Agama dan Sistem Digital; Terbatasnya Ruang Berekspresi

oleh -389 Dilihat

Oleh Hilarius Matkoi Romer
Mahasiswa Filsafat IFTK Ledalero

HAK asasi manusia merupakan hak universal yang melekat dalam diri setiap orang. Hak asasi manusia bukan merupakan suatu pemberian melainkan dasar dari manusia yang eksis (Rhona K.M. Smith, dkk 2008:11). Setiap manusia mempunyai hak. Hak-hak itu meliputi hak untuk hidup, hak untuk beragama, hak untuk berbicara, hak untuk berekspresi dsb. Hak-hak ini berlaku sejak lahir. Hak asasi manusia (HAM) merupakan hak wajib sehingga negara menjaminnya. Negara menjamin hak asasi manusia dengan mendasarkanya dalam UUD. Oleh karena itu, semua orang bebas dan menikmati hidup berdasarkan hak yang dimiliki. Tidak ada larangan mengenai hal ini. Negara juga akan memberi sangsi atau hukuman, bila ada orang yang melakukan pelanggaran HAM.

Indonesia adalah negara hukum. Indonesia juga merupakan negara yang beradaptasi dengan perkembangan. Hal itu meliputi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi digital, pola pikir, dll. Akan tetapi, dibalik sikap adaptif ini, perlu ditelusuri lebih mendalam dengan sebuah pertanyaan; apakah kebebasan dalam artian hak asasi manusia (HAM), sudah terjamin secara penuh? Negara Indonesia adalah negara yang peka dan adaptif. Namun keunggulan sikap-sikap ini belum diterapkan secara total ke dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya kebebasan masyarakat dalam menjalankan haknya. Ada berbagai praktik pelanggaran yang menghancurkan keunggulan HAM secara konstituif. Adapun kebebasan atau pelanggaran HAM yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah mengenai pembatasan hak asasi dalam lingkungan digital dan agama.

Menyempitnya Kebebasan HAM dalam Lingkup Digital dan Agama

Pertama sistem digital. Sistem digital adalah sebuah sistem yang memproses data dan informasi berupa skrit atau angka. Sistem digital merupakan sitem daring yang terdapat dalam berbagai alat teknologi modern yang berbentuk laptop, komputer/PC dan handphone. Digital merupakan salah satu kemajuan sistem terbaik di dunia. Indonesia pun salah satu negara pengakses sistem digital. Sistem digital selalu dikenal dengan ruangan berbasis daring. Jadi hal-hal apa pun bisa dinyatakan melalui sistem ini, termasuk kebebasan berekspresi.

Kendati demikian negara Indonesia belum dapat mewujudkan kebebasan berekspresi dalam sistem digital. Negara Indonesia belum menjamin secara total kebebasan berekspresi melalui sistem ini. Kebebasan seperti menyampaikan pendapat melalui berbagai platform media masih seringkali dibatasi oleh sistem pers yang kerapkali diawasi oleh pihak penguasa. Sebut saja bahwa tulisan-tulisan yang bernuansa kritis masih menjadi momok yang mengintimidasi pemerintahan atau sipapaun sehingga tidak jarang dipertimbangkan untuk dipublikasikan. Salah satu contoh kasus yang mengangkat isu demikian adalah kasus Neni Nur Hayati, seorang aktivis demokrasi yang foto-fotonya disebarkan, entah oleh siapa, seusai mengkritik pemerintah (SAFAnet dalam laporan Triwulan II (April-Juni) 2025, Hari Rabu, 30 juli 2025). Tentu saja bahwa ini merupakan suatu masalah yang sudah melanggar hak asasi, di mana hak berpendapat/berekspresi dibatasi.

Padahal, jika harus dimengerti secara ideologis dan konseptual, negara Indonesia adalah negara demokratis. Karena negara demokratis, maka kekuasaan yang adalah milik masyarakat harus dijamin kebebasannya. Siapa saja, entah masyarakat maupun para penguasa wajib bersuara. Karena bagaimanapun, negara yang demokratis adalah negara yang selalu membutuhkan masukan dari masyarakatnya sebagaimana definisi kedaulatan demokratis yang ada di tangan rakyat itu sendiri. Maka dari itu, setiap keputusan dan kebijakan tidak hanya dibuat atas masukan dari sesama penguasa pemerintahan, melainkan juga sepenuh-penuhnya dari masyarakat yang demokratis.

Kedua, hak asasi dalam lingkup agama. Setiap orang memiliki hak untuk menganut agama apa saja. Kepercayaan atau iman seseorang tidak bisa dituntut atau dipaksa. Walaupun ada orang yang berbeda agama, dia harus tetap dihargai. Sekalipun agama yang dianut adalah minoritas. Indonesia adalah negara agamais. Ada enam agama yang diakui di dalamnya. Agama-agama itu ialah agama Islam, Khatolik, Protestan, Budha, Hindu dan Konghucu. Ini merupakan keberagaman. Secara tidak langsung, orang bisa mengenal Indonesia dengan negara yang bertoleran dalam lingkup agama. Tetapi untuk memastikan hal ini, perlu ada improvisasi. Kita perlu melihat situasinya.

Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, Indonesia belum bisa dikatakan sebagai negara yang sepenuhnya memiliki sikap toleransi dalam lingkup agama. Salah satu kasus yang sejalan dengan pernyataan ini adalah kasus penindasan umat Kristen di Sarai kota Padang, Sumatra Barat (amp.kompas.com dan detik.com). Kasus itu terjadi pada hari Minggu, 27 Juli 2025. Rumah ibadat jemaah Kristen GKSI diserang oleh warga setempat. Warga setempat mengangap bahwa jemaah ini melanggar izin.

Ini merupakan suatu bukti bahwa kehidupan beragama dalam negara Indonesia belum sepenuhnya terjamin total. Kehidupan beragama belum mendapat perhatian yang intens dari pemerintah. Padahal siapa saja bebas menganut ajaran agama yang diyakini. Kebebasan beragama sudah mempunyai dasar. Dasar kehidupan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 22 ayat 1 dan 2. Undang-undang ini menegaskan kebebasan masyarakat dalam menjalankan ibadah agama dan pilihan agama sesuai keyakinan.

Seluruh aturan mengenai agama sudah jelas. Tetapi respons pemerintah terhadap kehidupan agama belum begitu kuat. Sikap pemerintah ini memengaruhi cara pandang kelompok agama mayoritas terhadap kelompok agama minoritas di wilayah-wilayah tertentu. Agama-agama minoritas diperlakukan seolah-seolah tidak mempunyai hak. Padahal kalau dilihat dari segi konteks sebagai warga negara, kelompok agama minoritas juga merupakan anggota warga negara yang sah. Apalagi jika dilihat dari sisi HAM. Beragama sudah menjadi sebuah kebebasan. Karena itu penindasan agama sama halnya dengan menindas hak asasi seseorang. Dasar struktur pemerintah dibentuk adalah untuk mensejahterahkan negara dan masyarakatnya. Jika masyarakat masih hidup dalam situasi tertekan, bukankah hal itu merupakan suatu kontradiksi dengan visi misi yang ditetapkan?

Dasar Negara adalah Solusi untuk Pemulihan

Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Ini merupakan bunyi semboyan yang menurut penulis mesti direfleksikan. Semua warga negara Indonesia baik para pemerintah maupun masyarakat adalah sama. Walaupun ada perbedaan dalam status sosial, tetapi kebutuhan untuk merasakan dan menikmati hak sebagai warga negara yang bebas adalah keinginan bersama. Siapa saja bebas menikmati pilihannya (dalam hal beragama). Dia juga wajib menikmati fasilitas yang disediakan negara (ruang digital). Oleh karena itu, para penguasa wajib memperhatikan masyarakatnya. Masyarakat telah mempercayakan kepimimpinan yang sedang dijalankan. Maka para penguasa mesti menjaga kepercayaan itu dan harus sanggup melihat isi ideologi yang asali dari negara ini yakni Pancasila.

Dalam Pancasila dirangkum semua nilai-nilai penting dalam hidup bernegara. Nilai-nilai itu dicantumkan dalam setiap sila. Ada nilai ke-Tuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, nilai musyawarah mufakat dan nilai kebijaksanaan dalam memimpin masyarakat. Hal yang paling penulis tekakankan sesuai konteks tulisan ini adalah sila ke-2 dan ke-3. Kemanusiaan yang adil dan beradab dan persatuan Indonesia. Semua warga negara wajib diperlakukan dengan adil dan beradab tanpa membeda-bedakan status, agama, suka dan ras. Tujuan kehidupan bernegara adalah mencapai dan mewujudkan bonum commune atau kebaikan bersama atau kesejahteraan umum. Kesejahteraan dapat tercipta jika kedaulatan benar-benar diimplementasikan dalam negara yang demokratis ini. Hal tersebut hendaknya dilakukan mulai dari pemerintahan yang mengkordinir masyarakatnya. Berkenaan dengan itu, maka diharapakan agar sistem kehidupan ini dijalankan dengan baik.

Kesimpulan

Hak asasi merupakan hak dasar yang dimiliki semua orang. Hak asasi tidak diberikan oleh seseorang, melainkan suatu hal dasar yang sudah berada dalam diri semua orang. Hak asasi merupakan sebuah aturan dasar yang berlaku sepanjang hidup. Semua manusia bebas menjalani hidup seturut kehendak hak asasinya. Dalam konteks hidup sebagai warga negara, setiap manusia berhak untuk memilih agama dan menikmati berbagai fasilitas yang disediakan oleh negara. Contoh-contoh fasilitas yang dimaksud lebih mengarah ke agama dan sistem digital.

Sebagai warga negara berhak memilih ajaran agama yang dianggap sangat cocok dengan imanya. Manusia berhak beribadah kepada agama yang dipilihnya. Kepercayaan setiap manusia tidak bisa dituntut. Karena suatu kepercayaan atau iman, muncul dari refleksi dan pengalaman hidup yang nyata dan mendalam.
Sebagai warga negara juga berhak menikmati layanan sistem digital. Karena salah satu tujuan sistem digital disediakan adalah untuk menjamin dan menyediakan data-data dan informasi secara daring dan memberikan kelonggaran berekspresi bagi setiap warga negara. Kebebasan berekspresi yang dimaksud lebih merujuk kepada penyampaian pendapat. Indonesia adalah negara yang menganut sistem demokrasi. Prosedur dalam sistem negara yang demokratis adalah saling bersuara. Maka berbagai pendapat yang disampaikan mestinya didukung oleh para pihak pemerintah. (***)