KUPANG – Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (LPP UI) merilis hasil Survei Opinion Leader pemilihan Gubernur NTT 2018 dengan tema “Mencari Cagub NTT Terbaik” November 2017.
Survei ini bertujuan menjaring pendapat narasumber (pakar) yang dinilai lebih memahami masalah NTT, dimana pakar-pakar tersebut memunculkan figur-figur terbaik yang layak memimpin NTT. Figur-figur cagub tersebut dinilai berdasarkan dimensi kapabilitas dan dimensi karakter personal.
“Dari keseluruhan aspek, hasil survei ini menunjukkan bahwa Marianus Sae, secara konsisten memimpin dari semua tokoh yang dinilai,” sebut Kepala Pusat LPP UI, Prof Hamdi Muluk saat merilis hasil survey itu di Hotel Neo Kupang, Minggu (26/11/2017).
Menurut dia, survei ini menilai dua dimensi terpenting yang harus dimiliki oleh pemimpin politik, yaitu kapabilitas yang terbagi dalam 6 aspek yaitu: Visioner, Kemampuan memimpin, Gaya kepemimpinan, Kemampuan menyelesaikan persoalan, Kemampuan berpolitik, Kemampuan komunikasi politik; dan karakter personal yang terbagi menjadi integritas moral dan kestabilan emosional.
“Kami ingin publik dan parpol lebih memahami kualitas pemimpin yang akan dipilihnya nanti, supaya tidak seperti beli kucing dalam karung. Jangan sampai hanya terpaku pada popularitas dan elektabilitas,” katanya.
Untuk tokoh yang paling direkomendasikan oleh pakar, pada prioritas pertama Marianus Sae dipilih oleh 22.2 persen pakar, sisanya adalah nama-nama lain.
Pada prioritas kedua, Esthon Foenay dipilih oleh 16.56 persen pakar, sisanya adalah nama-nama lain. Sedangkan untuk prioritas ketiga diisi oleh Raymundus Fernandez dengan 12.6 persen responden, sisanya adalah nama-nama lain.
Lebih lanjut, pada prioritas pertama untuk tokoh yang paling tidak direkomendasikan pakar untuk menjadi Gubernur NTT adalah Lusia Adinda Lebu Raya, dipilih oleh 40 persen responden, sisanya adalah nama-nama lain. Lalu pada prioritas kedua, Ibrahim Medah, dipilih oleh 14.9 persen responden.
Nama-nama figur Cagub NTT didapatkan setelah melalui tahapan Focus Group Discussion (FGD) dimana para pakar memunculkan 11 nama figur berdasarkan kriteria rekam jejak dan prestasi, serta beberapa tokoh dipilih karena telah mendeklarasikan diri untuk maju sebagai Cagub NTT. Ke-11 nama tersebut adalah Marianus Sae, Christian Rotok, Ibrahim Medah, Kristo Blasin, Raymundus Fernandez, Benny K Harman, Daniel Tagu Dedo, Jacky Uly, Melki Laka Lena, dan Lusia Adinda Lebu Raya.
Sementara itu, dari hasil simulasi terbuka tanpa memberikan nama tokoh, Marianus Sae menjadi Top of Mind para pakar dengan elektabilitas 21.5 persen, disusul oleh Kristo Basin (16.2 persen), Esthon Foenay (14.5 persen), dan Benny Harman (13.2 persen).
Survei opinion leader ini dilaksanakan dari 20 Oktober-11 November 2017 dan melibatkan 302 responden yang terdiri dari akademisi, para pengamat, pers, LSM, profesional, tokoh muda, pengusaha, dan tokoh masyarakat lainnya.
Kritik Analis
Marespons hasil survey itu, Dr David B.W. Pandie, Akademisi dari Undana berpendapat, survei ini harus dipahami sebagai penilaian pakar, bukan masyarakat biasa. “Survei ini memberikan kita peta mengenai integritas, kompetensi,hingga elektabilitas kandidat dari para pakar. Ini hanya prediksi saja berdasarkan persepsi para pakar, mirip seperti perkiraan cuaca. Akan lebih menarik lagi jika riset ini menilai kandidat yang sudah berpasangan,” kata Pandie.
Sementara Analis politik dari Universitas Widya Mandira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona dalam paparannya mengkritisi hasil survei Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia (LPP UI). Menurut dia, sebuah hasil survei bisa disebut kapabel atau tidak ditentukan oleh metodologi dan juga reputasi dari lembaganya.
“Dari hal reputasi, lembaga LPP UI dan Prof. Dr. Hamdi Muluk memiliki reputasi yang sudah diakui secara Nasional sehingga kredibilitasnya tidak diragukan lagi,” ujar Bataona.
Menurut Magister ilmu komunikasi politik Universitas Padjajaran Bandung ini, meski lembaga LPP UI dikenal kredibel, namun metodologi survei yang digunakan juga harus melihat dari sisi latar belakang responden.
“Mengapa responden memberikan jawaban seperti itu? Bisa saja karena respondennya orang Flores, Timor dan beragama Katholik atau Protestan. Karena mayoritas masyarakat NTT cenderung memilih berdasarkan afiliasi suku dan agama,” kritik dia.
Menurut dia, salah satu kelemahan survei dengan metode kuantitatif terletak pada obyektifitas hasil survei. Semua survei kuantitatif hanya menggunakan instrumen wawancara tanpa menggunakan pola dan metodologi serta kriteria-kriteria responden dari sisi teori politik.
“Itulah kelemahan survei dengan metode kuantitatif. Pada umumnya responden hanya disodorkan pertanyaan tanpa memilah-milah mana responden yang layak memenuhi kriteria untuk diwawancara,” katanya.
Ia mencatat ada sejumlah kekeliruan dalam proses wawancara yang telah dilaksanakan oleh LPP UI dalam survei, salah satunya adalah pertanyaan yang disodorkan kepada responden belum sepenuhnya benar, begitu juga rilis hasil yang belum sesuai dengan fenomena politik yang terjadi di NTT.
“Saya juga mencatat ada beberapa kekeliruan dalam instrumen survei yang disodorkan kepada responden. Begitu pula hasil yang belum benar-benar merepresentasi situasi politik di NTT saat ini,” ujarnya. (*/jdz)