Maumere, mediantt.com – Ada yang menarik pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Tahun 2017 tingkat Kabupaten Sikka, Selasa (2/5). Ana Owilde Arsinde Luju, pelajar Kelas VIII SMP PGRI 1 Egon berkesempatan berpidato di depan jajaran Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) Kabupaten Sikka.
Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera, Ketua DPRD Sikka Rafael Raga, Ketua Pengadilan Negeri Maumere Rahmat Sanjaya, Kapolres Sikka I Made Kusuma Jaya, dan Dandim 1603 Sikka Abdullah Jamali, menjadi tertegun dan bangga dengan kemampuan berpidato tanpa teks oleh pelajar berusia 14 tahun itu. Ansar Rera dan Rafael Raga pun harus mengeluarkan sejumlah uang dari kocek mereka.
Berpidato tanpa teks di depan Forkopimda, dan disaksikan oleh begitu banyak orang, tidak membuat gadis kelahiran Pruda 29 Maret 2003 itu merasa canggung. Justeru dia memanfaatkan momen itu untuk memberikan keyakinan bahwa pelajar-pelajar di sekolah terpencil sesungguhnya tidak kalah dengan pelajar-pelajar di ibukota kabupaten.
Isi pidato gadis yang biasa disapa Ana ini, berkaitan tentang pendidikan. Dia menukik pilihan itu, dan memperhadapkan dengan budaya lokal, kemajuan zaman, serta kekuatiran akan runtuhnya nilai-nilai moral para pelajar zaman sekarang. Alur pidatonya terstruktur secara baik. Dia mengungkapkan dengan penuh sentuhan keprihatinan, dan mengundang simpati applaus.
Ana cukup pintar memanjakan para pendengar mencerna pikiran-pikiran yang sedang ia tuangkan. Karena itu dia benar-benar menjaga lafal dan aksen, serta mengatur ucapan dan intonasi sebaik mungkin. Sorot matanya tetap terjaga, diimbangi gerak tubuh yang tidak menunjukkan rasa gugup atau pun grogi. Dia menampilkan gestur yang tradisionil sebagai pelajar di kampung, tanpa perlu mendandani isi tubuhnya dengan polesan kosmetik.
Tujuan pendidikan, kata dia, adalah membuat orang menjadi bijak dalam memanfaatkan ilmu pengetahun dengan memberdayakan hal-hal lokal yang mulai ketinggalan untuk dapat dikenal secara global. Tapi tanpa disadari, zaman sekarang sudah membawa manusia dalam suatu kondisi yang memprihatinkan.
“Mengapa tidak? Kita sudah berada pada titik di mana nilai-nilai karakter yang melekat erat dengan budaya lokal kita sudah sangat kritis. Nilai moral sudah semakin hari semakin merosot. Hal ini terjadi karena kita mulai menganggap bahwa hal-hal lokal itu identik dengan kata kuno. Padahal, hal-hal lokal itulah yang membuat kita kembali menjadi manusia yang beradab, manusia yang diperhitungkan di zaman global ini,” seru tamatan SDI Ahuwair itu.
Fakta membuktikan, bahwa di zaman ini sudah jarang menemukan remaja masa kini, khususnya pelajar, merasa bangga menggunakan budaya daerah. “Lalu apa yang kita banggakan? Celana umpan? Rok mini?” tanya dia.
Ana melukiskan kegelisahannya, ketika zaman sekarang ini para pelajar merasa risih menggunakan sarung, dengan alasan kurang nyaman atau kurang bebas. Dia membandingkan dengan turis asing yang beramai-ramai mengunjungi sanggar-sanggar budaya dan dengan bangga mengenakan busana daerah.
Dia juga menyinggung rendahnya kemauan pelajar menarikan tarian daerah seperti hegong, tua reta lou, bebing dan lain-lain. Padahal, kata dia, turis asing ramai-ramai mengambil video tarian daerah untuk dibawa pulang ke negaranya, dan di sana mereka mempelajarinya.
Putri pasangan Dominikus Dominggu dan Gaudensia Seli ini juga menyinggung moralitas pergaulan kaum remaja, yang katanya, para remaja zaman sekarang sudah tidak bisa menjaga etika dan norma dalam pergaulan.
“Pacaran tanpa ciuman akan diejek karena tidak gaul, bahkan fakta yang mencengangkan akhir-akhir ini adalah banyak pelajar terjebak dalam kasus perselingkuhan. Perselingkuhan menjadi trend di berbagai kalangan. Apakah kita insan berpendidikan masih bangga dengan kondisi tersebut? Jika demikian adanya apa manfaat dari ilmu pengetahuan yang kita peroleh?” kritik dia.
Sebagai pelajar, tentunya harus mempunyai nilai lebih. Menghadapi kondisi tersebut, ia memberikan apresiasi kepada sekolah-sekolah yang menerapkan mata pelajaran muatan lokal. Seperti di sekolahnya, ada mata pelajaran ikat tenun dan sanggar anak sekolah, sebagai tempat di mana para pelajar berlatih mengaktualisasikan diri dengan budaya-budaya lokal.
Pada momen yang tampan itu, Ana mengajak teman teman pelajar untuk kembali mencintai budaya lokal dengan mengikuti pelajaran budaya juga kegiatan ekstrakurikuler di sekolah masing-masing. Hemat dia, dengan menguasai budaya lokal, pada satnya para pelajar bisa menjadi duta budaya untuk mempromosikan budaya lokal ke dunia luar dengan rasa bangga sebagai pemiliknya.
Pada bagian akhir pidatonya, Ana yang bercita-cita menjadi guru ini mengusulkan sebuah solusi brilian. Dia meminta agar pemeritah menerapkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
“Dan bila masih mungkin, saya mengharapkan pemerintah kembalikan kepada kami mata pelajaran PMP, agar kami tumbuh menjadi pelajar yang bermoral,” pinta dia. (vicky da gomez)
Ket Foto: Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera memberikan apresiasi kepada Ana Owilde Arsinde Luju, usai berpidato tanpa teks tentang pendidikan di depan jajaran Forkopimda Sikka dan para pelajar serta masyarakat, pada Hardiknas, Selasa (2/5).