80 Tahun Indonesia: Di Persimpangan Harapan dan Kekecewaan

oleh -414 Dilihat

Presiden Prabowo serahkan dokumen pengantar RUU APBN 2026 beserta Nota Keuangan kepada Ketua DPR Puan Maharani.

Delapan puluh tahun Indonesia merdeka. Usia yang tidak lagi muda. Bangsa ini telah melewati penjajahan, revolusi, reformasi, krisis ekonomi, hingga era digitalisasi global. Tapi satu pertanyaan besar menggema di tengah perayaan kemerdekaan tahun ini: apakah kita benar-benar merdeka?

DI JALAN-JALAN, bendera merah putih berkibar. Lagu-lagu nasional berkumandang, perlombaan digelar, dan para pejabat mengumbar pidato tentang semangat persatuan dan pembangunan. Namun di balik euforia simbolik itu, ada suara-suara lirih yang mulai berubah menjadi jeritan; tentang ketimpangan, keadilan yang kabur, dan negara yang terasa semakin menjauh dari rakyatnya.

Tak sedikit yang menyebut Indonesia hari ini “gelap”, bukan karena ketiadaan listrik, tapi karena gelapnya arah moral dan keadilan sosial. Korupsi terus merajalela, bahkan dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung hukum. Dari ruang-ruang kementerian hingga gedung parlemen, praktik kolusi dan nepotisme seolah menjadi budaya yang dilestarikan, bukan diberantas.

Rakyat, sementara itu, dihimpit oleh kenaikan pajak dan beban ekonomi yang kian mencekik. Banyak keluarga hidup dari gaji ke gaji, sementara harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Pemerintah bicara pertumbuhan ekonomi, tapi siapa yang menikmatinya? Ketika pembangunan lebih condong ke megaproyek, rakyat kecil hanya bisa menonton dari pinggir jalan.

Lebih dari itu, ruang demokrasi juga terasa menyempit. Kritik dianggap ancaman. Aktivis dikriminalisasi. Media dibungkam secara halus dengan tekanan politik dan ekonomi. Maka lahirlah generasi yang makin skeptis; bukan pada negara, tapi pada para pengelolanya.

Kini, tampuk kekuasaan ada di tangan Presiden Prabowo Subianto. Ia naik dengan janji besar: melanjutkan pembangunan, memperkuat pertahanan, dan menyejahterakan rakyat. Namun, pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: apakah pemerintahannya akan menjadi pengulangan masa lalu, atau titik balik bagi masa depan?

Tantangan yang dihadapi tidak main-main: dari tata kelola pemerintahan yang korup, ketimpangan sosial-ekonomi, rendahnya kualitas pendidikan dan kesehatan, hingga darurat lingkungan hidup. Ini bukan pekerjaan satu malam. Tapi langkah pertama yang ditunggu rakyat adalah niat politik yang jelas dan keberpihakan yang nyata.

Apa yang Harus Dilakukan?

Pemerintah harus mulai dari hal yang mendasar, namun paling krusial: Bersih-bersih birokrasi dan hukum. Tanpa penegakan hukum yang adil, semua pembangunan hanya jadi ilusi.

Pajak yang berkeadilan. Rakyat kecil bukan ATM negara. Pemerintah harus berani mengejar kekayaan besar yang belum tersentuh sistem pajak.

Menghidupkan kembali semangat demokrasi. Kritik harus dipeluk, bukan dibungkam. Media dan masyarakat sipil harus diberi ruang untuk bicara tanpa rasa takut.

Pembangunan yang menyentuh rakyat bawah. Infrastruktur penting, tapi jangan abaikan sekolah rusak di pelosok, petani yang kalah harga, dan nelayan yang kehilangan lautnya.

Juga, Merangkul generasi muda dan intelektual. Mereka bukan sekadar bonus demografi, tapi aset perubahan. Beri mereka ruang, bukan batas.

Nah, Indonesia, pada usia 80 tahun ini, berada di persimpangan: antara menjadi bangsa besar yang adil dan berdaulat, atau terus terjebak dalam lingkaran oligarki, populisme, dan pembajakan demokrasi.

Masih ada waktu. Tapi tidak banyak. Merdeka bukan sekadar bebas dari penjajah, tapi bebas dari ketidakadilan. Bukan sekadar upacara, tapi keberanian untuk berpihak. Dan itu dimulai dari para pemimpin negeri ini: berani memilih rakyat di atas segalanya. (jdz)