Ironi Kopi Arabika di Colol! Petani Ibarat Turis, Sekali Panen Lalu Ditinggal Lagi

oleh -242 Dilihat

Tim Peneliti dari Unwira Kupang

COLOL, mediantt.com – Di balik keindahan hamparan hijau Lembah Colol yang dikenal sebagai sentra kopi arabika unggulan di Flores, tersimpan ironi yang kian memprihatinkan. Para petani kopi di wilayah ini mulai dijuluki sebagai “petani turis”; istilah yang menggambarkan petani yang hanya datang saat musim panen, kemudian meninggalkan kebunnya hingga panen berikutnya tiba.

Fenomena ini bukan sekadar perubahan perilaku, tetapi menjadi indikator menurunnya perhatian terhadap kelestarian kopi warisan budaya. Dalam lima tahun terakhir, produktivitas kopi arabika Colol anjlok dari rata-rata 600 kilogram per hektar menjadi hanya sekitar 200–300 kilogram per hektar.

“Kopi di sini rata-rata sudah berusia puluhan tahun, warisan dari nenek moyang kami. Tapi setelah panen, banyak petani tidak lagi melakukan perawatan kebun. Tak ada pemangkasan, tak ada pemupukan,” tutur tokoh Tani Colol yang juga Kepala Desa Colol.

Warisan Sejak 1932

Dalam sebuah diskusi riset yang digelar pada 21 Juli 2025 di Lahong, Borong, Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas, SH, M.Hum mengatakan, kopi arabika Colol telah dikembangkan sejak tahun 1932, dan saat ini terdapat empat jenis varietas utama yang menjadi kekayaan lokal. Yakni; Kopi Juria, Yelo Caturra, Red Caturra dan Kopi Unggul S795.

“Keempat jenis kopi ini adalah warisan berharga. Tapi kenyataannya, produksi terus menurun karena sebagian besar pohonnya sudah tua. Kita butuh peremajaan dan keterlibatan generasi muda agar kopi Colol tetap hidup,” ujar Bupati Agas di hadapan tim peneliti dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.

Diskusi tersebut merupakan bagian dari kegiatan riset yang dilakukan oleh tim peneliti Unika Widya Mandira Kupang, yang diketuai oleh Dr. Stanis Man, SE, M.Si, Dr. Pater Paskalis Seran, Dr. Marius Masri Sadipun, SE, M.Si, Florianus Jehudin, S.S, dan Konstatinus Su.

Dalam penelitian ini bertema: “Transformasi Rantai Pasok Kopi Arabika Flores Menuju Daya Saing Global: Strategi Pemberdayaan UMKM di Kabupaten Manggarai Timur”, para peneliti menyoroti lemahnya tata kelola pascapanen, ketimpangan harga, serta kurangnya regenerasi petani sebagai faktor penghambat daya saing kopi lokal di pasar global.

Petani Turis Nyata

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur, Jhon Sentis, MM, menegaskan, istilah “petani turis” bukan sekadar kiasan, melainkan refleksi nyata dari perubahan perilaku bertani di kalangan masyarakat.

“Petani kopi kita sekarang hanya aktif saat panen. Setelah itu, kebun ditinggal begitu saja. Ini menyebabkan produktivitas terus menurun. Kami butuh pendekatan baru untuk mengatasi hal ini,” ujar Sentis.

Kopi arabika Colol bukan hanya komoditas ekspor, tapi juga bagian dari identitas budaya masyarakat Manggarai Timur. Sayangnya, minat generasi muda untuk melanjutkan tradisi berkebun kopi terus menurun.

Banyak anak muda lebih memilih pekerjaan lain yang dianggap lebih modern dan menjanjikan. “Dulu berkebun kopi itu simbol kehormatan keluarga. Sekarang banyak anak muda tidak lagi tertarik. Mereka lebih pilih kerja di kota,” tutur Maria, petani perempuan di Colol.

Ekowisata Berkembang, Produksi Menurun

Meski kawasan Colol mulai dilirik sebagai destinasi wisata kopi, pertumbuhan sektor wisata belum berdampak signifikan terhadap kesejahteraan petani. Kebun tetap tidak dirawat, meski menjadi objek fotografi dan atraksi turis.

“Wisata tanpa kopi yang hidup itu semu. Kita butuh integrasi antara kopi sebagai produk budaya dan atraksi wisata edukatif,” ujar Adrianus Lasa, pegiat kopi dan ekowisata.

Karena itu, riset kolaboratif antara akademisi dan pemerintah ini diharapkan mampu menjadi dasar perumusan kebijakan daerah yang lebih strategis. Transformasi rantai pasok kopi, peremajaan tanaman, dan regenerasi petani menjadi agenda mendesak.

“Kopi Colol harus bangkit, bukan hanya sebagai komoditas ekspor, tapi sebagai warisan budaya dan sumber hidup yang berkelanjutan,” tutup Dr. Stanis Man dalam forum tersebut. (*/jdz)