberikan Kemenhan kepada kader-kader partai politik.
“Kepada kader Golkar juga kita kerja sama pelatihan bela negara. Kita tidak membeda-bedakan. Kita justru apresiasi kalau mereka (FPI) pelajari secara benar mengenai doktrin masalah kebangsaan, atau cinta Tanah Air. Kalau tujuannya positif, tentu tidak masalah,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Setara Institute Hendardi mempertanyakan alasan pelatihan bela negara yang digelar TNI kepada FPI Lebak. Menurut dia, tak masuk akal jika FPI digandeng menjadi partner kerja TNI dalam membela negara.
“Pendidikan Bela Negara tanpa konsep dan pendekatan yang jelas hanya akan melahirkan milisi sipil yang merasa naik kelas karena dekat dengan TNI. Bagaimana mungkin organisasi semacam FPI, yang antikemajemukan dan memiliki daya rusak serius, menjadi partner kerja TNI dalam membela negara?” cetusnya.
Menurut dia, pelatihan bela negara justru kerap salah kaprah dan blunder. Ia mencontohkan kasus diusirnya ketika Ketua Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Fuad dari kawasan konsesi hutan milik PT RAPP, Riau, pada September 2016 lalu.
“Alumni Bela Negara dengan pongah justru menjadi centeng perusahaan dan menentang kinerja aparatur negara, dengan mengusir Nazir dari areal hutan,” ujarnya.
Lebih jauh, ia mengatakan, langkah TNI melatih anggota FPI mempertegas dugaan ‘kedekatan’ TNI dengan kelompok Islam radikal. Hal itu bakal mempersulit penegakan hukum atas aksi-aksi intoleransi yang dilakukan kelompok tersebut.
“TNI mengalami disorientasi serius dalam menjalankan perannya sebagai aparat pertahanan negara dan elemen yang juga dituntut berkontribusi menjaga kebhinekaan. Sekalipun secara legal tindakan TNI melatih FPI bukanlah pelanggaran, tetapi secara politik dan etis, tindakan itu dapat memunculkan ketegangan dan kontroversi baru,” tuturnya.
Hendardi menduga, Presiden Joko Widodo tidak mengetahui tindakan TNI melatih kader FPI di Lebak, Banten.
“Jika benar, TNI berkolaborasi dengan FPI, maka pertemuan antara militerisme dan Islamisme akan memiliki daya destruktif lebih serius pada demokrasi kita. Jokowi tidak bisa terus berpangku tangan menghadapi situasi ini,” tandasnya. (miol/jk)
Foto : Ilustrasi